Nyok, Kenalan dengan Arsitektur Rumah Betawi
22 June 2021 |
15:20 WIB
Ada banyak cara untuk merayakan ulang tahun Kota Jakarta ke-494. Karena saat ini kondisinya tidak memungkinkan untuk berkumpul dan sama-sama menikmati perayaan, bagaimana kalau kita belajar sedikit tentang sejarah Jakarta? Bicara soal Jakarta, Ibu Kota ini dikenal dengan keberagamannya.
Nah, kemajuan Ibu Kota tentu lebih pesat dibandingkan dengan kota lain. Salah satu aspek yang paling signifikan adalah dari segi desain arsitekturnya. Sebelum menjadi hutan beton seperti sekarang, Kota Jakarta dikelilingi dengan desain arsitektur yang sangat khas terlihat pada rumah-rumah penduduk asli Jakarta yakni masyarakat Betawi.
Kita bisa melihat aplikasi desain ini pada rumah-rumah di 4 Kampung Betawi yang masih eksis seperti: Kampung Si Pitung, Jakarta Utara; Kampung Rawa Belong, Jakarta Barat; Kampung Setu Babakan, Jakarta Selatan; dan Rumah Si Doel, Condet, Jakarta Timur.
Di balik tiap ornamen dan rancangan bangunan rumah adat Betawi biasanya mengandung makna filosofis yang erat kaitannya dengan sejarah dan kehidupan.
GenHype, tahu enggak? Meskipun secara resmi rumah adat Betawi yang tercatat adalah Rumah Kebaya, ternyata masih ada tiga lagi arsitektur rumah Betawi yang perlu kita ketahui, antara lain Rumah Panggung, Rumah Gudang, dan Rumah Joglo.
Sebelum kita membahas keempatnya, perlu diketahui bahwa rumah adat Betawi merupakan akulturasi budaya dari masyarakat yang tinggal di Jakarta. Ada banyak pengaruh yang datang dari budaya lokal seperti Jawa dan Sunda, terlihat pada kemiripannya dengan Rumah Joglo dan Rumah Panggung.
Pengaruh dari budaya asing yang datang dari China, Eropa dan Arab juga diaplikasikan pada ornamen pintu dan jendela rumah adat Betawi. Yang membedakan rumah adat Betawi, meski dengan pengaruh budaya lokal lainnya, adalah teras yang menjadi ciri khas.
Teras rumah adat Betawi adalah tempat di mana keluarga dan tamu dapat berinteraksi. Lantai terasnya diberi nama Gejogan yang memiliki simbol penghormatan kepada tamu.
Gejogan dihubungkan sebagai tangga, atau Balaksuji, yang disakralkan oleh masyarakat Betawi sebagai satu-satunya lokasi penting untuk mencapai rumah. Teras ini memiliki makna keterbukaan pemilik rumah dalam menyambut tamu.
Rumah Kebaya merupakan rumah adat betawi dengan bentuk atap perisai landai yang diteruskan dengan atap pelana yang lebih landai, terutama pada bagian teras. Bangunannya ada yang berbentuk rumah panggung dan ada pula yang menapak di atas tanah dengan lantai yang ditinggikan.
Masyarakat betawi lama memiliki adat untuk membuat sumur di halaman depan rumah dan mengebumikan keluarga yang meninggal di halaman samping kanan rumah. Lisplank rumah kebaya berupa papan yang diukir dengan ornamen segitiga berjajar yang diberi nama Gigi Balang.
Di bagian tengah sebagai ruang tinggal dibatasi dinding tertutup, di luarnya merupakan teras-teras terbuka yang dikelilingi pagar karawang rendah.
Dinding bagian depan biasanya dibuat dari panil-panil yang dapat dilepas saat pemilik rumah menyelenggarakan acara yang membutuhkan ruang lebih luas.
Tiang-tiang rumah lebih tampak jelas di bagian teras, berdiri di atas lantai yang agak naik dari ketinggian tanah di halaman. Terdapat tangga pendek dari batu-bata atau kayu untuk mencapai teras rumah. Ruang-ruang terbagi dengan hirarki dari sifat publik di bagian depan menuju sifat privat dan servis di bagian belakang.
Rumah Panggung asli dibangun oleh penduduk yang tinggal baik di daerah pesisir maupun di daerah pertanian. Pembangunan Rumah Panggung biasanya merupakan upaya adaptasi terhadap kondisi dan situasi lingkungan.
Di daerah agraris, masyarakat memanfaatkan ruang bawah rumah panggung untuk beternak (kambing, ayam, itik) serta untuk menghindari kemungkinan serangan binatang buas, seperti ular berbisa.
