Hypereport: Gaya Hidup Pekerja Muda vs Kenaikan Harga
25 September 2022 |
16:30 WIB
1
Like
Like
Like
Kota metropolitan identik dengan kemewahan dan kehidupan yang serba glamor. Mungkin Genhype sudah sering melihat Aston Martin, Lamborghini, atau Porsche yang melenggang di jalanan ibukota Jakarta. Orang-orang dengan pakaian elegan, aktivitas nongkrong di kafe dan bar, hingga makan di restoran bintang lima. Ini juga menampilkan kesan gaya hidup tinggi yang diterapkan para penduduknya.
Dilansir dari kominfo, Sensus Penduduk 2020 menyebutkan angkatan kerja produktif Indonesia melimpah didominasi oleh generasi Z dan Milenial. Sebagai karyawan, generasi muda ini memiliki gaya hidup yang cenderung nyentrik, didorong dengan perkembangan internet dan media sosial.
Mereka dituntut untuk tetap eksis ditengah penghasilan bulanan yang tetap, menyesuaikan dengan dorongan gaya hidup dibawah gemerlapnya kota Jakarta. Lantas, bagaimana Generasi Z mengatur gaya hidup dan pengeluarannya jika dibandingkan dengan penghasilan yang masuk? Belum lagi, kenaikan harga yang tidak bisa dibendung.
Tim Hypeabis.id berkesempatan melakukan wawancara dengan karyawan dan pemilik usaha startup di kawasan Jabodetabek. Intan (24 tahun), salah satu karyawan yang menjabat sebagai Business Consultant di perusahaan franchise kuliner mengaku cukup kewalahan menjaga gaya hidupnya di tengah kenaikan harga saat ini.
Dengan range gaji pokok di bawah dua digit, Intan mengaku harus pandai dalam mengatur keuangan. Dia sedikit mengorbankan hobi yang bersifat konsumtif seperti nonton, nongkrong di kafe, belanja di mal, hingga belanja online.
“Kalau belanja di mal aku kurang lebih ngabisin uang Rp2 jutaan, tapi belanja di mal ini sesekali aja sebagai self reward. Lebih sering belanja online sih. Tapi sekarang lagi berupaya menekan keinginan,” kata Intan.
Dalam hal konsumsi, wanita berusia 24 tahun tersebut mengatakan masih mengeluarkan alokasi dana yang normal untuk makan sehari-hari. Dia merinci, sering mengonsumsi makanan kantin dengan kisaran Rp30.000-an dalam sehari. Sesekali, dia juga memesan delivery food dengan bujet sekitar Rp50.000-an, dengan intensitas dua kali seminggu.
Fenomena platform jual beli online juga sedikit banyak merubah pola konsumtif generasi Z dalam mengeluarkan uang. Misalnya Intan yang kerap kali membeli barang diluar kebutuhan prioritasnya. Dia mengaku tak jarang tergoda untuk membeli barang-barang lucu, yang tidak memiliki nilai fungsi.
Intan menyebut harus mulai menyesuaikan diri dalam hal self reward. Menyusul kenaikan harga yang melonjak, menurutnya, self reward yang bersifat konsumtif tidak harus dilakukan setiap bulan. Dalam konteks pribadinya, berbelanja, merawat diri (pergi ke salon atau berlibur) menjadi pilihannya. Alokasi dananya sekitar Rp3,5 juta.
"Tapi aku enggak melakukan ini setiap kali aku achieve sesuatu sih, mulai belajar kalau self rewarding tidak harus mengeluarkan uang yang banyak,” ungkap intan.
Hal tersebut diupayakan oleh Intan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih fundamental. Misalnya, dia bukanlah penduduk asli Jabodetabek, sehingga perlu menyisihkan anggaran untuk membayar kos dan makan sehari-hari. Selain itu, dia juga punya rencana untuk menabung lebih, serta memulai investasi.
Pasalnya, di samping memenuhi kebutuhan dan gaya hidupnya, sebagai perantau dia mengaku masih harus menghidupi tiga adiknya yang berada di kampung halaman. Dia menyebut, ada tiga orang adik yang harus disekolahkan, jadi dia tetap berupaya mengirimkan uang kepada keluarga untuk meringankan beban orang tua.
