Seniman Minta Pemerintah Perjelas Skema Karya Seni untuk Jaminan Utang
28 October 2022 |
21:15 WIB
1
Like
Like
Like
Mekanisme karya seni rupa sebagai jaminan utang masih belum juga terang. Pasalnya, gagasan yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif tersebut belum didukung kondisi yang ideal di skena seni rupa Indonesia.
Perupa FX Harsono mengatakan dengan terbitnya peraturan tersebut hingga saat ini belum ada kriteria khusus dalam merumuskan sebuah karya seni rupa sebagai objek kekayaan intelektual (KI). Beberapa di antaranya terkait visual, seperti teknik pembuatan, warna, atau yang lain.
Tak hanya itu, tolok ukur untuk menilai objek seni rupa juga punya tingkat kesulitan dan tantangan berbeda sesuai medianya. Karya seni rupa berbasis digital, misalnya, memerlukan aturan dan kontrak tersendiri karena mudah sekali ditiru, disebarkan, dan diperjualbelikan.
Perupa asal Blitar, Jawa Tengah itu juga mengatakan harga lukisan di di pasar seni rupa pun berbeda dengan angka di balai lelang. Sehingga, ukuran harga karya seni juga tidak bisa dijadikan sebagai standar jaminan fidusia saat dijadikan sebagai jaminan utang.
Belum jelasnya skema itulah yang menurut Harsono akan mempersulit seniman untuk mendaftarkan karyanya sebagai KI. Terlebih ada juga karya seni instalasi yang sukar ditentukan orisinalitasnya sebagai elemen valuasi jaminan fidusia ke bank maupun lembaga nonbank.
"[Saat dijadikan KI] pasti seniman akan tanya, KI yang mana? Apa pentingnya mendaftarkan sebuah ciptaan sebagai KI? Karena jika karya seni rupa sudah dibeli orang, itu sudah bukan urusannya si seniman lagi,” ujar Harsono dalam diskusi baru-baru ini di gelaran ICAD 2022.
Dia pun mengusulkan adanya institusi yang merepresentasikan seniman dalam proses pengajuan KI sebagai objek jaminan. Dalam hal ini, menurutnya galeri senilah yang diharapkan memainkan peran tersebut. Walau, hal ini tak akan mudah, sebab belum banyak galeri yang menaruh perhatian penuh pada perkembangan seniman.
Senada, Ketua Asosiasi Galeri Seni Rupa Indonesia, Maya Sujatmiko, mengatakan bahwa karya seni rupa juga sangat sulit untuk divaluasi. Tak heran bila pengukuran nilai sebuah karya seni rupa untuk fidusia belum pernah dilakukan di Indonesia sampai saat ini.
Maya pun menyoroti salah satu persyaratan karya seni untuk jaminan fidusia yang mewajibkan si seniman mengantongi sertifikasi KI. Menurutnya, perihal sertifikasi itu pun perlu disosialisasikan lebih lanjut oleh pemerintah ke seniman dan lembaga penjamin fidusia.
Adapun, peran galeri seni untuk ikut mengukur valuasi objek KI juga dinilai sulit untuk diimplementasikan. Pasalnya, belum banyak galeri di Indonesia yang aktif. Dia juga mengkhawatirkan kemungkinan adanya konflik kepentingan bila nantinya galeri seni terlibat dalam skema jaminan utang.
“PP Ekraf memang dibikin untuk mendukung pekerja seni. Namun untuk mengimplementasikannya di lapangan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan," kata pemilik Galeri di Jakarta Selatan itu.
Sementara itu, Deputi Bidang Ekonomi dan Produk Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Muhammad Neil El Hilman mengatakan, pihak pengukur valuasi karya seni nantinya bisa dari bank maupun nonbank. Dia mengklaim, pihak bank tak akan keberatan dengan mekanisme tersebut selama ada aturan yang jelas dari Otoritas Jasa Keuangan.
“Fundamental mekanismenya ada di valuasi. Risiko-risiko terkait perbedaan nilai karya seni ini nantinya menjadi tugas valuator. Bagaimanapun bank akan percaya pada hasil penilaian tersebut,” ujarnya.
