Noktah Merah Perkawinan, Ngeselin Kayak Sinetron Tapi Elegan
25 September 2022 |
17:00 WIB
Tampar aku mas, tampar!!!! menjadi salah satu dialog legend dalam persinetronan Indonesia. Sejujurnya, saya agak lupa dengan alur cerita Noktah Merah Perkawinan yang diperankan oleh Ayu Azhari dan Cok Simbara pada versi sinetron yang tayang di TV nasional pada 1996-1998 tersebut.
Saya hanya mengingat adegan Ayu Azhari minta ditampar, yang sebenarnya masih menjadi jokes hingga saat ini, terutama bagi kalangan generasi 80 dan 90-an awal.
Setelah 24 tahun mengakhiri episodenya dari layar kaca, kisah dari sinetron yang paling berjaya pada masanya ini akhirnya diproduksi kembali oleh Rapi Films untuk menyapa penontonnya kembali melalui layar lebar.
Baca juga: Berbeda dari Versi Sinetron, Begini Sutradara Sabrina Rochelle Garap Film Noktah Merah Perkawinan
Film Noktah Merah Perkawinan masih mengambil tokoh yang sama dengan tokoh yang ada dalam versi sinetron. Ambar (Marsha Timothy) dan Gilang Priambodo (Oka Antara) sudah menjalani kehidupan pernikahan selama 10 tahun dan dikaruniai 2 orang anak yaitu Bagas (Jaden Ocean) dan Ayu (Alleyra Fakhira).
Kehidupan rumah tangga mereka mulai goyah setelah Ambar mengetahui bahwa Ibunya (Nungki Kusumastuti) sering meminta uang kepada Gilang untuk menghidupi kakak Ambar beserta anak-anaknya yang kesulitan keuangan di luar negeri dan Ibu Gilang (Ratna Riantiarno) kerap menyindir Ambar atas kelakukan besannya itu.
Ambar yang tidak tahu apa-apa merasa kecewa dan dikhianati oleh sikap Gilang yang tidak melibatkan dirinya sehingga Ambar terlihat seperti orang bodoh di antara ibu kandung dan mertuanya.
Ambar semakin kesal dengan suaminya karena Gilang menganggap itu bukanlah hal yang penting dan urgent untuk dibahas. Gilang cenderung membiarkan kemelut rumah tangganya berlangsung berlarut-larut sehingga membuat Ambar akhirnya memutuskan untuk pergi ke konsultan pernikahan,
Kartika (yang diperankan oleh Ambar versi sinetron, Ayu Azhari). Namun, Gilang tetap tidak antusias menjalani konseling dan malah keluar ruangan di tengah-tengah sesi konseling. Hubungan mereka semakin parah ketika Gilang bertemu dengan Yulinar (Sheilla Dara Aisha), murid kelas keramik Ambar yang sempat dimintai tolong untuk mengantar Bagas dan Ayu ke rumah Ibu Ambar.
Gilang yang sedang berada di sana akhirnya berkenalan dengan Yulinar. Ternyata, Yulinar sedang membutuhkan jasa landscape architect untuk kafe baru milik pacarnya, Kemal (Roy Sungkono). Sejak itu, pertemuan Gilang dan Yulinar semakin intens dan hubungan mereka semakin dekat.
Saya suka sekali dengan latar belakang tokoh yang diambil dalam film ini. Jika dalam versi sinetron, keluarga Priambodo diceritakan sangat kaya raya. Filmmaker lebih memilih latar belakang tokoh yang lebih dekat dengan kehidupan orang biasa.
Gilang diceritakan bekerja sebagai landscape architect yang memiliki kantor sendiri dan Ambar diceritakan bekerja sebagai seniman keramik yang membuka workshop dan kelas pembuatan keramik.
Mereka digambarkan sebagai pasangan muda yang hidupnya cukup dan mulai menikmati keberhasilannya di bidang masing-masing. Pemilihan latar belakang ini cukup cerdas untuk membuat penonton lebih related dan drama yang dihadirkan menjadi lebih masuk akal.
Selama menonton film Noktah Merah Perkawinan, saya merasa gemas dan geregetan dengan sikap Gilang. Gilang masih sama dengan sosok Priambodo pada versi sinetron, yaitu sebagai lelaki yang kurang tegas dan cenderung iya-iya saja dengan segala keputusan Ambar yang memang lebih tegas dan dominan.
