Rijsttafel, Perjamuan Makan khas Belanda yang Membumi di Indonesia
17 August 2021 |
15:44 WIB
Genhype mungkin familiar dengan cara penyajian makan seperti prasmanan atau buffet di berbagai acara khusus seperti pernikahan, ulang tahun, atau acara formal lainnya. Tapi pernah enggak Genhype terpikir bahwa kehadiran konsep penyajian tersebut justru datang jauh sebelum Indonesia merdeka bahkan saat era pendudukan oleh Belanda.
Singkatnya, Rijsttafel merupakan tradisi jamuan makan yang menghidangkan berbagai makanan dengan jumlah banyak (minimal 10 hidangan) di dalam satu meja. Konsep ini hadir karena dibawa oleh orang-orang Belanda saat menjajah Indonesia dan banyak diterapkan di sejumlah rumah, restoran, maupun hotel.
Tradisi ini sempat populer bagi orang-orang Belanda yang berada di Hindia Belanda atau Indonesia dan memiliki pengaruh dalam kuliner di Tanah Air hingga saat ini.
Jika Rijsttafel identik dengan kebiasaan makan orang-orang Belanda, lantas bagaimana implementasinya di Indonesia?
Sejarawan sekaligus penulis buku Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1970-1942, Fadly Rahman, mengatakan bahwa saat ini Rijsttafel masih dipraktikan hingga saat ini baik secara sadar maupun tidak sadar dengan adanya transformasi dan nasionalisasi yang menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia seperti konsep buffet atau yang lebih umum disebut sebagai prasmanan di berbagai acara formal.
"Prasmanan itu nasionalisasi dari konsep buffet yang ada pada masa kolonial. Bedanya kalo [zaman] kolonial pelayan langsung datang ke meja, tapi sekarang kita mengambil sendiri hidangan di meja. Itu disadari atau tidak nasionalisasi masuk ranah kuliner di tradisi makan kita," jelas Fadly kepada Hypeabis.id.
Dia melanjutkan bahwa konsep tersebut merupakan konsep yang telah diterima oleh gastronom asal Indonesia yang menerima ide Rijsttaffel dan berusaha untuk melakukan lokalisasi dari resep-resep makanan dan etika di atas meja (table manner) yang biasa dipakai dengan dikreasi sedemikian rupa sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia pada saat awal kemerdekaan.
Nasionalisasi ini sendiri berangkat dari keinginan Presiden Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, yang menginginkan semua bentuk kolonialisme termasuk kebudayaan untuk disingkirkan dan dimodifikasi sesuai kebutuhan bangsa. Warisan inilah yang kemudian bertahan sampai sekarang.
"Kalau boleh saya katakan sebagian besar menu yang kita konsumsi sekarang seperti sup, terus kemudian soto, perkedel, semur itu nasionalisasi terhadap apa yang pernah eksis dalam Rijstaffel era kolonial," tambahnya.
Singkatnya, Rijsttafel merupakan tradisi jamuan makan yang menghidangkan berbagai makanan dengan jumlah banyak (minimal 10 hidangan) di dalam satu meja. Konsep ini hadir karena dibawa oleh orang-orang Belanda saat menjajah Indonesia dan banyak diterapkan di sejumlah rumah, restoran, maupun hotel.
Tradisi ini sempat populer bagi orang-orang Belanda yang berada di Hindia Belanda atau Indonesia dan memiliki pengaruh dalam kuliner di Tanah Air hingga saat ini.
Jika Rijsttafel identik dengan kebiasaan makan orang-orang Belanda, lantas bagaimana implementasinya di Indonesia?
Sejarawan sekaligus penulis buku Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1970-1942, Fadly Rahman, mengatakan bahwa saat ini Rijsttafel masih dipraktikan hingga saat ini baik secara sadar maupun tidak sadar dengan adanya transformasi dan nasionalisasi yang menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia seperti konsep buffet atau yang lebih umum disebut sebagai prasmanan di berbagai acara formal.
"Prasmanan itu nasionalisasi dari konsep buffet yang ada pada masa kolonial. Bedanya kalo [zaman] kolonial pelayan langsung datang ke meja, tapi sekarang kita mengambil sendiri hidangan di meja. Itu disadari atau tidak nasionalisasi masuk ranah kuliner di tradisi makan kita," jelas Fadly kepada Hypeabis.id.
Dia melanjutkan bahwa konsep tersebut merupakan konsep yang telah diterima oleh gastronom asal Indonesia yang menerima ide Rijsttaffel dan berusaha untuk melakukan lokalisasi dari resep-resep makanan dan etika di atas meja (table manner) yang biasa dipakai dengan dikreasi sedemikian rupa sesuai kebutuhan masyarakat Indonesia pada saat awal kemerdekaan.
Nasionalisasi ini sendiri berangkat dari keinginan Presiden Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia, yang menginginkan semua bentuk kolonialisme termasuk kebudayaan untuk disingkirkan dan dimodifikasi sesuai kebutuhan bangsa. Warisan inilah yang kemudian bertahan sampai sekarang.
"Kalau boleh saya katakan sebagian besar menu yang kita konsumsi sekarang seperti sup, terus kemudian soto, perkedel, semur itu nasionalisasi terhadap apa yang pernah eksis dalam Rijstaffel era kolonial," tambahnya.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.