Awas Bakteri Kebal Menjadi Ancaman Global
10 November 2022 |
16:16 WIB
Genhype pernah menderita suatu penyakit dan mendapat obat antibiotik? Dokter selalu menyarankan agar obat itu tetap diminum sampai habis dosisnya kendati baru minum beberapa obat saja sudah sembuh. Hal itu untuk mencegah agar mikroba tersebut tidak menjadi kebal.
Kekebalan bakteri terhadap obat antibiotik ini istilahnya adalah resitensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR). Masalah ini juga menjadi salah satu agenda dari gerakan One Health, agenda aksi kolaborasi para ahli di bidang lingkungan, hewan dan manusia guna menghindari terjadinya penyakit manusia yang disebabkan oleh binatang atau lingkungan.
AMR merupakan masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan multisektoral yang terpadu. Pendekatan One Health menyatukan berbagai sektor dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam kesehatan hewan dan tumbuhan manusia, darat dan air, produksi makanan dan pakan dan lingkungan untuk berkomunikasi dan bekerja sama.
Baca juga: Fakta-Fakta tentang Resistensi Antibiotik yang Perlu Kamu Ketahui
Mereka bekerja sama dalam desain dan implementasi program, kebijakan, undang-undang dan penelitian untuk mencapai yang lebih baik hasil kesehatan masyarakat.
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pemicu utama AMR, di antaranya adalah penyalahgunaan dan penggunaan berlebih terhadap antimikroba, kurangnya akses untuk air bersih, sanitasi dan higiene pada manusia dan hewan, serta pencegahan dan pengendalian infeksi yang buruk pada fasilitas kesehatan dan peternakan.
Masalah akses yang kurang terhadap obat-obatan, vaksin dan alat diagnosis yang berkualitas, kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang AMR, dan kurangnya penerapan kebijakan atau peraturan mengenai penggunaan antimikroba juga menjadi pemicu AMR.
Direktur Utama Penyakit Infeksi RSPI Sulianti Saroso, Mohammad Syahril mengatakan bahwa AMR itu sangat berbahaya karena kuman akan kebal terhadap obat. Dia mencontohkan penyakit tuberkulosis resisten obat, yang sudah tidak mempan dengan pengobatan biasa.
“Jadi pengobatannya juga tidak mudah. Bila tidak mempan dengan obat biasa maka akan dicari obat yang lebih pas. Ini bisa memakan waktu,” katanya disela-sela World One Health Congress (WOHC) ke-7, Rabu (09/11/2022). WOHC diselenggarakan oleh SingHealth Duke-NUS Global Health Institute Singapura (SDGHI) di bawah naungan SingHealth Duke-NUS Academic Medical Center. Acara yang mendapat dukungan utama dari Temasek Foundation.
Menurut Syahril yang juga menjadi juru bicara Kementerian Kesehatan, bakteri yang kebal itu ada dua, yaitu kekebalan yang didapat secara alami, dan kekebalan karena penggunaan obat antibiotik yang tidak terkendali.
Dia menambahkan obat antibiotik ada yang bisa dibeli di pasaran tanpa resep dokter. Hal ini akan berbahaya karena penderita tidak tahu seberapa banyak dosis yang tepat.
Ada juga dokter atau pihak rumah sakit yang terlalu cepat memberikan obat berkadar tinggi, atau istilahnya dibom. “Itu tidak boleh. Yang tepat dalam menangani pasien dalam menggunakan obat antibiotik adalah melalui tes kultur,” katanya.
Tes kultur merupakan metode pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi adanya mikroorganisme di dalam darah atau urin. Mikroorganisme tersebut bisa bakteri, jamur, atau parasit.
Untuk menghindari terjadinya AMR, masyarakat tidak boleh ceroboh dalam menggunakan obat antibiotik dan harus mengukuti petunjuk dokter. Demikian juga dokter dan rumah sakit harus memberikan obat secara bijak dan terkendali.
Guru Besar Depertemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Profesor Amin Soebandrio mengatakan bahwa bakteri yang menjadi resisten tersebut juga menjadi perhatian global, termasuk gerakan One Health.
AMR tersebut telah ada di mana-mana dan menjadi masalah di berbagai negara. Bukan hanya manusia, hewan pun juga diberi antibiotik. Bila tidak terkendali maka bakteri tersebut bukannya hilang tetapi malah kebal.
“Kan peternakan kalau hewannya saat awal dikasih antibiotik tumbuhnya bisa lebih bagus, karena memang tidak muncul infeksi [akibat obat antibiotik]. Lama-lama penggunaannya tidak terkontrol. Termasuk juga kolam ikan juga diberi makanan yang mengandung antibiotik,” katanya.
Menurutnya, penanganan AMR pada hewan lebih sulit ketimbang pada manusia karena pemeriksaannya rutin dilakukan, sementara untuk hewan hampir tidak pernah ada pemeriksaan. “Di rumah sakit kan rutin dilakukan , diambil darahnya untuk diperiksa, sementara hal itu tidak dilakukan pada hewan.”
Bakteri kebal tersebut, katanya, bisa saja berpindah ke orang lain. Untuk menghindarinya, petugas kesehatan yang setelah memegang pasien, ketika mau memeriksa pasien lain harus cuci tangan atau memakai sarung tangan sekali pakai.
