Permendikbud Baru Bakal Ubah Galnas jadi Badan Layanan Umum, Apa Artinya?
13 September 2022 |
14:00 WIB
Galeri Nasional Indonesia akan menjadi bagian dari Unit Pelaksana Teknis bernama Museum dan Cagar Budaya dengan keluarnya Permendikbud 28/2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Museum dan Cagar Budaya. Apa artinya?
Sebelum keluar peraturan tersebut, Galeri Nasional Indonesia masuk dalam unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bersama dengan instansi lain. Hal itu tertuang dalam Permendikbud 26/2020. Adapun, secara struktur, Galnas saat itu berada di bawah Direktur Jenderal Kebudayaan.
Di aturan lama itu, Galnas menyelenggarakan beberapa fungsi. Di antaranya pengkajian karya seni rupa, pengumpulan karya seni rupa, dan pelaksanaan reigstrasi karya seni rupa.
Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto mengatakan bahwa Unit Pelaksana Teknis Museum dan Cagar Budaya merupakan Gabungan dari Museum Museum Nasional, Museum Basoeki Abdullah, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.
Baca juga: Seniman Kokoh Noegroho Gelar Pameran Tunggal di Galeri Nasional, Tampilkan 108 Karya Lukisan
Kemudian, Museum Kebangkitan Nasional, Museum Kepresidenan Republik Indonesia Balai Kirti, Museum Sumpah Pemuda, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Galeri Nasional Indonesia, Balai Konservasi Borobudur, dan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.
Penggabungan itu membuat manajemen di Galeri Nasional Indonesia dapat mengalami perubahan. Dia pun berharap nama Galeri Nasional Indonesia tetap ada, meskipun menjadi bagian dari Museum dan Cagar Budaya.
Menurutnya, nama Galeri Nasional Indonesia pasti dipertahankan jika mengadopsi standar internasional. Jadi, lanjutnya, bisa saja nama Galeri Nasional Indonesia tetap ada.
Selanjutnya, UPT Museum dan Cagar Budaya yang akan berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) juga memungkinkan pengelolaan manajemen terkait dengan komersial yang selama ini sulit untuk dijalani dapat dilaksanakan.
Pustanto mengatakan bahwa pernah ada minat kerja sama komersial yang diajukan oleh hotel tertentu terhadap Galeri Nasional Indonesia untuk membawa tamu hotel ke galeri sebagai bagian dari layanan.
Minat itu tidak bisa dilanjutkan lantaran pada saat itu payung hukum untuk melakukan kerja sama komersial seperti itu belum ada.
Dalam masa transisi ini, kata Pustanto, sedang ada proses ada pendataan sumber-sumber pendapatan yang bisa diperoleh oleh manajemen di Galeri Nasional Indonesia nantinya seiring perubahan ketentuan organisasi dan tata kerja di Galeri Nasional Indonesia.
Dia menuturkan banyak potensi pendapatan yang bisa diperoleh di Galeri Nasional seperti tiket masuk, parkir, sewa area, sewa gedung serba guna, pemanfaatan seperti gambar koleksi, dan sebagainya.
Besaran tarif tiket yang akan dikenakan terhadap individu, sewa gedung untuk komersial seperti kafe, dan sebagainya pada saat ini belum ada. Meskipun begitu, dia menilai manajemen nanti bisa menetapkan besaran tarif yang berbeda-beda.
Menurutnya, tarif masuk ke Galeri Nasional untuk anak sekolah bisa saja gratis dengan cara mencarikan sponsor. Dia menuturkan besaran tarif akan didiskusikan dengan kepala Museum dan Cagar Budaya sebelum diajukan ke Kementerian Keuangan.
Sementara itu, Kurator Citra Smara Dewi menilai bahwa beleid ini secara psikologi seolah-olah menyamakan Galeri Nasional dengan museum lain.
Padahal, menurutnya, Galeri Nasional Indonesia sudah cukup luas dan bagus, memiliki hubungan secara nasional dan internasional. Dia menambahkan pengunjung Galeri Nasional Indonesia juga sudah pada tingkatan menteri atau wakil presiden.
Di sisi lain, lanjutnya, beleid itu juga membangun semangat kemandirian karena dalam salah satu pasalnya kepala Galeri Nasional Indonesia nanti bisa menyusun proses bisnis. Tidak hanya itu, dia juga setuju jika terdapat lelang jabatan untuk kepala Galeri Nasional Indonesia berdasarkan kompetensi.
Di bagian ini, dia mengaku setuju karena selama ini kepala galeri nasional selalu dibebankan dengan pekerjaan admin, mulai dari atap bocor, rapat sana dan sini, dan sebagainya. “Kalau yang dipilih profesional, fokus untuk memajukan Galeri Nasional Indonesia, saya pikir itu bagus ya,” katanya.
Dia menambahkan program pameran yang diinisiasi oleh Galeri Nasional Indonesia seperti Pameran Nusantara atau Manifesto tidak ada masalah dengan perubahan ini. Namun, saat pameran ingin berpameran kemungkinan akan dikenakan biaya.
