Kalian Ingin Melepas Status Lajang? Bahas Hal Ini Lebih Dahulu dengan Pasangan
24 July 2022 |
19:20 WIB
Siapa yang tak pernah memimpikan jadi ratu dan raja sehari dalam sebuah perayaan pernikahan. Selain riasan elok berlatar gedung berdekorasi indah, pesta pernikahan begitu istimewa lantaran dua insan telah menyatu dalam ikatan suci pernikahan.
Begitu penting dan sakralnya momen tersebut, sebagian besar pasangan pun mencurahkan perhatian pada persiapan resepsi pernikahan, mulai dari mengurus undangan, pakaian, hingga suvenir pernikahan. Tak jarang calon pasangan terlalu larut dalam persiapan teknis pernikahan hingga melupakan kesiapan emosional yang seharusnya dirundingkan bersama.
Seperti dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 15 Oktober 2017, Psikolog Rosalina Verauli mengatakan bahwa sebelum jauh memikirkan resepsi pernikahan, pasangan harus memeriksa dengan baik kesiapan finansial dan mental.
Kesiapan finansial tersebut terkait dengan apakah masih bergantung pada orang tua atau sudah mampu menghidupi diri sendiri. Hal yang perlu dipersiapkan juga adalah pemahaman masing-masing pasangan terhadap nilai kehidupan yang dianut dan yang diharapkan setelah menikah.
“Ada yang lebih sehat dibahas dibanding resepsi, tidak perlu berlebihan untuk resepsinya,” kata Vera.
Baca juga: Awas, 5 Gangguan Mental Ini Mengintai karena Overthinking
Terkait dengan kemampuan finansial, perlu menjadi bahan rundingan penting sebelum pernikahan. Apalagi permasalahan finansial kerap kali menjadi pemicu retaknya hubungan rumah tangga. Jika salah satu dari pasangan belum mampu mandiri dari segi finansial, maka perlu dirundingkan lagi mengenai siapa yang nantinya bertanggung jawab sebagai penafkah dalam rumah tangga.
Termasuk sang istri nantinya boleh bekerja atau tidak dan setelah menikah akan memiliki rumah sendiri atau tinggal bersama orang tua. “Nilai-nilai kehidupan harus dibagi dengan pasangan, termasuk boleh bekerja atau tidak. Jangan sampai ini dibahas setelah pernikahan,” ujar Vera.
Selain finansial, yang juga tak kalah penting adalah kemandirian secara emosional. Dalam artian, kemandirian masing-masing pasangan dalam mengambil keputusan setelah menikah, apakah masih mengandalkan orang tua atau tidak. Jangan sampai, urusan rumah tangga seperti jumlah anak dan tempat tinggal bergantung pada keputusan orang tua.
Ketahui motivasi pasangan
Dalam dunia psikologi, kata Vera, yang tak kalah penting untuk saling diketahui sebelumnya adalah motif dari pasangan untuk menikah. Apakah motif tersebut positif atau negatif, harus sama-sama diketahui kedua belah pihak. “Biasanya motif negatif karena ingin melunasi hutang keluarga, atau ingin terbebas dari orang tua atau ingin balas dendam pada mantan, itu semua harus diketahui sebelum pernikahan,” jelas Vera.
Jika kemandirian dan motif pernikahan telah didiskusikan dengan pasangan, saatnya saling berbagi nilai-nilai kehidupan yang diyakini masing-masing pasangan. Misalnya jumlah keturunan dan kemungkinan buruk jika pasangan tidak mampu memberikan keturunan. Termasuk juga di nilai penghayatan terhadap agama, menurut Vera perlu diseimbangkan satu dengan yang lain.
“Bukan apa agamanya, tapi penghayatan agamanya. Jangan sampai satunya rajin pengajian, satunya tidak,” katanya.
Sama halnya dengan pandangan berpoligami, setuju ataupun tidak, sebaiknya harus disampaikan kepada pasangan sebelum menikah agar kelak tidak terjadi perselisihan dalam rumah tangga. Selain persoalan penghayatan agama, juga tak kalah penting untuk mendiskusikan gaya hidup masing-masing.
Gaya hidup ini menjadi penting karena berkaitan erat dengan finansial dalam rumah tangga nantinya. Jangan sampai salah satu pasangan memiliki gaya hidup lebih hedonik, sedangkan pasangannya tidak punya cukup uang untuk memenuhinya.
Baca juga: 5 Persiapan Penting Untuk Menikah Biar Awet & Bahagia
Selain memahami diri dan pasangan, masing-masing pihak juga perlu memahami secara mendalam tentang keluarga satu sama lain. Hal tersebut perlu dilakukan karena nilai-nilai yang dianut oleh pasangan tak pernah lepas dari keluarganya. Oleh karena itu, untuk memahami pasangan dapat dilihat dari kehidupan dan aspirasi keluarganya.