Baca juga: Kekayaan Intelektual Bisa Jadi Jaminan Utang, Begini Respons Perbankan & Otoritas Jasa Keuangan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Perupa FX Harsono mengatakan dengan terbitnya peraturan tersebut hingga saat ini belum ada kriteria khusus dalam merumuskan sebuah karya seni rupa sebagai objek kekayaan intelektual (KI). Beberapa di antaranya terkait visual, seperti teknik pembuatan, warna, atau yang lain.
Tak hanya itu, tolok ukur untuk menilai objek seni rupa juga punya tingkat kesulitan dan tantangan berbeda sesuai medianya. Karya seni rupa berbasis digital, misalnya, memerlukan aturan dan kontrak tersendiri karena mudah sekali ditiru, disebarkan, dan diperjualbelikan.
Baca juga: Kabar Baik Buat Pelaku Ekonomi Kreatif, Kekayaan Intelektual Bisa Jadi Jaminan Pinjaman
Ilustrasi harga karya seni (sumber gambar Unsplash/Markus Spiske)
Belum jelasnya skema itulah yang menurut Harsono akan mempersulit seniman untuk mendaftarkan karyanya sebagai KI. Terlebih ada juga karya seni instalasi yang sukar ditentukan orisinalitasnya sebagai elemen valuasi jaminan fidusia ke bank maupun lembaga nonbank.
"[Saat dijadikan KI] pasti seniman akan tanya, KI yang mana? Apa pentingnya mendaftarkan sebuah ciptaan sebagai KI? Karena jika karya seni rupa sudah dibeli orang, itu sudah bukan urusannya si seniman lagi,” ujar Harsono dalam diskusi baru-baru ini di gelaran ICAD 2022.
Dia pun mengusulkan adanya institusi yang merepresentasikan seniman dalam proses pengajuan KI sebagai objek jaminan. Dalam hal ini, menurutnya galeri senilah yang diharapkan memainkan peran tersebut. Walau, hal ini tak akan mudah, sebab belum banyak galeri yang menaruh perhatian penuh pada perkembangan seniman.
Senada, Ketua Asosiasi Galeri Seni Rupa Indonesia, Maya Sujatmiko, mengatakan bahwa karya seni rupa juga sangat sulit untuk divaluasi. Tak heran bila pengukuran nilai sebuah karya seni rupa untuk fidusia belum pernah dilakukan di Indonesia sampai saat ini.
Maya pun menyoroti salah satu persyaratan karya seni untuk jaminan fidusia yang mewajibkan si seniman mengantongi sertifikasi KI. Menurutnya, perihal sertifikasi itu pun perlu disosialisasikan lebih lanjut oleh pemerintah ke seniman dan lembaga penjamin fidusia.
Adapun, peran galeri seni untuk ikut mengukur valuasi objek KI juga dinilai sulit untuk diimplementasikan. Pasalnya, belum banyak galeri di Indonesia yang aktif. Dia juga mengkhawatirkan kemungkinan adanya konflik kepentingan bila nantinya galeri seni terlibat dalam skema jaminan utang.
“PP Ekraf memang dibikin untuk mendukung pekerja seni. Namun untuk mengimplementasikannya di lapangan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan," kata pemilik Galeri di Jakarta Selatan itu.
Sementara itu, Deputi Bidang Ekonomi dan Produk Kreatif Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Muhammad Neil El Hilman mengatakan, pihak pengukur valuasi karya seni nantinya bisa dari bank maupun nonbank. Dia mengklaim, pihak bank tak akan keberatan dengan mekanisme tersebut selama ada aturan yang jelas dari Otoritas Jasa Keuangan.
“Fundamental mekanismenya ada di valuasi. Risiko-risiko terkait perbedaan nilai karya seni ini nantinya menjadi tugas valuator. Bagaimanapun bank akan percaya pada hasil penilaian tersebut,” ujarnya.
Baca juga: Kekayaan Intelektual Bisa Jadi Jaminan Utang, Begini Respons Perbankan & Otoritas Jasa Keuangan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.