Sementara itu, rumah panggung di kawasan pesisir juga memiliki fungsi serupa. Air laut yang sering naik saat bulan purnama kerap membawa banjir, yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan rob, hingga ke pemukiman warga.
Dengan demikian, masyarakat setempat harus membangun rumah panggung agar air tidak menggenangi rumah.
Nah, kemajuan Ibu Kota tentu lebih pesat dibandingkan dengan kota lain. Salah satu aspek yang paling signifikan adalah dari segi desain arsitekturnya. Sebelum menjadi hutan beton seperti sekarang, Kota Jakarta dikelilingi dengan desain arsitektur yang sangat khas terlihat pada rumah-rumah penduduk asli Jakarta yakni masyarakat Betawi.
Kita bisa melihat aplikasi desain ini pada rumah-rumah di 4 Kampung Betawi yang masih eksis seperti: Kampung Si Pitung, Jakarta Utara; Kampung Rawa Belong, Jakarta Barat; Kampung Setu Babakan, Jakarta Selatan; dan Rumah Si Doel, Condet, Jakarta Timur.
Di balik tiap ornamen dan rancangan bangunan rumah adat Betawi biasanya mengandung makna filosofis yang erat kaitannya dengan sejarah dan kehidupan.
GenHype, tahu enggak? Meskipun secara resmi rumah adat Betawi yang tercatat adalah Rumah Kebaya, ternyata masih ada tiga lagi arsitektur rumah Betawi yang perlu kita ketahui, antara lain Rumah Panggung, Rumah Gudang, dan Rumah Joglo.
Sebelum kita membahas keempatnya, perlu diketahui bahwa rumah adat Betawi merupakan akulturasi budaya dari masyarakat yang tinggal di Jakarta. Ada banyak pengaruh yang datang dari budaya lokal seperti Jawa dan Sunda, terlihat pada kemiripannya dengan Rumah Joglo dan Rumah Panggung.
Pengaruh dari budaya asing yang datang dari China, Eropa dan Arab juga diaplikasikan pada ornamen pintu dan jendela rumah adat Betawi. Yang membedakan rumah adat Betawi, meski dengan pengaruh budaya lokal lainnya, adalah teras yang menjadi ciri khas.
Teras rumah adat Betawi adalah tempat di mana keluarga dan tamu dapat berinteraksi. Lantai terasnya diberi nama Gejogan yang memiliki simbol penghormatan kepada tamu.
Gejogan dihubungkan sebagai tangga, atau Balaksuji, yang disakralkan oleh masyarakat Betawi sebagai satu-satunya lokasi penting untuk mencapai rumah. Teras ini memiliki makna keterbukaan pemilik rumah dalam menyambut tamu.
4 Jenis Rumah Adat Betawi
1. Rumah Kebaya
Rumah Kebaya dengan ornamen Gigi Balang (Dok. jakarta-tourism.go.id)
Masyarakat betawi lama memiliki adat untuk membuat sumur di halaman depan rumah dan mengebumikan keluarga yang meninggal di halaman samping kanan rumah. Lisplank rumah kebaya berupa papan yang diukir dengan ornamen segitiga berjajar yang diberi nama Gigi Balang.
Di bagian tengah sebagai ruang tinggal dibatasi dinding tertutup, di luarnya merupakan teras-teras terbuka yang dikelilingi pagar karawang rendah.
Dinding bagian depan biasanya dibuat dari panil-panil yang dapat dilepas saat pemilik rumah menyelenggarakan acara yang membutuhkan ruang lebih luas.
Tiang-tiang rumah lebih tampak jelas di bagian teras, berdiri di atas lantai yang agak naik dari ketinggian tanah di halaman. Terdapat tangga pendek dari batu-bata atau kayu untuk mencapai teras rumah. Ruang-ruang terbagi dengan hirarki dari sifat publik di bagian depan menuju sifat privat dan servis di bagian belakang.
2. Rumah Panggung
Rumah Si Pitung (Dok. mitramuseumjakarta.org)
Rumah Panggung asli dibangun oleh penduduk yang tinggal baik di daerah pesisir maupun di daerah pertanian. Pembangunan Rumah Panggung biasanya merupakan upaya adaptasi terhadap kondisi dan situasi lingkungan.
Di daerah agraris, masyarakat memanfaatkan ruang bawah rumah panggung untuk beternak (kambing, ayam, itik) serta untuk menghindari kemungkinan serangan binatang buas, seperti ular berbisa.
Sementara itu, rumah panggung di kawasan pesisir juga memiliki fungsi serupa. Air laut yang sering naik saat bulan purnama kerap membawa banjir, yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan rob, hingga ke pemukiman warga.
Dengan demikian, masyarakat setempat harus membangun rumah panggung agar air tidak menggenangi rumah.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.