Untuk tren gadget, Intan mengaku tidak terlalu update. Menurutnya, tidak perlu memakai gadget terbaru bila fiturnya tidak digunakan dengan maksimal. “Tapi sebagai business consultant kan klien bisa beda-beda ya, ada aja yang mungkin kedepannya bakal melihat tampilan. Bisa jadi aku ganti gadget yang cukup terbaru in case ada hal seperti ini. Tapi untuk sampai sejauh ini, iPhone 8 Plus aja udah cukup mendukung pekerjaan aku,” kata Intan.
Di sisi lain, William (21 tahun), salah satu Chief Financial Officer (CFO) di perusahaan startup di wilayah Tangerang mengakui mengatur penghasilannya secara tertata. Sudah memiliki penghasilan minimal dua digit dalam satu bulan, William sudah punya alokasi dana yang terbagi menjadi tabungan, asuransi, pajak, dan biaya hidup bulanan seperti sewa rumah, listrik, dan air.
“Aku mengaturnya tertata tapi tetap let if flow, misalnya untuk self reward itu aku lebih ke game, frekuensinya seminggu sekali. Itupun sebenarnya bujetnya bisa di press, tapi aku memilih let if flow aja karena kan alokasi proritasnya sudah dianggarkan,” kata William.
Menyikapi harga kebutuhan pokok yang naik, dia menyesuaikan anggaran konsumtif agar tidak mengganggu arus kas. Dia menyiasatinya dengan menaik-turunkan pengeluaran yang bersifat konsumtif, misalnya makanan dan hiburan. Sisanya, lanjut William, diusahakan untuk harus sesuai dengan alokasi awal yang telah ditetapkan.
Baca juga artikel terkait laporan khusus ini:
1. Fenomena Gaya Hidup Generasi Muda, Antara Citra & Realita
2. Siasat Berhemat di Tengah Godaan Gaya Hidup Mewah
3. Pintar Memilih Tempat Makan Murah di Kawasan Mewah
Eko mengamati fenomena gaya hidup berkelas pada karyawan middle to upper class di Jakarta disebabkan oleh sejumlah faktor. Misalnya, generasi muda yang punya tuntutan lebih dalam pergaulan, sehingga mereka rela berhutang demi memenuhi dorongan dari lingkungan sosial.
Eko menuturkan, generasi Z harus mampu menyadari pentingnya keuangan untuk masa depan. Seperti mempersiapkan dana pensiun, pengeluaran mendadak, dan lain sebagainya. Menurutnya, hal-hal semacam itu seharusnya dialokasikan sedari awal mereka menerima penghasilan.
Sayangnya, banyak orang yang justru melakukan alokasi terbalik. Mereka hanya memikirkan hidup pada hari ini dan bersenang-senang, lalu barulah sisa dana yang tersedia dialokasikan ke tabungan dan investasi. Padahal, menurut Eko, hal ini merupakan sebuah kesalahan besar dalam pengelolaan keuangan.
Menyikapi kenaikan harga yang terjadi beberapa waktu belakangan, perencana keuangan menegaskan bahwa jika penghasilan tetap terbatas sementara pengeluaran tidak terbatas, karyawan harus mampu menjaga taraf hidupnya dengan baik. “Cara menyiasati hal ini adalah mengatur anggaran pengeluaran. Mau tidak mau, frekuensi alokasi yang bersifat konsumtif diturunkan. Misalnya dalam hal biaya hiburan,” ujarnya.
Kemudian lanjutkan dengan alokasi investasi dan proteksi masing-masing minimal 10 persen. “Investasilah di awal saat gaji diterima, karena jika kita menerapkan investasi di akhir, maka tidak akan perna ada sisa uang karena habis untuk kebutuhan konsumtif. Ingat juga pentingnya alokasi proteksi seperti asuransi sebesar 10 persen, ” ujarnya.
Pada akhirnya, generasi Z harus mampu menyesuaikan frekuensi gaya hidup ditengah kenaikan harga yang terjadi saat ini. Gaya hidup yang mewah dan mengeluarkan banyak uang merupakan hak setiap individu, namun generasi Z harus menyadari pentingnya mengelola kondisi keuangan secara sehat, termasuk memikirkan dana untuk masa depan.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Dilansir dari kominfo, Sensus Penduduk 2020 menyebutkan angkatan kerja produktif Indonesia melimpah didominasi oleh generasi Z dan Milenial. Sebagai karyawan, generasi muda ini memiliki gaya hidup yang cenderung nyentrik, didorong dengan perkembangan internet dan media sosial.
