Hati-Hati, Gaya Hidup Tidak Sehat Mengintai Kesehatan Generasi Muda
28 October 2022 |
20:19 WIB
Genhype pasti familiar dengan berbagai jenis camilan dan kuliner seperti donat crispy, dimsum, soft cookies, dessert box, sei sapi, croffle, pisang goreng madu, dan sebagainya. Namun, nikmatnya santapan lezat menggiring kita pada kekhawatiran tentang penyakit gaya hidup (lifestyle diseases).
Senior Manager Medical Underwriter Sequis dr Fridolin Seto Pandu mengatakan penyakit gaya hidup umumnya disebabkan oleh pola makan dan kandungan yang tidak sehat. Misalnya, makan dalam porsi banyak dan tinggi gula, garam, lemak dan minyak. Selain itu, kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol juga dapat membahayakan organ paru dan jantung.
Faktor lainnya adalah kurang bergerak, malas melakukan latihan fisik, dan tidak berolahraga secara teratur. Bagi yang terbiasa mengganti jam tidur malam dengan tidur pagi dan kurang beristirahat juga bisa menjadi pencetus penyakit gaya hidup.
Menurutnya, penyakit gaya hidup tergolong Penyakit Tidak Menular (PTM) yaitu jenis penyakit yang tidak disadari atau kerap disebut penyakit dalam senyap, seperti hipertensi, kolesterol, dan diabetes.
Baca juga: 5 Gaya Hidup yang Harus Diterapkan saat Berusia 25 Tahun
"Penderitanya sering merasa tidak ada keluhan, hanya gejala ringan sehingga tidak diidentifikasi sebagai penyebab penyakit kritis. Sebaiknya, lakukan cek kesehatan untuk deteksi dini beberapa PTM,” ujarnya.
Pada masa lalu, penyakit diabetes, hipertensi, kolesterol, gagal ginjal, stroke identik mengancam kesehatan mereka yang lanjut usia. Namun sekarang, PTM sangat dekat dengan orang muda.
Hal ini dialami Christy (31 tahun), karyawan swasta yang pernah didiagnosis hipertensi tinggi saat akan melakukan operasi pada saluran pencernaan. Dia baru mengetahui kondisi tersebut setelah melakukan medical check-up sebelum operasi karena pasien harus dalam kondisi sehat.
Selama ini, Christy memang merasa sering sakit kepala. Dia mengira rasa sakit tersebut karena kurang tidur sehingga dia obati sendiri dengan obat pereda nyeri (pain killer).
Pengalaman menyesal mengabaikan medical checkup dirasakan oleh Riana (45) saat didiagnosis memiliki kolesterol tinggi. Beberapa kali Riana mengeluhkan rasa pegal, mudah lelah, dan sering sakit pada persendian.
Dia mencoba mengurangi rasa nyeri tersebut dengan jasa pijat karena mengira kelelahan terjadi akibat setiap hari harus berangkat kerja sangat pagi dan sampai di rumah sudah menjelang malam. Saat rasa sakit tidak tertahan lagi, ia pun memutuskan memeriksakan diri ke rumah sakit. Oleh dokter, Riana disarankan medical checkup. Dari pengalaman pemeriksaan, barulah ia tahu ternyata ia terkena kolesterol.
Dua kasus di atas masih terhitung sederhana karena dalam beberapa kasus lainnya, gejala ringan dapat meningkat menjadi penyakit kritis, seperti gagal ginjal kronis dan kanker.
Beberapa penyakit kritis ada yang menunjukkan gejala sistemik dan memberikan rasa tidak nyaman pada tubuh, seperti mual, muntah, sering sakit kepala, sering gatal-gatal, anemia, sulit bernafas, sulit tidur, dan sebagainya. Sayangnya, gejala ini sering diabaikan dan tidak segera memeriksakan diri ke dokter.
Ada juga yang setelah didiagnosis tapi niat untuk memperbaiki gaya hidup sangat kecil. Banyak juga yang melakukan asumsi dan pengobatan sendiri, seperti ‘ah masuk angin’, cukup minum pereda nyeri atau pakai jasa pijat saja.
PTM masih bisa dicegah dengan menghindari faktor pencetus risikonya. Sayangnya, tidak semua orang berniat mengubah gaya hidup, bisa jadi tidak sempat, lingkungan pergaulan tidak mendukung, atau sudah menjadi kebiasaan hidup tidak teratur yang sudah dilakukan menahun sejak kecil.
Demikian juga mengenai medical check up, banyak yang abai karena merasa masih muda, jarang sakit, dan tidak memiliki waktu dan dana khusus untuk pemeriksaan kesehatan. Padahal jika dibiarkan proses pengobatan PTM biasanya berkelanjutan dan membutuhkan biaya tinggi yang pada akhirnya, persoalan ini dapat memiskinkan pasien dan keluarganya.
Dr. Fridolin menyarankan agar semua pihak mengambil peran memutuskan rantai PTM. Perlu regulasi yang mendukung untuk menekan kasus PTM, misalnya soal kandungan dan dosis pada makanan dan memberikan solusi atas keluhan masyarakat menyangkut ketersediaan fasilitas kesehatan dan beban pembiayaan penyakit kritis.