“Tapi tidak tahu juga, sistem biaya seperti apa, apakah konsinyasi atau memang seperti apa. Kalau sudah berjalan, posisi kurator seperti apa. Logikanya kan siapa yang punya uang yang berhak menggunakan,” katanya.
Di berharap minat masyarakat mengunjungi Galeri Nasional Indonesia juga bisa bagus dengan perubahan ini mengingat apresiasi masyarakat sudah bagus. “Saya berharap bisa lebih hidup selama jejaring galnas dengan beberapa stakeholder ditingkatkan lagi,” katanya.
Dia juga menilai pemerintah perlu memperhatikan infrastruktur Galeri Nasional Indonesia. Baginya, pemerintah juga harus membangun infrastruktur jika ingin menerapkan Badan Layanan Umum. Saat ini sistem kerja sama museum adalah saling meminjam koleksi atau kerja sama diplomasi budaya.
Menurutnya, Galeri Nasional Indonesia belum mampu meminjam koleksi museum-museum besar dunia karena infrastruktur belum disiapkan. Dia mengingatkan yang bisa menjadi daya tarik bagi museum seni rupa adalah karya yang ditampilkan.
Orang akan datang untuk melihat lukisan karya seniman besar seperti Vang Gough, Michelangelo, dan sebagainya berapa pun tarif yang ditetapkan. “[Infrastruktur] Ini sebenarnya political will. Galeri Nasional Indonesia belum dianggap penting. Rendahnya political will untuk membesarkan Galeri Nasional Indonesia, menurut saya, masih sangat rendah,” katanya.
Kurator Erwien Kusuma mengatakan bahwa sumber daya manusia (SDM) yang akan menjadi kepala Museum dan Cagar Budaya harus memiliki pemahaman terhadap seni, budaya, dan kepurbakalaan yang kuat.
Kemudian juga harus mampu berkomunikasi dengan dunia luar untuk melakukan kolaborasi, melakukan pengenalan terhadap publik luar negeri yang lebih luas lagi.
Baca juga: Yuk Berwisata Menikmati Karya Seni di Galeri Nasional
Kepala Museum dan Cagar Budaya juga harus mampu mengelola individu yang ahli dan membawa peluang aset yang dimiliki untuk berkomunikasi secara luas ke masyarakat di dalam dan luar negeri. Lalu, kepala Museum dan Cagar Budaya juga memiliki jaringan.
Editor: Dika Irawan
Sebelum keluar peraturan tersebut, Galeri Nasional Indonesia masuk dalam unit pelaksana teknis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bersama dengan instansi lain. Hal itu tertuang dalam Permendikbud 26/2020. Adapun, secara struktur, Galnas saat itu berada di bawah Direktur Jenderal Kebudayaan.
Di aturan lama itu, Galnas menyelenggarakan beberapa fungsi. Di antaranya pengkajian karya seni rupa, pengumpulan karya seni rupa, dan pelaksanaan reigstrasi karya seni rupa.
Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto mengatakan bahwa Unit Pelaksana Teknis Museum dan Cagar Budaya merupakan Gabungan dari Museum Museum Nasional, Museum Basoeki Abdullah, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.
Baca juga: Seniman Kokoh Noegroho Gelar Pameran Tunggal di Galeri Nasional, Tampilkan 108 Karya Lukisan
Kemudian, Museum Kebangkitan Nasional, Museum Kepresidenan Republik Indonesia Balai Kirti, Museum Sumpah Pemuda, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Galeri Nasional Indonesia, Balai Konservasi Borobudur, dan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran.
Penggabungan itu membuat manajemen di Galeri Nasional Indonesia dapat mengalami perubahan. Dia pun berharap nama Galeri Nasional Indonesia tetap ada, meskipun menjadi bagian dari Museum dan Cagar Budaya.
Menurutnya, nama Galeri Nasional Indonesia pasti dipertahankan jika mengadopsi standar internasional. Jadi, lanjutnya, bisa saja nama Galeri Nasional Indonesia tetap ada.
Selanjutnya, UPT Museum dan Cagar Budaya yang akan berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) juga memungkinkan pengelolaan manajemen terkait dengan komersial yang selama ini sulit untuk dijalani dapat dilaksanakan.
Pustanto mengatakan bahwa pernah ada minat kerja sama komersial yang diajukan oleh hotel tertentu terhadap Galeri Nasional Indonesia untuk membawa tamu hotel ke galeri sebagai bagian dari layanan.
Minat itu tidak bisa dilanjutkan lantaran pada saat itu payung hukum untuk melakukan kerja sama komersial seperti itu belum ada.
Dalam masa transisi ini, kata Pustanto, sedang ada proses ada pendataan sumber-sumber pendapatan yang bisa diperoleh oleh manajemen di Galeri Nasional Indonesia nantinya seiring perubahan ketentuan organisasi dan tata kerja di Galeri Nasional Indonesia.
Dia menuturkan banyak potensi pendapatan yang bisa diperoleh di Galeri Nasional seperti tiket masuk, parkir, sewa area, sewa gedung serba guna, pemanfaatan seperti gambar koleksi, dan sebagainya.