Editor: Indyah Sutriningrum
Kekebalan bakteri terhadap obat antibiotik ini istilahnya adalah resitensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR). Masalah ini juga menjadi salah satu agenda dari gerakan One Health, agenda aksi kolaborasi para ahli di bidang lingkungan, hewan dan manusia guna menghindari terjadinya penyakit manusia yang disebabkan oleh binatang atau lingkungan.
AMR merupakan masalah kompleks yang membutuhkan pendekatan multisektoral yang terpadu. Pendekatan One Health menyatukan berbagai sektor dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam kesehatan hewan dan tumbuhan manusia, darat dan air, produksi makanan dan pakan dan lingkungan untuk berkomunikasi dan bekerja sama.
Baca juga: Fakta-Fakta tentang Resistensi Antibiotik yang Perlu Kamu Ketahui
Mereka bekerja sama dalam desain dan implementasi program, kebijakan, undang-undang dan penelitian untuk mencapai yang lebih baik hasil kesehatan masyarakat.
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa pemicu utama AMR, di antaranya adalah penyalahgunaan dan penggunaan berlebih terhadap antimikroba, kurangnya akses untuk air bersih, sanitasi dan higiene pada manusia dan hewan, serta pencegahan dan pengendalian infeksi yang buruk pada fasilitas kesehatan dan peternakan.
Masalah akses yang kurang terhadap obat-obatan, vaksin dan alat diagnosis yang berkualitas, kurangnya kesadaran dan pengetahuan tentang AMR, dan kurangnya penerapan kebijakan atau peraturan mengenai penggunaan antimikroba juga menjadi pemicu AMR.
Direktur Utama Penyakit Infeksi RSPI Sulianti Saroso, Mohammad Syahril mengatakan bahwa AMR itu sangat berbahaya karena kuman akan kebal terhadap obat. Dia mencontohkan penyakit tuberkulosis resisten obat, yang sudah tidak mempan dengan pengobatan biasa.
“Jadi pengobatannya juga tidak mudah. Bila tidak mempan dengan obat biasa maka akan dicari obat yang lebih pas. Ini bisa memakan waktu,” katanya disela-sela World One Health Congress (WOHC) ke-7, Rabu (09/11/2022). WOHC diselenggarakan oleh SingHealth Duke-NUS Global Health Institute Singapura (SDGHI) di bawah naungan SingHealth Duke-NUS Academic Medical Center. Acara yang mendapat dukungan utama dari Temasek Foundation.
Menurut Syahril yang juga menjadi juru bicara Kementerian Kesehatan, bakteri yang kebal itu ada dua, yaitu kekebalan yang didapat secara alami, dan kekebalan karena penggunaan obat antibiotik yang tidak terkendali.
Dia menambahkan obat antibiotik ada yang bisa dibeli di pasaran tanpa resep dokter. Hal ini akan berbahaya karena penderita tidak tahu seberapa banyak dosis yang tepat.
Ilustrasi penelitian obat/freepik
Ada juga dokter atau pihak rumah sakit yang terlalu cepat memberikan obat berkadar tinggi, atau istilahnya dibom. “Itu tidak boleh. Yang tepat dalam menangani pasien dalam menggunakan obat antibiotik adalah melalui tes kultur,” katanya.
Tes kultur merupakan metode pemeriksaan diagnostik untuk mendeteksi adanya mikroorganisme di dalam darah atau urin. Mikroorganisme tersebut bisa bakteri, jamur, atau parasit.
Untuk menghindari terjadinya AMR, masyarakat tidak boleh ceroboh dalam menggunakan obat antibiotik dan harus mengukuti petunjuk dokter. Demikian juga dokter dan rumah sakit harus memberikan obat secara bijak dan terkendali.
AMR Hewan
Guru Besar Depertemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Profesor Amin Soebandrio mengatakan bahwa bakteri yang menjadi resisten tersebut juga menjadi perhatian global, termasuk gerakan One Health.AMR tersebut telah ada di mana-mana dan menjadi masalah di berbagai negara. Bukan hanya manusia, hewan pun juga diberi antibiotik. Bila tidak terkendali maka bakteri tersebut bukannya hilang tetapi malah kebal.
“Kan peternakan kalau hewannya saat awal dikasih antibiotik tumbuhnya bisa lebih bagus, karena memang tidak muncul infeksi [akibat obat antibiotik]. Lama-lama penggunaannya tidak terkontrol. Termasuk juga kolam ikan juga diberi makanan yang mengandung antibiotik,” katanya.
Menurutnya, penanganan AMR pada hewan lebih sulit ketimbang pada manusia karena pemeriksaannya rutin dilakukan, sementara untuk hewan hampir tidak pernah ada pemeriksaan. “Di rumah sakit kan rutin dilakukan , diambil darahnya untuk diperiksa, sementara hal itu tidak dilakukan pada hewan.”
Bakteri kebal tersebut, katanya, bisa saja berpindah ke orang lain. Untuk menghindarinya, petugas kesehatan yang setelah memegang pasien, ketika mau memeriksa pasien lain harus cuci tangan atau memakai sarung tangan sekali pakai.
Editor: Indyah Sutriningrum
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.