Yakin Guyonan Kamu Bukan Bullying? Pahami Dulu Nih Ciri-Ciri Perundungan
04 September 2021 |
06:21 WIB
Perundungan alias bullying pada banyak kasus masih dianggap sebagai hal yang sepele. Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang sebenarnya telah melakukan bullying tetapi dia tidak menyadarinya. Misalnya, menyindir atau mengejek secara halus yang dikemas dalam guyonan.
Meskipun terkesan sepele, kebiasaan itu akan berpengaruh terhadap mental orang yang melakukan bullying maupun orang yang di-bully. Kasus perundungan yang terjadi di lingkungan rumah, tempat kerja, kampus, dan sekolah kemungkinan besar masih terus terjadi karena adanya pembiaran.
Perilaku perundungan jelas merugikan banyak orang, tidak hanya korban, tetapi juga pelaku. Apalagi jika perundungan terjadi pada usia anak dan remaja. Sangat disayangkan jika usia-usia emas dalam pembentukan jati diri dilewati dengan merundung atau dirundung.
Baca juga: Dampak Bullying pada Kelompok Anak dan Dewasa Berbeda? Begini Kata Psikolog
Sebelum membahas hal ini lebih jauh, pemahaman mengenai perundungan perlu diluruskan terlebih dahulu. Masih banyak orang salah kaprah dalam mendefinisikan perundungan.
Psikolog anak Jane Cindy Linardy mengatakan bahwa ada tiga syarat suatu perilaku didefinisikan sebagai perundungan. Pertama, ada niat dari pelaku untuk menyakiti korban alias perilaku yang disengaja.
Kedua, adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban sehingga korban pasti tertindas. Ketiga, perilaku tersebut terjadi secara berulang atau berkali-kali. “Jadi perundungan itu berbeda dengan konflik, perilakunya berbeda,” ujar Jane.
Pihak yang paling dirugikan tentu adalah korban. Mereka yang biasanya tertindas dan tersiksa. Kerugiannya juga tidak hanya terasa dalam jangka pendek, tetapi juga jangka panjang.
Dalam laporan penelitian yang dilakukan di Lancaster University Management School di Inggris, disebutkan bahwa anak korban perundungan terancam mengalami gangguan mental saat dia dewasa.
Para peneliti melakukan analisis terhadap data terhadap 7.000 pelajar berusia 14-16 tahun dari Longitudinal Study of Young People di Inggris. Para pelajar itu diwawancarai secara berkala hingga mereka berusia 21 tahun. Kemudian wawancara sekali lagi dilakukan pada usia 25 tahun.
Temuan para peneliti menunjukkan bahwa setengah responden pernah mengalami perundungan selama di sekolah dan dari jumlah itu ternyata 40% di antaranya mengaku mengalami masalah mental sebelum mereka berusia 25 tahun.
Untuk menghentikan lingkaran setan perilaku perundungan fokusnya bukan saja pada korban, tetapi pelaku. Tentu ada sebab dan alasan mengapa pelaku melakukan hal itu.
Jane mengatakan bahwa anak dan remaja yang menjadi pelaku perundungan biasanya memiliki kekurangan dalam regulasi emosi. Mereka juga cenderung bersifat agresif dan impulsif, serta memiliki keinginan untuk berkuasa dan berempati.
Pembentukan sikap-sikap kurang etis itu paling mungkin terbentuk dalam keluarga. Sangat besar kemungkinan bahwa pelaku sering melihat orang tua atau anggota keluarga melakukan hal yang sama di rumah.
Kekerasan fisik seperti memukul, menampar, dan meninju, begitu juga dengan kekerasan verbal seperti perkataan kasar dan makian adalah hal yang biasa dilihat dan diterimanya sejak kecil. Inilah yang makin memicu perilaku anak sebagai perundung.
Psikolog klinis Kasandra Putranto menilai bahwa latar belakang perundung terkait juga dengan faktor genetik, pola asuh, dan pengalaman menyaksikan kekerasan. Pengalaman tersebut tersimpan dalam memori dan mendorong seseorang untuk melakukan kekerasan juga, terutama jika nilai cinta dan kasih sayang diabaikan.