Mereka dituntut untuk tetap eksis ditengah penghasilan bulanan yang tetap, menyesuaikan dengan dorongan gaya hidup dibawah gemerlapnya kota Jakarta. Lantas, bagaimana Generasi Z mengatur gaya hidup dan pengeluarannya jika dibandingkan dengan penghasilan yang masuk? Belum lagi, kenaikan harga yang tidak bisa dibendung.
Tim Hypeabis.id berkesempatan melakukan wawancara dengan karyawan dan pemilik usaha startup di kawasan Jabodetabek. Intan (24 tahun), salah satu karyawan yang menjabat sebagai Business Consultant di perusahaan franchise kuliner mengaku cukup kewalahan menjaga gaya hidupnya di tengah kenaikan harga saat ini.
Dengan range gaji pokok di bawah dua digit, Intan mengaku harus pandai dalam mengatur keuangan. Dia sedikit mengorbankan hobi yang bersifat konsumtif seperti nonton, nongkrong di kafe, belanja di mal, hingga belanja online.
“Kalau belanja di mal aku kurang lebih ngabisin uang Rp2 jutaan, tapi belanja di mal ini sesekali aja sebagai self reward. Lebih sering belanja online sih. Tapi sekarang lagi berupaya menekan keinginan,” kata Intan.
Gaya hidup generasi muda (Sumber gambar: Dok. pribadi Intan)
Dalam hal konsumsi, wanita berusia 24 tahun tersebut mengatakan masih mengeluarkan alokasi dana yang normal untuk makan sehari-hari. Dia merinci, sering mengonsumsi makanan kantin dengan kisaran Rp30.000-an dalam sehari. Sesekali, dia juga memesan delivery food dengan bujet sekitar Rp50.000-an, dengan intensitas dua kali seminggu.
Fenomena platform jual beli online juga sedikit banyak merubah pola konsumtif generasi Z dalam mengeluarkan uang. Misalnya Intan yang kerap kali membeli barang diluar kebutuhan prioritasnya. Dia mengaku tak jarang tergoda untuk membeli barang-barang lucu, yang tidak memiliki nilai fungsi.
Intan menyebut harus mulai menyesuaikan diri dalam hal self reward. Menyusul kenaikan harga yang melonjak, menurutnya, self reward yang bersifat konsumtif tidak harus dilakukan setiap bulan. Dalam konteks pribadinya, berbelanja, merawat diri (pergi ke salon atau berlibur) menjadi pilihannya. Alokasi dananya sekitar Rp3,5 juta.
"Tapi aku enggak melakukan ini setiap kali aku achieve sesuatu sih, mulai belajar kalau self rewarding tidak harus mengeluarkan uang yang banyak,” ungkap intan.
Hal tersebut diupayakan oleh Intan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih fundamental. Misalnya, dia bukanlah penduduk asli Jabodetabek, sehingga perlu menyisihkan anggaran untuk membayar kos dan makan sehari-hari. Selain itu, dia juga punya rencana untuk menabung lebih, serta memulai investasi.
Pasalnya, di samping memenuhi kebutuhan dan gaya hidupnya, sebagai perantau dia mengaku masih harus menghidupi tiga adiknya yang berada di kampung halaman. Dia menyebut, ada tiga orang adik yang harus disekolahkan, jadi dia tetap berupaya mengirimkan uang kepada keluarga untuk meringankan beban orang tua.
Untuk tren gadget, Intan mengaku tidak terlalu update. Menurutnya, tidak perlu memakai gadget terbaru bila fiturnya tidak digunakan dengan maksimal. “Tapi sebagai business consultant kan klien bisa beda-beda ya, ada aja yang mungkin kedepannya bakal melihat tampilan. Bisa jadi aku ganti gadget yang cukup terbaru in case ada hal seperti ini. Tapi untuk sampai sejauh ini, iPhone 8 Plus aja udah cukup mendukung pekerjaan aku,” kata Intan.