Setelah hidup bersama selama 10 tahun, Gilang masih clueless dalam memahami perasaan wanita. Sebenarnya Ambar hanya butuh arahan dari kepala keluarga, kemana bahtera rumah tangga ini akan berjalan.
Namun, Gilang sang kapten malah membiarkan kapalnya terombang ambing di lautan begitu saja ketika Ambar berusaha mempertahankan bahtera mereka agar tidak tenggelam.
Pertengkaran-pertengkaran kecil khas laki-laki dan wanita yang hidup bersama nan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Seperti urusan handuk basah, botol kosong yang digeletakkan begitu saja yang jadi sumber perceocokan kecil sehari-hari.
Selipan cerita itu menjadi sebuah tontonan yang sangat menghibur, karena dibawakan dengan sangat baik oleh para pemerannya, dan dukungan pembuat film di balik layar.
Dalam pengemasan cerita, film ini disusun dengan rapi ketika dilihat dari pengambilan setting dan dialog yang saling berhubungan dengan cerita. Film ini bisa dikatakan sebagai versi masuk akal dari sinetron pendahulunya.
Adegan-adegan yang berkesan membuat penonton betah untuk mengikuti bahtera rumah tangga Ambar dan Gilang yang masih enggan untuk tenggelam namun layarnya sudah mulai sobek diterpa angin sehingga sulit berlayar maju ke depan.
Saya suka dengan halaman belakang rumah yang terbagi dua antara taman dan mini workshop keramik yang menggambarkan batasan antara Ambar dan Gilang. Ada adegan ketika Gilang meminta maaf kepada Ambar karena lupa mengolesi salep ke luka Bagas, di mana Gilang tetap berjongkok di sisi taman. Sedangkan Ambar masih tetap fokus membuat keramik di sisi mini workshop.
Adegan ini menunjukkan gap antara Gilang dan Ambar yang belum bisa mereka tembus untuk kembali bersatu yang ditegaskan dengan penolakan Ambar ketika Gilang hendak mencium kening Ambar sembari pamit berangkat bekerja.
Suasana semakin kacau ketika Ibu Gilang datang dan menyindir Ambar akan kelakukan Ibu Ambar yang kerap meminjam uang. Ibu Gilang juga menyalahkan cara Ambar mendidik anak pada saat Bagas belum mau diajak makan bersama karena sedang asyik menonton TV.
Ambar yang sudah tidak tahan akhirnya menunjukkan rasa tidak sukanya kepada sang mertua. Bagaspun tidak terima mendengar ibunya diolok oleh neneknya dan langsung beranjak dari kursi menonton untuk makan bersama.
Bagas, sebagai anak sulung menunjukkan sensitifitasnya kepada sang Ibu. Bahkan, ketika Ayu menawarkan sate yang dibawa oleh neneknya kepada Ambar. Bagas dengan bijak mengembalikan sate itu ke dalam piringnya kembali dan mengatakan "Kalau Mama nggak mau, jangan dipaksa".
Adegan ini membuat penonton tersadar bahwa sebenarnya anak-anak tidak selugu yang kita pikirkan apalagi jika berurusan dengan hubungan ayah dan ibunya.
Adegan perselingkuhan Gilang dan Yulinar juga ditampilkan dengan tidak mengambil scene perselingkuhan pada kebanyakan film affair rumah tangga. Mereka digambarkan sebagai laki-laki dan wanita yang sedang terbawa perasaan dan suasana di tengah urusan pekerjaan.
Hubungan mereka terjalin di kafe Kemal dan kereta commuter lewat obrolan seru nan hangat yang sedang tidak mereka dapatkan dari pasangan masing-masing.
Bagian ini membuat penonton merefleksikan diri bahwa hubungan perselingkuhan tidak melulu seputar seks dan senang-senang namun juga perasaan nyaman yang kadang tidak disadari datangnya kapan dan dari mana.
Hal ini membuat penonton yang mungkin sedang selingkuh atau diselingkuhi menjadi tersadar apakah mereka sudah menjadi pasangan yang cukup baik bagi pasangan resmi masing-masing.
Emosi saya semakin terkuras ketika melihat adegan Ambar datang ke kantor Gilang pada malam hari bersamaan dengan Gilang dan Yulinar yang baru saja mau masuk ke dalamnya. Tentunya, hal ini menjadi bom salah paham yang fatal pada hubungan Gilang dan Ambar yang memang sedang menghitung mundur waktu untuk meledak.
Gilang mengejar-ngejar mobil Ambar yang terus melaju kencang membuat adegan yang sebenarnya lebih banyak muncul di sinetron menjadi sangat emosional bagi penonton di kursi bioskop.
