Regenerasi Perajin Menjadi Tantangan untuk Keberlanjutan Industri Wastra
21 November 2022 |
14:02 WIB
Indonesia memiliki warisan wastra yang sangat beragam, mulai dari batik, songket, ulos, tenun, gringsing, jumputan, dan lain sebagainya. Setiap lembar wastra pun memiliki nilai filosofis dan mencerminkan karakter budaya bangsa. Saat ini, penggunaan wastra sebagai kebutuhan fesyen masyarakat pun semakin meluas.
Bahkan, tak sedikit kantor dan instansi yang mewajibkan untuk menggunakan wastra sebagai salah satu seragam mereka. Begitupun dengan tren menggunakan wastra di kalangan anak muda.
Kini sudah banyak anak muda yang menjadikan wastra sebagai pilihan outfit yang dipadukan dengan berbagai item fesyen lainnya, baik untuk kebutuhan acara formal maupun kasual.
Kendati wastra sudah akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, nyatanya industri ini masih mengalami tantangan yang serius. Langkah-langkah untuk terus melestarikan wastra pada generasi yang lebih muda menemui tantangan dengan masalah regenerasi perajin yang cenderung mengalami penurunan.
Baca juga: Fesyen Wastra Punya Peluang Besar di Pasar Global
Berdasarkan data Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) pada 2021, jumlah pembatik di Indonesia turun 80 persen selama pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, jumlah pembatik mencapai 131.568 orang dan kini berjumlah sekitar 26.000 orang.
Adapun salah satu penyebabnya karena pandemi yang membuat daya beli terhadap wastra Nusantara menurun dan membuat para perajin batik beralih profesi demi bertahan hidup. Saat ini, kebanyakan perajin wastra sudah berusia cukup tua, sehingga membutuhkan regenerasi untuk dapat meneruskan budaya bangsa ini.
Menurut desainer Deden Siswanto, diperlukan semacam institusi yang dibentuk sebagai inkubator bagi generasi muda untuk bisa mempelajari wastra Nusantara agar bisa melestarikan sekaligus mengembangkannya.
"Kondisi saat ini belum terjadi banyak hal, karena masih mengandalkan [wastra] apa yang saat ini ada di pasaran," katanya.
Sebagai desainer, Deden menilai bahwa kolaborasi dalam mengembangkan wastra saat ini masih pada tahap desainer membeli kain dari para perajin untuk kemudian dikreasikan menjadi beragam bentuk fesyen.
Padahal, menurutnya, diperlukan sinergi yang serius dari berbagai pihak agar wastra bisa menjadi produk budaya yang berkelanjutan dan berkembang. "Tidak hanya sekadar memakai atau membeli, tapi bagaimana membuat wastra nantinya," katanya.
Deden mengatakan saat ini peminat terhadap produk-produk fesyen wastra masih terbilang tinggi. Hal itu salah satunya ditandai dengan banyaknya desainer saat ini yang berlomba-lomba untuk mengkreasikan kain wastra dalam koleksi fesyen mereka.
Dalam proses kreatifnya, kain wastra pun memiliki daya tarik tersendiri sebagai medium untuk berkreasi membuat beragam kebutuhan fesyen mulai dari busana bernilai seni, koleksi terbatas, ataupun pakaian ready-to-wear.
"Kalau ready to wear, bicara sesuatu yang effortless dan affordable. Tapi kalau dibuat untuk middle up, bagaimana supaya kesan lebih mewah [wastra] bisa lebih terlihat. Atau fesyen sebagai karya seni bagaimana memperlihatkan keindahan dan kecantikan dari wastra itu sendiri," jelasnya.
Baca juga: Perajin Wastra Nusantara Harus Perhatikan Ini untuk Menembus Ekspor
Dari ketiga jenis aplikasi wastra terhadap produk fesyen tersebut, Deden mengatakan bahwa saat ini kebanyakan konsumen lebih memilih pakaian ready-to-wear karena cenderung lebih modis dan murah.
Kendati demikian, sebagai desainer, Deden menemui tantangan dalam mengembangkan potensi produk fesyen wastra salah satunya adalah sulit untuk berkolaborasi dengan para perajin. Sebab, katanya, kebanyakan perajin telah mampu sebagai pembuat wastra sekaligus desainer dengan membuat koleksi pakaian.
"Tapi desainer kan belum tentu bisa membuat wastra, hanya bisa berkreasi. Jadi mereka harus bekerja sama dengan para perajin atau produsen," ucapnya.
