Wisata Antimainstream ke Pulau Kemaro, Ada Legenda Suci Hingga Pohon Cinta
15 August 2022 |
18:07 WIB
Palembang, tidak cuma punya Jembatan Ampera yang melintang Sungai Musi. Jembatan yang dulunya tenar bernama Jembatan Bung Karno ini memang indah dipandang, apalagi bila dinikmati dari bibir sungai pada malam hari ketika cahaya lampu yang berjejer di dua pendulumnya menyeruak pekatnya malam.
Ibu Kota Sumatra Selatan inipun tidak hanya punya Benteng Kuto Besak, sebuah bangunan abad ke-17 yang dibangun pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dan berada tak jauh dari Sungai Musi. Bangunan saksi perlawanan terhadap penjajah ini memang menarik didatangi pada sore hari.
Palembang juga punya Pulau Kemaro. Jangan bayangkan pulau di tengah laut karena pulau ini sesungguhnya delta Sungai Musi. Delta seluas 28 hektare ini selalu kering sehingga mewujud menjadi pulau yang menghampar di tengah-tengah sungai.
Baca juga: 8 Destinasi Petualangan Tak Biasa di Pulau Sentosa
Bahkan ketika Sungai Musi pasang, pulau itu tetap selalu kering. Tak heran masyarakat sekitar menyebutnya Pulau Kemaro yang merujuk pada kata kemarau. Dari Jembatan Ampera, Pulau Kemaro berjarak 5 km.
Untuk mencapainya, pengunjung hanya perlu berperahu ketek menyusuri sungai yang telah menjadi ikon Palembang itu selama 20 menit. Biayanya sekitar Rp200.000 hingga Rp400.000 pulang pergi. Bisa juga menumpang perahu cepat bermesin dua selama 10 menit. Tarifnya hampir dua kali lipat perahu ketek dan berlaku untuk tiap perahu berkapasitas delapan orang.
Ternyata Kemaro bukan sekadar pulau kosong. Pulau ini menyimpan legenda suci yang dipercaya masyarakat Tionghoa. Legenda itu lantas mewujud dalam sebuah klenteng bernama Klenteng Soei Goeat Kiong.
Klenteng ini kerap ramai didatangi pemeluk Kong Hu Cu dan Buddha Tridharma saat hari raya Cap Go Meh. Jika kalian menyambangi Pulau Kemaro, Anda dapat menemukan legenda tersebut terpatri dalam sebuah prasasti di depan klenteng.
Prasasti tersebut menceritakan sebuah kisah pada masa Kerajaan Palembang, tentang putri raja bernama Siti Fatimah yang disunting saudagar Tionghoa bernama Tan Bun An. Siti lantas diajak ke daratan Tiongkok untuk melihat orang tua Tan.
Sebelum pamit pulang ke Palembang, keduanya diberi hadiah berupa tujuh guci oleh orang tua Tan. Berlayarlah Siti dan Tan ke Palembang. Sesampainya di perairan Musi, dekat Pulau Kemaro, Tan ingin melihat hadiah yang diberikan.
Begitu dibuka, alangkah terkejutnya dia melihat isi guci hanya sawi asin. Tanpa pikir panjang, Tan langsung membuangnya ke sungai. Saat guci terakhir hendak dilempar, guci tersebut jatuh dan pecah di atas dek perahu layar.
Rupanya, guci itu menyimpan hadiah. Melompatlah Tan ke dalam sungai untuk mencari guci-guci yang sudah dibuangnya. Pengawalnya turut serta. Siti menanti Tan muncul di permukaan air sungai, tetapi sang suami tak kunjung terlihat. Terjunlah Siti ke dalam sungai untuk membantu suaminya. Namun, ketiganya tidak pernah muncul ke permukaan.
Selanjutnya, penduduk sekitar kerap mendatangai Pulau Kemaro untuk mengenang tiga orang itu. Tempat itupun dianggap sebagai tempat keramat. Entah sudah berapa lama legenda itu tersimpan. Juli 2015 silam, kala menyambangi Pulau Kemaro, suasana terasa sungguh tenang. Tidak banyak pengunjung yang datang.
Taman yang cukup rindang di tengah pulau menjadi penghantar jalan menuju klenteng. Bau hio meruak di seantero klenteng yang didirikan Yayasan Toa Pekong itu pada 1962. Seorang warga lokal yang sudah menjaga Pulau Kemaro lebih dari 10 tahun duduk di bawah pohon rindang, menikmati pagi cerah bulan Juli.
Pulau Kemaro katanya bakal ramai saat hari raya Cap Go Meh. Di saat itu, pemeluk Kong Hu Cu dan Buddha Tridharma berbondongbondong datang. Tak ketinggalan warga negara tetangga, seperti dari Singapura.