Adegan pertengkaran puncak yang memang sengaja mengambil dialog epik dari sinetron pendahulunya "TAMPAR, MAS, TAMPAR!!!" membuat penonton sampai merasa canggung karena tidak ingin hadir di tengah mereka jika ini terjadi di dunia nyata.
Pengemasan cerita dan pengembangan tensi emosi yang sudah disusun rapih sejak awal film dimulai membuat dialog yang sebenarnya berlebihan khas sinetron menjadi masuk akal dan natural hingga akhirnya bisa keluar pada pertengkaran hebat dalam rumah tangga.
Bagian yang paling mind-blowing adalah pada saat Yulinar mengunjungi rumah Ambar. Pada adegan sebelumnya, Yulinar sempat memuji Ambar karena dia beruntung memiliki suami seorang landscape architect sehingga taman di rumahnya pasti sangat indah.
Namun, taman yang Yulinar lihat di rumah Ambar dan Gilang adalah taman yang berantakan dan tidak terawat. Prahara rumah tangga yang sedang dialami Gilang membuat dirinya tidak sempat mempercantik taman di rumahnya sendiri.
Hal ini diperkuat dengan adanya beberapa adegan yang memperlihatkan Ambar sedang mengurusi taman seorang diri padahal Gilang-lah yang seharusnya dan sebenarnya passionate dengan taman.
Penonton dibuat semakin kesal dengan Gilang karena terlihat sekali bahwa Ambar selama ini berusaha dengan sekuat jiwa dan raga untuk mempertahankan rumah tangganya secara fisik rumah dan juga batin dalam hubungan. Filmmaker jelas sangat well-prepared untuk mengangkat derajat cerita sinetron menjadi sebuah film drama yang elegan.
Saya sangat merekomendasikan film ini untuk ditonton oleh lebih banyak orang. Film ini mampu memberikan kualitas film yang lebih dari ekspektasi penonton, dalam kapasitasnya sebagai film bergenre drama.
Saya hanya mengingat adegan Ayu Azhari minta ditampar, yang sebenarnya masih menjadi jokes hingga saat ini, terutama bagi kalangan generasi 80 dan 90-an awal.
Setelah 24 tahun mengakhiri episodenya dari layar kaca, kisah dari sinetron yang paling berjaya pada masanya ini akhirnya diproduksi kembali oleh Rapi Films untuk menyapa penontonnya kembali melalui layar lebar.
Baca juga: Berbeda dari Versi Sinetron, Begini Sutradara Sabrina Rochelle Garap Film Noktah Merah Perkawinan
Film Noktah Merah Perkawinan masih mengambil tokoh yang sama dengan tokoh yang ada dalam versi sinetron. Ambar (Marsha Timothy) dan Gilang Priambodo (Oka Antara) sudah menjalani kehidupan pernikahan selama 10 tahun dan dikaruniai 2 orang anak yaitu Bagas (Jaden Ocean) dan Ayu (Alleyra Fakhira).
Kehidupan rumah tangga mereka mulai goyah setelah Ambar mengetahui bahwa Ibunya (Nungki Kusumastuti) sering meminta uang kepada Gilang untuk menghidupi kakak Ambar beserta anak-anaknya yang kesulitan keuangan di luar negeri dan Ibu Gilang (Ratna Riantiarno) kerap menyindir Ambar atas kelakukan besannya itu.
Ambar yang tidak tahu apa-apa merasa kecewa dan dikhianati oleh sikap Gilang yang tidak melibatkan dirinya sehingga Ambar terlihat seperti orang bodoh di antara ibu kandung dan mertuanya.
Ambar semakin kesal dengan suaminya karena Gilang menganggap itu bukanlah hal yang penting dan urgent untuk dibahas. Gilang cenderung membiarkan kemelut rumah tangganya berlangsung berlarut-larut sehingga membuat Ambar akhirnya memutuskan untuk pergi ke konsultan pernikahan,
Kartika (yang diperankan oleh Ambar versi sinetron, Ayu Azhari). Namun, Gilang tetap tidak antusias menjalani konseling dan malah keluar ruangan di tengah-tengah sesi konseling. Hubungan mereka semakin parah ketika Gilang bertemu dengan Yulinar (Sheilla Dara Aisha), murid kelas keramik Ambar yang sempat dimintai tolong untuk mengantar Bagas dan Ayu ke rumah Ibu Ambar.
