Museum MACAN Hadirkan 5 Instalasi yang Bahas Isu Lokal di Indonesia
15 January 2022 |
12:32 WIB
Setelah membuka pameran karya The Lost Jungle bersama kelompok perupa Tromarama, Museum Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN) kini menghadirkan pameran terbaru dengan judul Present Continuous / Sekarang Seterusnya mulai hari ini, Sabtu (15/01/2022).
Pameran ini menghadirkan 5 karya instalasi yang dibuat oleh 4 perupa dan 2 kolektif perupa dari 5 daerah di Indonesia, di antaranya adalah Arifa Safura & DJ Rencong dari Banda Aceh; Mira Rizki dari Bandung, Kolektif Udeido dari Jayapura, Muhlis Lugis dari Makassar; dan Unit Pelaksana Terrakota Daerah (UPTD) dari Majalengka.
Hadir dalam rupa fisik, kelima karya yang mereka hadirkan ditujukan sebagai respons atas pandemi Covid-19 di Indonesia dan sebagai wadah penyampaian berbagai informasi dan riset dari berbagai komunitas artistik tentang isu-isu lokal yang hadir di setiap daerah.
Isu yang hadir bervariasi dari memori kolektif atau memori yang ada di dalam sebuah komunitas masyarakat; gagasan tentang bunyi dan lingkungan sekitar; mitologi dan keanekaragaman hayati; hingga keterlibatan industri kreatif dalam perubahan kebijakan melalui pembangunan ekonomi mikro.
Pertama, ada karya dari kolektif Udeido dengan judul Transformasi Koreri yang datang dari kepercayaan tentang Koreri atau perdamaian di dalam kepercayaan masyarakat suku Biak. Berbekal kearifan lokal Papua dari gaya hidup hingga elemen budaya seperti cerita rakyat, Transformasi Koreri berusaha mengelaborasikan semua itu dengan narasi tentang masa depan yang ideal yaitu adanya kelahiran kembali melalui perdamaian.
"Praktik tersebut secara kolektif dilakukan untuk mencoba memproyeksikan masa depan yang dirasa ideal bagi masyarakat Papua... Koreri sendiri diartikan sebagai perdamaian dan orang-orang di Biak percaya bahwa perdamaian akan terwujud suatu hari nanti," tutur Dicky Takndare selaku perwakilan Kolektif Udeido.
Kedua, ada instalasi interaktif Dancing Shadow yang mengangkat tentang memori kolektif dan naratif tentang perempuan dan trauma dengan konflik di Aceh. Dalam pernyataan resmi milik perupa Arifa Safura, dia mengatakan bahwa instalasi dan musik bersama DJ Rencong ini menggambarkan trauma dari 2 perempuan dengan ketakutan terhadap pisau dan musik dangdut.
"Kami menggunakan sejumlah elemen yang berkaitan erat dengan masyarakat Aceh dan situasi yang terjadi di masa lalu, termasuk sebuah komposisi musik yang menggabungkan klip-klip yang diambil dari film, rekaman piringan hitam tua, dan rekaman percakapan," jelas Arifa.
(Baca juga: Museum MACAN Adakan Pameran Seni Kolaboratif dengan 5 Organisasi Seni)
Ketiga, ada karya Rebak Raung Warga yang melihat kembali tentang konsep komunitas berpagar. Perupa Mira Rizky bercerita bahwa karya instalasi dalam bentuk 8 buah replika tiang listrik dengan suara-suara yang umum di lingkungan sekitar masyarakat ini dibuat dengan riset di kecamatan Regol, Bandung untuk melihat adanya pemahaman tentang ruang di kawasan kelas menengah.
"Menggunakan tiang listrik sebagai elemen yang selalu kita lihat dalam kehidupan sehari-hari dan dipasangi dengan pengeras suara yang memancarkan berbagai bunyi atau suara dari komunitas urban, saya ingin publik memiliki pengalaman dan perspektif yang berbeda terhadap karya," tutur Mira.
Keempat, ada karya serial dari Muhlis Lugis yang mengangkat tentang mitologi Sangiang Serri (sebutan Dewi Sri dari masyarakat Bugis) dan Meong Mpallo Karallae yang hadir dalam 4 cetakan cukil kayu di atas kanvas. Lahir dari pengalaman masa kecil Muhlis saat hidup dengan neneknya, karya ini melihat kembali cerita rakyat dan adat istiadat masyarakat Bugis dengan makna yang spesial.