“Jangan cuma ayah ibunya, tapi tantenya seperti apa, kakek neneknya bagaimana, apakah ada riwayat tertentu dari keluarganya. Itu yang mesti dipahami,” katanya.
Editor: Dika Irawan
Begitu penting dan sakralnya momen tersebut, sebagian besar pasangan pun mencurahkan perhatian pada persiapan resepsi pernikahan, mulai dari mengurus undangan, pakaian, hingga suvenir pernikahan. Tak jarang calon pasangan terlalu larut dalam persiapan teknis pernikahan hingga melupakan kesiapan emosional yang seharusnya dirundingkan bersama.
Seperti dikutip dari Bisnis Indonesia Weekend edisi 15 Oktober 2017, Psikolog Rosalina Verauli mengatakan bahwa sebelum jauh memikirkan resepsi pernikahan, pasangan harus memeriksa dengan baik kesiapan finansial dan mental.
Kesiapan finansial tersebut terkait dengan apakah masih bergantung pada orang tua atau sudah mampu menghidupi diri sendiri. Hal yang perlu dipersiapkan juga adalah pemahaman masing-masing pasangan terhadap nilai kehidupan yang dianut dan yang diharapkan setelah menikah.
“Ada yang lebih sehat dibahas dibanding resepsi, tidak perlu berlebihan untuk resepsinya,” kata Vera.
Baca juga: Awas, 5 Gangguan Mental Ini Mengintai karena Overthinking
Terkait dengan kemampuan finansial, perlu menjadi bahan rundingan penting sebelum pernikahan. Apalagi permasalahan finansial kerap kali menjadi pemicu retaknya hubungan rumah tangga. Jika salah satu dari pasangan belum mampu mandiri dari segi finansial, maka perlu dirundingkan lagi mengenai siapa yang nantinya bertanggung jawab sebagai penafkah dalam rumah tangga.
Termasuk sang istri nantinya boleh bekerja atau tidak dan setelah menikah akan memiliki rumah sendiri atau tinggal bersama orang tua. “Nilai-nilai kehidupan harus dibagi dengan pasangan, termasuk boleh bekerja atau tidak. Jangan sampai ini dibahas setelah pernikahan,” ujar Vera.
Selain finansial, yang juga tak kalah penting adalah kemandirian secara emosional. Dalam artian, kemandirian masing-masing pasangan dalam mengambil keputusan setelah menikah, apakah masih mengandalkan orang tua atau tidak. Jangan sampai, urusan rumah tangga seperti jumlah anak dan tempat tinggal bergantung pada keputusan orang tua.
Ketahui motivasi pasangan
Dalam dunia psikologi, kata Vera, yang tak kalah penting untuk saling diketahui sebelumnya adalah motif dari pasangan untuk menikah. Apakah motif tersebut positif atau negatif, harus sama-sama diketahui kedua belah pihak. “Biasanya motif negatif karena ingin melunasi hutang keluarga, atau ingin terbebas dari orang tua atau ingin balas dendam pada mantan, itu semua harus diketahui sebelum pernikahan,” jelas Vera.
Jika kemandirian dan motif pernikahan telah didiskusikan dengan pasangan, saatnya saling berbagi nilai-nilai kehidupan yang diyakini masing-masing pasangan. Misalnya jumlah keturunan dan kemungkinan buruk jika pasangan tidak mampu memberikan keturunan. Termasuk juga di nilai penghayatan terhadap agama, menurut Vera perlu diseimbangkan satu dengan yang lain.
“Bukan apa agamanya, tapi penghayatan agamanya. Jangan sampai satunya rajin pengajian, satunya tidak,” katanya.
Sama halnya dengan pandangan berpoligami, setuju ataupun tidak, sebaiknya harus disampaikan kepada pasangan sebelum menikah agar kelak tidak terjadi perselisihan dalam rumah tangga. Selain persoalan penghayatan agama, juga tak kalah penting untuk mendiskusikan gaya hidup masing-masing.
Gaya hidup ini menjadi penting karena berkaitan erat dengan finansial dalam rumah tangga nantinya. Jangan sampai salah satu pasangan memiliki gaya hidup lebih hedonik, sedangkan pasangannya tidak punya cukup uang untuk memenuhinya.
Baca juga: 5 Persiapan Penting Untuk Menikah Biar Awet & Bahagia
Selain memahami diri dan pasangan, masing-masing pihak juga perlu memahami secara mendalam tentang keluarga satu sama lain. Hal tersebut perlu dilakukan karena nilai-nilai yang dianut oleh pasangan tak pernah lepas dari keluarganya. Oleh karena itu, untuk memahami pasangan dapat dilihat dari kehidupan dan aspirasi keluarganya.
“Jangan cuma ayah ibunya, tapi tantenya seperti apa, kakek neneknya bagaimana, apakah ada riwayat tertentu dari keluarganya. Itu yang mesti dipahami,” katanya.
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.