Peduli Orang Terdekat Jadi Upaya Preventif Kasus Bunuh Diri Generasi Z
10 October 2022 |
18:30 WIB
Kesehatan mental masih menjadi isu serius yang belum ditangani dengan baik di Indonesia. Stigma buruk yang masih melekat - misal kelompok dengan gangguan kesehatan mental merupakan orang gila dan aib keluarga, membuat mereka tidak ditangani dengan semestinya.
Dengan kondisi yang demikian, tidak sedikit orang yang memutuskan untuk mengambil jalan pintas yang salah, bunuh diri. Berdasarkan data Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP), jumlah kasus bunuh diri sepanjang tahun ini tercatat sebanyak 670 kasus. Sementara itu, pada 2018, terdapat sekitar 6.000 percobaan bunuh diri.
“Empat kali lipat dari angka yang dilaporkan. Untuk upaya 7-24 kali lipat dari angka kematian bunuh diri sesungguhnya. Ini disebabkan stigma,” ujar Presiden INASP Sandersan Onie dalam diskusi virtual, Senin (10/10/2022).
Baca juga: Tidak Sama, Ini Ciri-Ciri Stres dan Depresi
Dari sekian banyak kasus yang dilaporkan, salah satu hal yang paling menjadi sorotan adalah bunuh diri atau upaya bunuh diri yang dilakukan oleh generasi Z. Generasi yang masih sekolah atau kuliah ini dianggap sebagai generasi rapuh karena rentan stres dan depresi.
Menurut pria yang akrab disapa Sandy itu, generasi Z rentan depresi karena menghadapi tantangan berlipat lebih berat dari generasi sebelumnya. Tantangan itu datang dari media sosial (medsos). Adanya media sosial kian membuka perbandingan antara individu yang satu dan lainnya lebih luas lai.
“Kita aja bandingan diri dengan orang lain, down. Apalagi anak sekarang, perbandingannya bukan hanya adik, teman di kelas, tetapi anak di seluruh duni. Ini dunia yang lebih tough,” sebutnya.
Kendati demikian, generasi muda ini sadar kerapuhan tidak sama dengan kelemahan. Banyak pula generasi Z yang terbuka untuk mengakui dan curhat tentang masalah yang dihadapi. Sandy menyebut, jika hal ini terjadi maka seharusnya lawan bicara bisa memahami, menghargai, dan memberi dukungan atau pertolongan. Bukannya malah mengejek, memberi stigma buruk, dan menjauhi mereka.
Dia juga menyatakan bahwa generasi muda masih banyak yang belum mengerti apa itu kerentanan dan kesehatan jiwa. Mereka perlu mendapatkan edukasi yang lebih tentang isu terkait dengan cara yang benar pula. Ini merupakan tugas banyak orang, terutama orang-orang terdekat.
Baca juga: Cek 8 Tanda Depresi Ini Berisiko Menurunkan Kualitas Hidup
Sandy menjelaskan semua pihak bertanggung jawab untuk mencegah kasus atau upaya bunuh diri. Cara termudah yakni ada untuk mereka yang sedang mengalami stres. Dengarkan mereka bercerita sebagai bentuk upaya dukungan emosional.
Dia mengingatkan bunuh diri tidak selalu harus memiliki gangguan kesehatan jiwa. Banyak sekali orang yang melakukan upaya bunuh diri dipicu karena adanya tekanan hidup. “Tetapi kita lihat orang yang punya gangguan kesehatan jiwa memang risikonya lebih tinggi untuk melakukan upaya bunuh diri contohnya depresi,” jelas Sandy.
Sementara itu, dia menilai kerap kali anak yang mengalami depresi tidak mendapat dukungan orang tua untuk akses ke tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater. Lagi-lagi ini karena stigma yang melekat di masyarakat. Sulit memang mengubah persepsi orang tua. Oleh karena itu, akan lebih efektif jika penjelasan pentingnya penanganan depresi ke tenaga profesional datang dari komunitas dan pemuka agama.
Aktivis HAM dan Penggiat Inklusi Disabilitas Bahrul Fuad menyampaikan keluarga berperan penting untuk mengatasi kesehatan mental. Orang yang mencoba untuk bunuh diri, sebenarnya butuh teman untuk berbagi cerita.