Gilang yang sedang berada di sana akhirnya berkenalan dengan Yulinar. Ternyata, Yulinar sedang membutuhkan jasa landscape architect untuk kafe baru milik pacarnya, Kemal (Roy Sungkono). Sejak itu, pertemuan Gilang dan Yulinar semakin intens dan hubungan mereka semakin dekat.
Saya suka sekali dengan latar belakang tokoh yang diambil dalam film ini. Jika dalam versi sinetron, keluarga Priambodo diceritakan sangat kaya raya. Filmmaker lebih memilih latar belakang tokoh yang lebih dekat dengan kehidupan orang biasa.
Gilang diceritakan bekerja sebagai landscape architect yang memiliki kantor sendiri dan Ambar diceritakan bekerja sebagai seniman keramik yang membuka workshop dan kelas pembuatan keramik.
Mereka digambarkan sebagai pasangan muda yang hidupnya cukup dan mulai menikmati keberhasilannya di bidang masing-masing. Pemilihan latar belakang ini cukup cerdas untuk membuat penonton lebih related dan drama yang dihadirkan menjadi lebih masuk akal.
Selama menonton film Noktah Merah Perkawinan, saya merasa gemas dan geregetan dengan sikap Gilang. Gilang masih sama dengan sosok Priambodo pada versi sinetron, yaitu sebagai lelaki yang kurang tegas dan cenderung iya-iya saja dengan segala keputusan Ambar yang memang lebih tegas dan dominan.
Setelah hidup bersama selama 10 tahun, Gilang masih clueless dalam memahami perasaan wanita. Sebenarnya Ambar hanya butuh arahan dari kepala keluarga, kemana bahtera rumah tangga ini akan berjalan.
Namun, Gilang sang kapten malah membiarkan kapalnya terombang ambing di lautan begitu saja ketika Ambar berusaha mempertahankan bahtera mereka agar tidak tenggelam.
Pertengkaran-pertengkaran kecil khas laki-laki dan wanita yang hidup bersama nan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Seperti urusan handuk basah, botol kosong yang digeletakkan begitu saja yang jadi sumber perceocokan kecil sehari-hari.
Selipan cerita itu menjadi sebuah tontonan yang sangat menghibur, karena dibawakan dengan sangat baik oleh para pemerannya, dan dukungan pembuat film di balik layar.
Dalam pengemasan cerita, film ini disusun dengan rapi ketika dilihat dari pengambilan setting dan dialog yang saling berhubungan dengan cerita. Film ini bisa dikatakan sebagai versi masuk akal dari sinetron pendahulunya.
Adegan-adegan yang berkesan membuat penonton betah untuk mengikuti bahtera rumah tangga Ambar dan Gilang yang masih enggan untuk tenggelam namun layarnya sudah mulai sobek diterpa angin sehingga sulit berlayar maju ke depan.
Saya suka dengan halaman belakang rumah yang terbagi dua antara taman dan mini workshop keramik yang menggambarkan batasan antara Ambar dan Gilang. Ada adegan ketika Gilang meminta maaf kepada Ambar karena lupa mengolesi salep ke luka Bagas, di mana Gilang tetap berjongkok di sisi taman. Sedangkan Ambar masih tetap fokus membuat keramik di sisi mini workshop.
Adegan ini menunjukkan gap antara Gilang dan Ambar yang belum bisa mereka tembus untuk kembali bersatu yang ditegaskan dengan penolakan Ambar ketika Gilang hendak mencium kening Ambar sembari pamit berangkat bekerja.
Suasana semakin kacau ketika Ibu Gilang datang dan menyindir Ambar akan kelakukan Ibu Ambar yang kerap meminjam uang. Ibu Gilang juga menyalahkan cara Ambar mendidik anak pada saat Bagas belum mau diajak makan bersama karena sedang asyik menonton TV.
Ambar yang sudah tidak tahan akhirnya menunjukkan rasa tidak sukanya kepada sang mertua. Bagaspun tidak terima mendengar ibunya diolok oleh neneknya dan langsung beranjak dari kursi menonton untuk makan bersama.
Bagas, sebagai anak sulung menunjukkan sensitifitasnya kepada sang Ibu. Bahkan, ketika Ayu menawarkan sate yang dibawa oleh neneknya kepada Ambar. Bagas dengan bijak mengembalikan sate itu ke dalam piringnya kembali dan mengatakan "Kalau Mama nggak mau, jangan dipaksa".
Adegan ini membuat penonton tersadar bahwa sebenarnya anak-anak tidak selugu yang kita pikirkan apalagi jika berurusan dengan hubungan ayah dan ibunya.