Besaran tarif tiket yang akan dikenakan terhadap individu, sewa gedung untuk komersial seperti kafe, dan sebagainya pada saat ini belum ada. Meskipun begitu, dia menilai manajemen nanti bisa menetapkan besaran tarif yang berbeda-beda.
Menurutnya, tarif masuk ke Galeri Nasional untuk anak sekolah bisa saja gratis dengan cara mencarikan sponsor. Dia menuturkan besaran tarif akan didiskusikan dengan kepala Museum dan Cagar Budaya sebelum diajukan ke Kementerian Keuangan.
Sementara itu, Kurator Citra Smara Dewi menilai bahwa beleid ini secara psikologi seolah-olah menyamakan Galeri Nasional dengan museum lain.
Padahal, menurutnya, Galeri Nasional Indonesia sudah cukup luas dan bagus, memiliki hubungan secara nasional dan internasional. Dia menambahkan pengunjung Galeri Nasional Indonesia juga sudah pada tingkatan menteri atau wakil presiden.
Di sisi lain, lanjutnya, beleid itu juga membangun semangat kemandirian karena dalam salah satu pasalnya kepala Galeri Nasional Indonesia nanti bisa menyusun proses bisnis. Tidak hanya itu, dia juga setuju jika terdapat lelang jabatan untuk kepala Galeri Nasional Indonesia berdasarkan kompetensi.
Di bagian ini, dia mengaku setuju karena selama ini kepala galeri nasional selalu dibebankan dengan pekerjaan admin, mulai dari atap bocor, rapat sana dan sini, dan sebagainya. “Kalau yang dipilih profesional, fokus untuk memajukan Galeri Nasional Indonesia, saya pikir itu bagus ya,” katanya.
Dia menambahkan program pameran yang diinisiasi oleh Galeri Nasional Indonesia seperti Pameran Nusantara atau Manifesto tidak ada masalah dengan perubahan ini. Namun, saat pameran ingin berpameran kemungkinan akan dikenakan biaya.
“Tapi tidak tahu juga, sistem biaya seperti apa, apakah konsinyasi atau memang seperti apa. Kalau sudah berjalan, posisi kurator seperti apa. Logikanya kan siapa yang punya uang yang berhak menggunakan,” katanya.
Pelataran Gedung Galnas (Sumber gambar: GNI)
Bisnis & Infrastruktur
Dia menuturkan kebijakan pemerintah ini juga dapat membuat sejumlah tenan kafe bisa ada di Galeri Nasional Indonesia karena salah satu indikator kinerjanya adalah pencapaian strategi bisnis. Selama ini, lanjutnya, Galeri Nasional Indonesia melakukan tarik – ulur terkait hal itu. Ketika “kran” bisnis dibuka, peluang bisnis di Galeri Nasional Indonesia akan terbuka.Di berharap minat masyarakat mengunjungi Galeri Nasional Indonesia juga bisa bagus dengan perubahan ini mengingat apresiasi masyarakat sudah bagus. “Saya berharap bisa lebih hidup selama jejaring galnas dengan beberapa stakeholder ditingkatkan lagi,” katanya.
Dia juga menilai pemerintah perlu memperhatikan infrastruktur Galeri Nasional Indonesia. Baginya, pemerintah juga harus membangun infrastruktur jika ingin menerapkan Badan Layanan Umum. Saat ini sistem kerja sama museum adalah saling meminjam koleksi atau kerja sama diplomasi budaya.
Menurutnya, Galeri Nasional Indonesia belum mampu meminjam koleksi museum-museum besar dunia karena infrastruktur belum disiapkan. Dia mengingatkan yang bisa menjadi daya tarik bagi museum seni rupa adalah karya yang ditampilkan.
Orang akan datang untuk melihat lukisan karya seniman besar seperti Vang Gough, Michelangelo, dan sebagainya berapa pun tarif yang ditetapkan. “[Infrastruktur] Ini sebenarnya political will. Galeri Nasional Indonesia belum dianggap penting. Rendahnya political will untuk membesarkan Galeri Nasional Indonesia, menurut saya, masih sangat rendah,” katanya.
Kurator Erwien Kusuma mengatakan bahwa sumber daya manusia (SDM) yang akan menjadi kepala Museum dan Cagar Budaya harus memiliki pemahaman terhadap seni, budaya, dan kepurbakalaan yang kuat.
Kemudian juga harus mampu berkomunikasi dengan dunia luar untuk melakukan kolaborasi, melakukan pengenalan terhadap publik luar negeri yang lebih luas lagi.
Baca juga: Yuk Berwisata Menikmati Karya Seni di Galeri Nasional
Kepala Museum dan Cagar Budaya juga harus mampu mengelola individu yang ahli dan membawa peluang aset yang dimiliki untuk berkomunikasi secara luas ke masyarakat di dalam dan luar negeri. Lalu, kepala Museum dan Cagar Budaya juga memiliki jaringan.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.