”Temani, dengarkan mereka. Tidak ada penghakiman, tidak ada petuah-petuah, nasehat-nasehat. Jangan melakukan itu kepada kepada saudara-saudara kita yang mengalami gangguan mental,” tuturnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Dengan kondisi yang demikian, tidak sedikit orang yang memutuskan untuk mengambil jalan pintas yang salah, bunuh diri. Berdasarkan data Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Indonesia (INASP), jumlah kasus bunuh diri sepanjang tahun ini tercatat sebanyak 670 kasus. Sementara itu, pada 2018, terdapat sekitar 6.000 percobaan bunuh diri.
“Empat kali lipat dari angka yang dilaporkan. Untuk upaya 7-24 kali lipat dari angka kematian bunuh diri sesungguhnya. Ini disebabkan stigma,” ujar Presiden INASP Sandersan Onie dalam diskusi virtual, Senin (10/10/2022).
Baca juga: Tidak Sama, Ini Ciri-Ciri Stres dan Depresi
Dari sekian banyak kasus yang dilaporkan, salah satu hal yang paling menjadi sorotan adalah bunuh diri atau upaya bunuh diri yang dilakukan oleh generasi Z. Generasi yang masih sekolah atau kuliah ini dianggap sebagai generasi rapuh karena rentan stres dan depresi.
Menurut pria yang akrab disapa Sandy itu, generasi Z rentan depresi karena menghadapi tantangan berlipat lebih berat dari generasi sebelumnya. Tantangan itu datang dari media sosial (medsos). Adanya media sosial kian membuka perbandingan antara individu yang satu dan lainnya lebih luas lai.
“Kita aja bandingan diri dengan orang lain, down. Apalagi anak sekarang, perbandingannya bukan hanya adik, teman di kelas, tetapi anak di seluruh duni. Ini dunia yang lebih tough,” sebutnya.
Kendati demikian, generasi muda ini sadar kerapuhan tidak sama dengan kelemahan. Banyak pula generasi Z yang terbuka untuk mengakui dan curhat tentang masalah yang dihadapi. Sandy menyebut, jika hal ini terjadi maka seharusnya lawan bicara bisa memahami, menghargai, dan memberi dukungan atau pertolongan. Bukannya malah mengejek, memberi stigma buruk, dan menjauhi mereka.
Dia juga menyatakan bahwa generasi muda masih banyak yang belum mengerti apa itu kerentanan dan kesehatan jiwa. Mereka perlu mendapatkan edukasi yang lebih tentang isu terkait dengan cara yang benar pula. Ini merupakan tugas banyak orang, terutama orang-orang terdekat.
Baca juga: Cek 8 Tanda Depresi Ini Berisiko Menurunkan Kualitas Hidup
Mencegah Orang Terdekat Bunuh Diri
Sandy menjelaskan semua pihak bertanggung jawab untuk mencegah kasus atau upaya bunuh diri. Cara termudah yakni ada untuk mereka yang sedang mengalami stres. Dengarkan mereka bercerita sebagai bentuk upaya dukungan emosional. Dia mengingatkan bunuh diri tidak selalu harus memiliki gangguan kesehatan jiwa. Banyak sekali orang yang melakukan upaya bunuh diri dipicu karena adanya tekanan hidup. “Tetapi kita lihat orang yang punya gangguan kesehatan jiwa memang risikonya lebih tinggi untuk melakukan upaya bunuh diri contohnya depresi,” jelas Sandy.
Sementara itu, dia menilai kerap kali anak yang mengalami depresi tidak mendapat dukungan orang tua untuk akses ke tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater. Lagi-lagi ini karena stigma yang melekat di masyarakat. Sulit memang mengubah persepsi orang tua. Oleh karena itu, akan lebih efektif jika penjelasan pentingnya penanganan depresi ke tenaga profesional datang dari komunitas dan pemuka agama.
Aktivis HAM dan Penggiat Inklusi Disabilitas Bahrul Fuad menyampaikan keluarga berperan penting untuk mengatasi kesehatan mental. Orang yang mencoba untuk bunuh diri, sebenarnya butuh teman untuk berbagi cerita.
”Temani, dengarkan mereka. Tidak ada penghakiman, tidak ada petuah-petuah, nasehat-nasehat. Jangan melakukan itu kepada kepada saudara-saudara kita yang mengalami gangguan mental,” tuturnya.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.