“Aku mengaturnya tertata tapi tetap let if flow, misalnya untuk self reward itu aku lebih ke game, frekuensinya seminggu sekali. Itupun sebenarnya bujetnya bisa di press, tapi aku memilih let if flow aja karena kan alokasi proritasnya sudah dianggarkan,” kata William.
Menyikapi harga kebutuhan pokok yang naik, dia menyesuaikan anggaran konsumtif agar tidak mengganggu arus kas. Dia menyiasatinya dengan menaik-turunkan pengeluaran yang bersifat konsumtif, misalnya makanan dan hiburan. Sisanya, lanjut William, diusahakan untuk harus sesuai dengan alokasi awal yang telah ditetapkan.
Baca juga artikel terkait laporan khusus ini:
1. Fenomena Gaya Hidup Generasi Muda, Antara Citra & Realita
2. Siasat Berhemat di Tengah Godaan Gaya Hidup Mewah
3. Pintar Memilih Tempat Makan Murah di Kawasan Mewah
Gaya Hidup & Literasi Keuangan
Perencana keuangan, Eko Endarto, turut mengomentari gaya hidup generasi Z yang tampak mewah. Menurutnya, gaya hidup yang demikian sah-sah saja, asalkan seimbang antara uang masuk dan uang keluar. Dia menyebut bahwa setiap orang harus bisa mengukur sendiri penyesuaian bujet yang diperlukan untuk berbagai alokasi.Eko mengamati fenomena gaya hidup berkelas pada karyawan middle to upper class di Jakarta disebabkan oleh sejumlah faktor. Misalnya, generasi muda yang punya tuntutan lebih dalam pergaulan, sehingga mereka rela berhutang demi memenuhi dorongan dari lingkungan sosial.
"Ini menandakan beberapa generasi Z belum memiliki literasi keuangan yang cukup," katanya.
Eko menuturkan, generasi Z harus mampu menyadari pentingnya keuangan untuk masa depan. Seperti mempersiapkan dana pensiun, pengeluaran mendadak, dan lain sebagainya. Menurutnya, hal-hal semacam itu seharusnya dialokasikan sedari awal mereka menerima penghasilan.
Sayangnya, banyak orang yang justru melakukan alokasi terbalik. Mereka hanya memikirkan hidup pada hari ini dan bersenang-senang, lalu barulah sisa dana yang tersedia dialokasikan ke tabungan dan investasi. Padahal, menurut Eko, hal ini merupakan sebuah kesalahan besar dalam pengelolaan keuangan.
Menyikapi kenaikan harga yang terjadi beberapa waktu belakangan, perencana keuangan menegaskan bahwa jika penghasilan tetap terbatas sementara pengeluaran tidak terbatas, karyawan harus mampu menjaga taraf hidupnya dengan baik. “Cara menyiasati hal ini adalah mengatur anggaran pengeluaran. Mau tidak mau, frekuensi alokasi yang bersifat konsumtif diturunkan. Misalnya dalam hal biaya hiburan,” ujarnya.
Kiat Alokasi Dana
Eko pun membagikan tips mengatur keuangan untuk generasi Z sejak awal menerima gaji atau penghasilan. Langkah pertama, pastikan membuat prioritas alokasi pengeluaran. Misalnya alokasi pengeluaran sekitar 50 persen dari total gaji. Selain itu, pioritaskan untuk pengeluaran utang semisal cicilan dengan anggaran maksimal 30 perse.Kemudian lanjutkan dengan alokasi investasi dan proteksi masing-masing minimal 10 persen. “Investasilah di awal saat gaji diterima, karena jika kita menerapkan investasi di akhir, maka tidak akan perna ada sisa uang karena habis untuk kebutuhan konsumtif. Ingat juga pentingnya alokasi proteksi seperti asuransi sebesar 10 persen, ” ujarnya.
Pada akhirnya, generasi Z harus mampu menyesuaikan frekuensi gaya hidup ditengah kenaikan harga yang terjadi saat ini. Gaya hidup yang mewah dan mengeluarkan banyak uang merupakan hak setiap individu, namun generasi Z harus menyadari pentingnya mengelola kondisi keuangan secara sehat, termasuk memikirkan dana untuk masa depan.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.