Para pelaku kesehatan pun perlu aktif menyebarluaskan pemahaman dan kesadaran pentingnya hidup sehat dengan memanfaatkan banyak kanal komunikasi. Selain itu, setiap pribadi dan keluarga Indonesia sebaiknya memberikan perhatian serius soal mempersiapkan jaring pengaman finansial keluarga untuk berjaga-jaga dari kemungkinan risiko PTM.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Senior Manager Medical Underwriter Sequis dr Fridolin Seto Pandu mengatakan penyakit gaya hidup umumnya disebabkan oleh pola makan dan kandungan yang tidak sehat. Misalnya, makan dalam porsi banyak dan tinggi gula, garam, lemak dan minyak. Selain itu, kebiasaan merokok dan mengonsumsi alkohol juga dapat membahayakan organ paru dan jantung.
Faktor lainnya adalah kurang bergerak, malas melakukan latihan fisik, dan tidak berolahraga secara teratur. Bagi yang terbiasa mengganti jam tidur malam dengan tidur pagi dan kurang beristirahat juga bisa menjadi pencetus penyakit gaya hidup.
Menurutnya, penyakit gaya hidup tergolong Penyakit Tidak Menular (PTM) yaitu jenis penyakit yang tidak disadari atau kerap disebut penyakit dalam senyap, seperti hipertensi, kolesterol, dan diabetes.
Baca juga: 5 Gaya Hidup yang Harus Diterapkan saat Berusia 25 Tahun
"Penderitanya sering merasa tidak ada keluhan, hanya gejala ringan sehingga tidak diidentifikasi sebagai penyebab penyakit kritis. Sebaiknya, lakukan cek kesehatan untuk deteksi dini beberapa PTM,” ujarnya.
Pada masa lalu, penyakit diabetes, hipertensi, kolesterol, gagal ginjal, stroke identik mengancam kesehatan mereka yang lanjut usia. Namun sekarang, PTM sangat dekat dengan orang muda.
Hal ini dialami Christy (31 tahun), karyawan swasta yang pernah didiagnosis hipertensi tinggi saat akan melakukan operasi pada saluran pencernaan. Dia baru mengetahui kondisi tersebut setelah melakukan medical check-up sebelum operasi karena pasien harus dalam kondisi sehat.
Selama ini, Christy memang merasa sering sakit kepala. Dia mengira rasa sakit tersebut karena kurang tidur sehingga dia obati sendiri dengan obat pereda nyeri (pain killer).
Pengalaman menyesal mengabaikan medical checkup dirasakan oleh Riana (45) saat didiagnosis memiliki kolesterol tinggi. Beberapa kali Riana mengeluhkan rasa pegal, mudah lelah, dan sering sakit pada persendian.
Dia mencoba mengurangi rasa nyeri tersebut dengan jasa pijat karena mengira kelelahan terjadi akibat setiap hari harus berangkat kerja sangat pagi dan sampai di rumah sudah menjelang malam. Saat rasa sakit tidak tertahan lagi, ia pun memutuskan memeriksakan diri ke rumah sakit. Oleh dokter, Riana disarankan medical checkup. Dari pengalaman pemeriksaan, barulah ia tahu ternyata ia terkena kolesterol.
Ilustrasi gaya hidup sehat. (Sumber gambar: Unsplash/Himiway Bikes)
Dua kasus di atas masih terhitung sederhana karena dalam beberapa kasus lainnya, gejala ringan dapat meningkat menjadi penyakit kritis, seperti gagal ginjal kronis dan kanker.
Beberapa penyakit kritis ada yang menunjukkan gejala sistemik dan memberikan rasa tidak nyaman pada tubuh, seperti mual, muntah, sering sakit kepala, sering gatal-gatal, anemia, sulit bernafas, sulit tidur, dan sebagainya. Sayangnya, gejala ini sering diabaikan dan tidak segera memeriksakan diri ke dokter.
Ada juga yang setelah didiagnosis tapi niat untuk memperbaiki gaya hidup sangat kecil. Banyak juga yang melakukan asumsi dan pengobatan sendiri, seperti ‘ah masuk angin’, cukup minum pereda nyeri atau pakai jasa pijat saja.
PTM masih bisa dicegah dengan menghindari faktor pencetus risikonya. Sayangnya, tidak semua orang berniat mengubah gaya hidup, bisa jadi tidak sempat, lingkungan pergaulan tidak mendukung, atau sudah menjadi kebiasaan hidup tidak teratur yang sudah dilakukan menahun sejak kecil.
Demikian juga mengenai medical check up, banyak yang abai karena merasa masih muda, jarang sakit, dan tidak memiliki waktu dan dana khusus untuk pemeriksaan kesehatan. Padahal jika dibiarkan proses pengobatan PTM biasanya berkelanjutan dan membutuhkan biaya tinggi yang pada akhirnya, persoalan ini dapat memiskinkan pasien dan keluarganya.
Dr. Fridolin menyarankan agar semua pihak mengambil peran memutuskan rantai PTM. Perlu regulasi yang mendukung untuk menekan kasus PTM, misalnya soal kandungan dan dosis pada makanan dan memberikan solusi atas keluhan masyarakat menyangkut ketersediaan fasilitas kesehatan dan beban pembiayaan penyakit kritis.
Para pelaku kesehatan pun perlu aktif menyebarluaskan pemahaman dan kesadaran pentingnya hidup sehat dengan memanfaatkan banyak kanal komunikasi. Selain itu, setiap pribadi dan keluarga Indonesia sebaiknya memberikan perhatian serius soal mempersiapkan jaring pengaman finansial keluarga untuk berjaga-jaga dari kemungkinan risiko PTM.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.