Sekitas 20 meter dari klenteng, berdiri kokoh pagoda berlantai sembilan. Pagoda yang berdiri sejak 2006 ini persis berada di tengah pulau. Merah dan kuning mendominasi pagoda cantik ini. Dua patung singa berdiri di depan pintu masuk pagoda, menjaga tangga masuk ke dalam bangunan.
Sejumlah pahatan berwarna-warni melingkari tingkat dasar pagoda. Khas Tionghoa, ikan dan burung phoenix, banyak tertera di pahatan. Bagi orang Tionghoa, ikan bermaka kelimpahan, sedangkan burung phoenix melambangkan persatuan antara lelaki dan perempuan.
Sekitar 15 meter di sebelah kanan pagoda, berdiri patung besar setinggi tiga meter. Sekujur badannya berwarna keemasan. Dialah patung Dewa Kemakmuran, simbol rezeki dalam kacamata orang Tionghoa. Tidak jauh dari patung, tertanam pohon jejawi. Anak-anak batangnya menjuntai, turut menopang ribuan daun.
Disebut Pohon Cinta, mitos menyebut pohon itu didiami Siti Fatimah dan Tan Bun An. Konon kabarnya, tujuh guci tersimpan di bawah Pohon Cinta. Menurut Herman, penjaga Pulau Kemaro, hanya pohon itu yang sulit ditebang ketika Yayasan Toa Pekong membabat pohon-pohon di samping pagoda.
“Kalau ada yang menebang, pasti orang itu sakit. Setelah ‘dilihat’, rupanya roh di pohon itu tidak mau pohon itu ditebang,” ujar Herman.
Namanya saja mitos, sulit nalar untuk membenarkan. Karena sudah dibungkus mitos pula, Pohon Cinta menjadi satu daya tarik di Pulau Kemaro. Herman bercerita beberapa muda-mudi kerap mendatangi pohon yang dilingkari pagar kecil itu.
Baca juga: Inspirasi Traveling, Pulau Cawan nan Menawan
Biasanya mereka menikmati pohon itu sambil mengutarakan perasaan satu sama lain. Jika kelelahan saat berkeliling Pulau Kemaro, cobalah bersantai di pondok yang menjajakan makanan ringan dan minuman.
Beberapa pondok berjejer di samping kanan dan kiri pagoda. Herman beserta istri juga menjajakan minuman, termasuk kelapa muda. Seperti ketika bersantai di pantai, minum kelapa muda di Pulau Kemaro juga terasa asyik, disertai lembutnya hembusan angin Sungai Musi dan keheningan suasana sekitar. Pulau Kemaro memang tidak ada salahnya disambangi ketika Anda mampir ke Palembang.
Editor: Fajar Sidik
Ibu Kota Sumatra Selatan inipun tidak hanya punya Benteng Kuto Besak, sebuah bangunan abad ke-17 yang dibangun pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dan berada tak jauh dari Sungai Musi. Bangunan saksi perlawanan terhadap penjajah ini memang menarik didatangi pada sore hari.
Palembang juga punya Pulau Kemaro. Jangan bayangkan pulau di tengah laut karena pulau ini sesungguhnya delta Sungai Musi. Delta seluas 28 hektare ini selalu kering sehingga mewujud menjadi pulau yang menghampar di tengah-tengah sungai.
Baca juga: 8 Destinasi Petualangan Tak Biasa di Pulau Sentosa
Bahkan ketika Sungai Musi pasang, pulau itu tetap selalu kering. Tak heran masyarakat sekitar menyebutnya Pulau Kemaro yang merujuk pada kata kemarau. Dari Jembatan Ampera, Pulau Kemaro berjarak 5 km.
Untuk mencapainya, pengunjung hanya perlu berperahu ketek menyusuri sungai yang telah menjadi ikon Palembang itu selama 20 menit. Biayanya sekitar Rp200.000 hingga Rp400.000 pulang pergi. Bisa juga menumpang perahu cepat bermesin dua selama 10 menit. Tarifnya hampir dua kali lipat perahu ketek dan berlaku untuk tiap perahu berkapasitas delapan orang.
Ternyata Kemaro bukan sekadar pulau kosong. Pulau ini menyimpan legenda suci yang dipercaya masyarakat Tionghoa. Legenda itu lantas mewujud dalam sebuah klenteng bernama Klenteng Soei Goeat Kiong.
Klenteng ini kerap ramai didatangi pemeluk Kong Hu Cu dan Buddha Tridharma saat hari raya Cap Go Meh. Jika kalian menyambangi Pulau Kemaro, Anda dapat menemukan legenda tersebut terpatri dalam sebuah prasasti di depan klenteng.
Prasasti tersebut menceritakan sebuah kisah pada masa Kerajaan Palembang, tentang putri raja bernama Siti Fatimah yang disunting saudagar Tionghoa bernama Tan Bun An. Siti lantas diajak ke daratan Tiongkok untuk melihat orang tua Tan.