“Selain keluarga, perilaku merundung juga bisa berkembang di sekolah yang abai mengenai hal ini. Kurangnya ketegasan dan minimnya konsekuensi dari sekolah juga membuat anak makin berani dan tidak jera,” ujar Jane.
Pantas saja kasus perundungan selalu terjadi berulang. Apalagi jika tindakan ini dilakukan secara berkelompok. Anggota pertemanan sebaya juga dapat mendorong anak untuk membuktikan diri sebagai orang yang lebih kuat dan dapat diandalkan.
Dukungan yang paling utama untuk menghentikan perilaku ini adalah dari orang tua. Keseriusan orang tua dalam mendidik dan membimbing anak adalah kunci untuk menghentikan kejadian perundungan di sekolah maupun di tempat lain di masa mendatang ketika anak sudah dewasa.
“Anak sebaiknya memiliki kedekatan emosional yang baik dengan orang tua dan juga ditanamkan rasa empati sejak dini,” ujar Jane.
Anak perlu menyadari betul bahwa perundungan adalah perilaku yang salah. Itulah sebabnya edukasi sejak dini tentang perundungan, kekerasan, dan perilaku negatif lainnya perlu diberikan. Pola asuh yang tepat, yang penuh welas asih merupakan poin pentingnya.
“Untuk memperbaiki perilaku anak yang menjadi pelaku perundungan, pola asuh harus diperbaiki terlebih dahulu,” katanya.
Baca juga: Psikolog Beberkan Dampak Jangka Panjang Bullying, Bisa Berakibat Fatal
Hal ini dapat dimulai dengan mengekspresikan cinta kasih dan penerimaan kepada anak. Dia harus diingingatkan bahwa yang tidak bisa diterima adalah perilakunya, bukan dirinya sebagai pribadi. Hal ini penting karena anak membutuhkan penerimaan yang penuh cinta dan perhatian.
Bantuan dari ahli juga akan membantu jika diperlukan. Seiring dengan perbaikan pola asuh dari orang tua, bantuan dari psikolog dapat menanganinya. (Sumber: Dok. Bisnis Weekly 2019)
Editor: Fajar Sidik
Meskipun terkesan sepele, kebiasaan itu akan berpengaruh terhadap mental orang yang melakukan bullying maupun orang yang di-bully. Kasus perundungan yang terjadi di lingkungan rumah, tempat kerja, kampus, dan sekolah kemungkinan besar masih terus terjadi karena adanya pembiaran.
Perilaku perundungan jelas merugikan banyak orang, tidak hanya korban, tetapi juga pelaku. Apalagi jika perundungan terjadi pada usia anak dan remaja. Sangat disayangkan jika usia-usia emas dalam pembentukan jati diri dilewati dengan merundung atau dirundung.
Baca juga: Dampak Bullying pada Kelompok Anak dan Dewasa Berbeda? Begini Kata Psikolog
Sebelum membahas hal ini lebih jauh, pemahaman mengenai perundungan perlu diluruskan terlebih dahulu. Masih banyak orang salah kaprah dalam mendefinisikan perundungan.
Psikolog anak Jane Cindy Linardy mengatakan bahwa ada tiga syarat suatu perilaku didefinisikan sebagai perundungan. Pertama, ada niat dari pelaku untuk menyakiti korban alias perilaku yang disengaja.
Kedua, adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban sehingga korban pasti tertindas. Ketiga, perilaku tersebut terjadi secara berulang atau berkali-kali. “Jadi perundungan itu berbeda dengan konflik, perilakunya berbeda,” ujar Jane.
Pihak yang paling dirugikan tentu adalah korban. Mereka yang biasanya tertindas dan tersiksa. Kerugiannya juga tidak hanya terasa dalam jangka pendek, tetapi juga jangka panjang.
Dalam laporan penelitian yang dilakukan di Lancaster University Management School di Inggris, disebutkan bahwa anak korban perundungan terancam mengalami gangguan mental saat dia dewasa.