Adegan perselingkuhan Gilang dan Yulinar juga ditampilkan dengan tidak mengambil scene perselingkuhan pada kebanyakan film affair rumah tangga. Mereka digambarkan sebagai laki-laki dan wanita yang sedang terbawa perasaan dan suasana di tengah urusan pekerjaan.
Hubungan mereka terjalin di kafe Kemal dan kereta commuter lewat obrolan seru nan hangat yang sedang tidak mereka dapatkan dari pasangan masing-masing.
Bagian ini membuat penonton merefleksikan diri bahwa hubungan perselingkuhan tidak melulu seputar seks dan senang-senang namun juga perasaan nyaman yang kadang tidak disadari datangnya kapan dan dari mana.
Hal ini membuat penonton yang mungkin sedang selingkuh atau diselingkuhi menjadi tersadar apakah mereka sudah menjadi pasangan yang cukup baik bagi pasangan resmi masing-masing.
Emosi saya semakin terkuras ketika melihat adegan Ambar datang ke kantor Gilang pada malam hari bersamaan dengan Gilang dan Yulinar yang baru saja mau masuk ke dalamnya. Tentunya, hal ini menjadi bom salah paham yang fatal pada hubungan Gilang dan Ambar yang memang sedang menghitung mundur waktu untuk meledak.
Gilang mengejar-ngejar mobil Ambar yang terus melaju kencang membuat adegan yang sebenarnya lebih banyak muncul di sinetron menjadi sangat emosional bagi penonton di kursi bioskop.
Adegan pertengkaran puncak yang memang sengaja mengambil dialog epik dari sinetron pendahulunya "TAMPAR, MAS, TAMPAR!!!" membuat penonton sampai merasa canggung karena tidak ingin hadir di tengah mereka jika ini terjadi di dunia nyata.
Pengemasan cerita dan pengembangan tensi emosi yang sudah disusun rapih sejak awal film dimulai membuat dialog yang sebenarnya berlebihan khas sinetron menjadi masuk akal dan natural hingga akhirnya bisa keluar pada pertengkaran hebat dalam rumah tangga.
Bagian yang paling mind-blowing adalah pada saat Yulinar mengunjungi rumah Ambar. Pada adegan sebelumnya, Yulinar sempat memuji Ambar karena dia beruntung memiliki suami seorang landscape architect sehingga taman di rumahnya pasti sangat indah.
Namun, taman yang Yulinar lihat di rumah Ambar dan Gilang adalah taman yang berantakan dan tidak terawat. Prahara rumah tangga yang sedang dialami Gilang membuat dirinya tidak sempat mempercantik taman di rumahnya sendiri.
Hal ini diperkuat dengan adanya beberapa adegan yang memperlihatkan Ambar sedang mengurusi taman seorang diri padahal Gilang-lah yang seharusnya dan sebenarnya passionate dengan taman.
Penonton dibuat semakin kesal dengan Gilang karena terlihat sekali bahwa Ambar selama ini berusaha dengan sekuat jiwa dan raga untuk mempertahankan rumah tangganya secara fisik rumah dan juga batin dalam hubungan. Filmmaker jelas sangat well-prepared untuk mengangkat derajat cerita sinetron menjadi sebuah film drama yang elegan.
Saya sangat merekomendasikan film ini untuk ditonton oleh lebih banyak orang. Film ini mampu memberikan kualitas film yang lebih dari ekspektasi penonton, dalam kapasitasnya sebagai film bergenre drama.
Baca juga: Remake Sinetron Legendaris, Oka Antara & Marsha Timothy Adu Akting di Film Noktah Merah Perkawinan
Soundtrack Noktah Merah Perkawinan yang diaransemen ulang dan dinyanyikan kembali oleh Ishabel Azhari pun dimunculkan dalam suasana yang tepat, sehingga mendukung emosi penonton yang sedang terbawa dalam dinginnya kemelut rumah tangga Gilang dan Ambar yang semakin lama semakin mencair entah kemana.
Saya memberikan pujian kepada Sabrina Rochelle Kalangie dan tim yang berhasil menyajikan film drama yang menguras emosi, tapi bisa memberikan kesan bahagia kepada penonton.
Selain itu, film ini digarap dengan luar biasa bagusnya baik dari segi teknis di balik layar dan juga penampilan pemeran di depan layar. Pokoknya film ini sayang untuk dilewatkan bagi kalian para pencinta drama.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.