Oleh karena itu, menurut Deden, diperlukan sinergi dari seluruh pihak yang tepat sasaran, agar bisa membangun infrastruktur yang sesuai dengan harapan, sehingga ekosistem industri wastra bisa terus berjalan.
Editor: Nirmala Aninda
Bahkan, tak sedikit kantor dan instansi yang mewajibkan untuk menggunakan wastra sebagai salah satu seragam mereka. Begitupun dengan tren menggunakan wastra di kalangan anak muda.
Kini sudah banyak anak muda yang menjadikan wastra sebagai pilihan outfit yang dipadukan dengan berbagai item fesyen lainnya, baik untuk kebutuhan acara formal maupun kasual.
Kendati wastra sudah akrab dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, nyatanya industri ini masih mengalami tantangan yang serius. Langkah-langkah untuk terus melestarikan wastra pada generasi yang lebih muda menemui tantangan dengan masalah regenerasi perajin yang cenderung mengalami penurunan.
Baca juga: Fesyen Wastra Punya Peluang Besar di Pasar Global
Berdasarkan data Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) pada 2021, jumlah pembatik di Indonesia turun 80 persen selama pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, jumlah pembatik mencapai 131.568 orang dan kini berjumlah sekitar 26.000 orang.
Adapun salah satu penyebabnya karena pandemi yang membuat daya beli terhadap wastra Nusantara menurun dan membuat para perajin batik beralih profesi demi bertahan hidup. Saat ini, kebanyakan perajin wastra sudah berusia cukup tua, sehingga membutuhkan regenerasi untuk dapat meneruskan budaya bangsa ini.
Ilustrasi perajin batik (Sumber gambar: Camille Bismonte/Unsplash)
Menurut desainer Deden Siswanto, diperlukan semacam institusi yang dibentuk sebagai inkubator bagi generasi muda untuk bisa mempelajari wastra Nusantara agar bisa melestarikan sekaligus mengembangkannya.
"Kondisi saat ini belum terjadi banyak hal, karena masih mengandalkan [wastra] apa yang saat ini ada di pasaran," katanya.
Sebagai desainer, Deden menilai bahwa kolaborasi dalam mengembangkan wastra saat ini masih pada tahap desainer membeli kain dari para perajin untuk kemudian dikreasikan menjadi beragam bentuk fesyen.
Padahal, menurutnya, diperlukan sinergi yang serius dari berbagai pihak agar wastra bisa menjadi produk budaya yang berkelanjutan dan berkembang. "Tidak hanya sekadar memakai atau membeli, tapi bagaimana membuat wastra nantinya," katanya.
Deden mengatakan saat ini peminat terhadap produk-produk fesyen wastra masih terbilang tinggi. Hal itu salah satunya ditandai dengan banyaknya desainer saat ini yang berlomba-lomba untuk mengkreasikan kain wastra dalam koleksi fesyen mereka.
Dalam proses kreatifnya, kain wastra pun memiliki daya tarik tersendiri sebagai medium untuk berkreasi membuat beragam kebutuhan fesyen mulai dari busana bernilai seni, koleksi terbatas, ataupun pakaian ready-to-wear.
"Kalau ready to wear, bicara sesuatu yang effortless dan affordable. Tapi kalau dibuat untuk middle up, bagaimana supaya kesan lebih mewah [wastra] bisa lebih terlihat. Atau fesyen sebagai karya seni bagaimana memperlihatkan keindahan dan kecantikan dari wastra itu sendiri," jelasnya.
Baca juga: Perajin Wastra Nusantara Harus Perhatikan Ini untuk Menembus Ekspor
Dari ketiga jenis aplikasi wastra terhadap produk fesyen tersebut, Deden mengatakan bahwa saat ini kebanyakan konsumen lebih memilih pakaian ready-to-wear karena cenderung lebih modis dan murah.
Kendati demikian, sebagai desainer, Deden menemui tantangan dalam mengembangkan potensi produk fesyen wastra salah satunya adalah sulit untuk berkolaborasi dengan para perajin. Sebab, katanya, kebanyakan perajin telah mampu sebagai pembuat wastra sekaligus desainer dengan membuat koleksi pakaian.
"Tapi desainer kan belum tentu bisa membuat wastra, hanya bisa berkreasi. Jadi mereka harus bekerja sama dengan para perajin atau produsen," ucapnya.
Oleh karena itu, menurut Deden, diperlukan sinergi dari seluruh pihak yang tepat sasaran, agar bisa membangun infrastruktur yang sesuai dengan harapan, sehingga ekosistem industri wastra bisa terus berjalan.
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.