Para peneliti melakukan analisis terhadap data terhadap 7.000 pelajar berusia 14-16 tahun dari Longitudinal Study of Young People di Inggris. Para pelajar itu diwawancarai secara berkala hingga mereka berusia 21 tahun. Kemudian wawancara sekali lagi dilakukan pada usia 25 tahun.
Temuan para peneliti menunjukkan bahwa setengah responden pernah mengalami perundungan selama di sekolah dan dari jumlah itu ternyata 40% di antaranya mengaku mengalami masalah mental sebelum mereka berusia 25 tahun.
Untuk menghentikan lingkaran setan perilaku perundungan fokusnya bukan saja pada korban, tetapi pelaku. Tentu ada sebab dan alasan mengapa pelaku melakukan hal itu.
Jane mengatakan bahwa anak dan remaja yang menjadi pelaku perundungan biasanya memiliki kekurangan dalam regulasi emosi. Mereka juga cenderung bersifat agresif dan impulsif, serta memiliki keinginan untuk berkuasa dan berempati.
“Si perundung pada umumnya sulit untuk berempati, terbiasa dengan kekerasan, dan memiliki konsep diri yang negatif,” Psikolog Anak Jane Cindy Linardy.
Pembentukan sikap-sikap kurang etis itu paling mungkin terbentuk dalam keluarga. Sangat besar kemungkinan bahwa pelaku sering melihat orang tua atau anggota keluarga melakukan hal yang sama di rumah.
Kekerasan fisik seperti memukul, menampar, dan meninju, begitu juga dengan kekerasan verbal seperti perkataan kasar dan makian adalah hal yang biasa dilihat dan diterimanya sejak kecil. Inilah yang makin memicu perilaku anak sebagai perundung.
Psikolog klinis Kasandra Putranto menilai bahwa latar belakang perundung terkait juga dengan faktor genetik, pola asuh, dan pengalaman menyaksikan kekerasan. Pengalaman tersebut tersimpan dalam memori dan mendorong seseorang untuk melakukan kekerasan juga, terutama jika nilai cinta dan kasih sayang diabaikan.
“Selain keluarga, perilaku merundung juga bisa berkembang di sekolah yang abai mengenai hal ini. Kurangnya ketegasan dan minimnya konsekuensi dari sekolah juga membuat anak makin berani dan tidak jera,” ujar Jane.
Pantas saja kasus perundungan selalu terjadi berulang. Apalagi jika tindakan ini dilakukan secara berkelompok. Anggota pertemanan sebaya juga dapat mendorong anak untuk membuktikan diri sebagai orang yang lebih kuat dan dapat diandalkan.
Dukungan yang paling utama untuk menghentikan perilaku ini adalah dari orang tua. Keseriusan orang tua dalam mendidik dan membimbing anak adalah kunci untuk menghentikan kejadian perundungan di sekolah maupun di tempat lain di masa mendatang ketika anak sudah dewasa.
“Anak sebaiknya memiliki kedekatan emosional yang baik dengan orang tua dan juga ditanamkan rasa empati sejak dini,” ujar Jane.
Anak perlu menyadari betul bahwa perundungan adalah perilaku yang salah. Itulah sebabnya edukasi sejak dini tentang perundungan, kekerasan, dan perilaku negatif lainnya perlu diberikan. Pola asuh yang tepat, yang penuh welas asih merupakan poin pentingnya.
“Untuk memperbaiki perilaku anak yang menjadi pelaku perundungan, pola asuh harus diperbaiki terlebih dahulu,” katanya.
Baca juga: Psikolog Beberkan Dampak Jangka Panjang Bullying, Bisa Berakibat Fatal
Hal ini dapat dimulai dengan mengekspresikan cinta kasih dan penerimaan kepada anak. Dia harus diingingatkan bahwa yang tidak bisa diterima adalah perilakunya, bukan dirinya sebagai pribadi. Hal ini penting karena anak membutuhkan penerimaan yang penuh cinta dan perhatian.
Bantuan dari ahli juga akan membantu jika diperlukan. Seiring dengan perbaikan pola asuh dari orang tua, bantuan dari psikolog dapat menanganinya. (Sumber: Dok. Bisnis Weekly 2019)
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.