Sebelum pamit pulang ke Palembang, keduanya diberi hadiah berupa tujuh guci oleh orang tua Tan. Berlayarlah Siti dan Tan ke Palembang. Sesampainya di perairan Musi, dekat Pulau Kemaro, Tan ingin melihat hadiah yang diberikan.
Begitu dibuka, alangkah terkejutnya dia melihat isi guci hanya sawi asin. Tanpa pikir panjang, Tan langsung membuangnya ke sungai. Saat guci terakhir hendak dilempar, guci tersebut jatuh dan pecah di atas dek perahu layar.
Rupanya, guci itu menyimpan hadiah. Melompatlah Tan ke dalam sungai untuk mencari guci-guci yang sudah dibuangnya. Pengawalnya turut serta. Siti menanti Tan muncul di permukaan air sungai, tetapi sang suami tak kunjung terlihat. Terjunlah Siti ke dalam sungai untuk membantu suaminya. Namun, ketiganya tidak pernah muncul ke permukaan.
Selanjutnya, penduduk sekitar kerap mendatangai Pulau Kemaro untuk mengenang tiga orang itu. Tempat itupun dianggap sebagai tempat keramat. Entah sudah berapa lama legenda itu tersimpan. Juli 2015 silam, kala menyambangi Pulau Kemaro, suasana terasa sungguh tenang. Tidak banyak pengunjung yang datang.
Taman yang cukup rindang di tengah pulau menjadi penghantar jalan menuju klenteng. Bau hio meruak di seantero klenteng yang didirikan Yayasan Toa Pekong itu pada 1962. Seorang warga lokal yang sudah menjaga Pulau Kemaro lebih dari 10 tahun duduk di bawah pohon rindang, menikmati pagi cerah bulan Juli.
Pulau Kemaro katanya bakal ramai saat hari raya Cap Go Meh. Di saat itu, pemeluk Kong Hu Cu dan Buddha Tridharma berbondongbondong datang. Tak ketinggalan warga negara tetangga, seperti dari Singapura.
Sekitas 20 meter dari klenteng, berdiri kokoh pagoda berlantai sembilan. Pagoda yang berdiri sejak 2006 ini persis berada di tengah pulau. Merah dan kuning mendominasi pagoda cantik ini. Dua patung singa berdiri di depan pintu masuk pagoda, menjaga tangga masuk ke dalam bangunan.
Sejumlah pahatan berwarna-warni melingkari tingkat dasar pagoda. Khas Tionghoa, ikan dan burung phoenix, banyak tertera di pahatan. Bagi orang Tionghoa, ikan bermaka kelimpahan, sedangkan burung phoenix melambangkan persatuan antara lelaki dan perempuan.
Sekitar 15 meter di sebelah kanan pagoda, berdiri patung besar setinggi tiga meter. Sekujur badannya berwarna keemasan. Dialah patung Dewa Kemakmuran, simbol rezeki dalam kacamata orang Tionghoa. Tidak jauh dari patung, tertanam pohon jejawi. Anak-anak batangnya menjuntai, turut menopang ribuan daun.
Disebut Pohon Cinta, mitos menyebut pohon itu didiami Siti Fatimah dan Tan Bun An. Konon kabarnya, tujuh guci tersimpan di bawah Pohon Cinta. Menurut Herman, penjaga Pulau Kemaro, hanya pohon itu yang sulit ditebang ketika Yayasan Toa Pekong membabat pohon-pohon di samping pagoda.
“Kalau ada yang menebang, pasti orang itu sakit. Setelah ‘dilihat’, rupanya roh di pohon itu tidak mau pohon itu ditebang,” ujar Herman.
Namanya saja mitos, sulit nalar untuk membenarkan. Karena sudah dibungkus mitos pula, Pohon Cinta menjadi satu daya tarik di Pulau Kemaro. Herman bercerita beberapa muda-mudi kerap mendatangi pohon yang dilingkari pagar kecil itu.
Baca juga: Inspirasi Traveling, Pulau Cawan nan Menawan
Biasanya mereka menikmati pohon itu sambil mengutarakan perasaan satu sama lain. Jika kelelahan saat berkeliling Pulau Kemaro, cobalah bersantai di pondok yang menjajakan makanan ringan dan minuman.
Beberapa pondok berjejer di samping kanan dan kiri pagoda. Herman beserta istri juga menjajakan minuman, termasuk kelapa muda. Seperti ketika bersantai di pantai, minum kelapa muda di Pulau Kemaro juga terasa asyik, disertai lembutnya hembusan angin Sungai Musi dan keheningan suasana sekitar. Pulau Kemaro memang tidak ada salahnya disambangi ketika Anda mampir ke Palembang.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.