"Melalui karya ini, saya ingin publik, khususnya mereka yang berasal dari luar komunitas Bugis untuk lebih memahami cerita rakyat Sangiang Serri dan Meong Mpallo Karallae, serta nilai-nilainya bagi kehidupan kita,” ujar Muhlis.
Terakhir adalah karya kolektif Unit Pelaksana Terrakota Daerah dari Majalengka yang melihat tentang komunitas masyarakat Majalengka yang telah lama menggunakan lempung atau terrakota yang kemudian mengembangkan Jatiwangi Art Factory sebagai komunitas seni tanah liat mulai tahun 2005.
"Karya kami, Terraditionale, adalah bagian dari Babad Tanah Terrakota yang kami presentasikan dalam bentuk Hawu, sebuah tungku yang dibuat untuk membakar keramik, yang menyimbolkan ibu dari 9 Jebor (pabrik genteng) di Majalengka yang karyanya juga ditampilkan di pameran ini," tutup Ade Ahmad Sujadi sebagai perwakilan kolektif UPTD.
Sempat dijadwalkan akan hadir pada 18 Desember 2021 namun tertunda akibat pandemi Covid-19, pameran Present Continuous / Sekarang Seterusnya telah hadir mulai 15 Januari 2022 hingga 15 Mei 2022.
Editor: Avicenna
Pameran ini menghadirkan 5 karya instalasi yang dibuat oleh 4 perupa dan 2 kolektif perupa dari 5 daerah di Indonesia, di antaranya adalah Arifa Safura & DJ Rencong dari Banda Aceh; Mira Rizki dari Bandung, Kolektif Udeido dari Jayapura, Muhlis Lugis dari Makassar; dan Unit Pelaksana Terrakota Daerah (UPTD) dari Majalengka.
Hadir dalam rupa fisik, kelima karya yang mereka hadirkan ditujukan sebagai respons atas pandemi Covid-19 di Indonesia dan sebagai wadah penyampaian berbagai informasi dan riset dari berbagai komunitas artistik tentang isu-isu lokal yang hadir di setiap daerah.
Isu yang hadir bervariasi dari memori kolektif atau memori yang ada di dalam sebuah komunitas masyarakat; gagasan tentang bunyi dan lingkungan sekitar; mitologi dan keanekaragaman hayati; hingga keterlibatan industri kreatif dalam perubahan kebijakan melalui pembangunan ekonomi mikro.
Pertama, ada karya dari kolektif Udeido dengan judul Transformasi Koreri yang datang dari kepercayaan tentang Koreri atau perdamaian di dalam kepercayaan masyarakat suku Biak. Berbekal kearifan lokal Papua dari gaya hidup hingga elemen budaya seperti cerita rakyat, Transformasi Koreri berusaha mengelaborasikan semua itu dengan narasi tentang masa depan yang ideal yaitu adanya kelahiran kembali melalui perdamaian.
"Praktik tersebut secara kolektif dilakukan untuk mencoba memproyeksikan masa depan yang dirasa ideal bagi masyarakat Papua... Koreri sendiri diartikan sebagai perdamaian dan orang-orang di Biak percaya bahwa perdamaian akan terwujud suatu hari nanti," tutur Dicky Takndare selaku perwakilan Kolektif Udeido.
Kedua, ada instalasi interaktif Dancing Shadow yang mengangkat tentang memori kolektif dan naratif tentang perempuan dan trauma dengan konflik di Aceh. Dalam pernyataan resmi milik perupa Arifa Safura, dia mengatakan bahwa instalasi dan musik bersama DJ Rencong ini menggambarkan trauma dari 2 perempuan dengan ketakutan terhadap pisau dan musik dangdut.
"Kami menggunakan sejumlah elemen yang berkaitan erat dengan masyarakat Aceh dan situasi yang terjadi di masa lalu, termasuk sebuah komposisi musik yang menggabungkan klip-klip yang diambil dari film, rekaman piringan hitam tua, dan rekaman percakapan," jelas Arifa.
(Baca juga: Museum MACAN Adakan Pameran Seni Kolaboratif dengan 5 Organisasi Seni)
Ketiga, ada karya Rebak Raung Warga yang melihat kembali tentang konsep komunitas berpagar. Perupa Mira Rizky bercerita bahwa karya instalasi dalam bentuk 8 buah replika tiang listrik dengan suara-suara yang umum di lingkungan sekitar masyarakat ini dibuat dengan riset di kecamatan Regol, Bandung untuk melihat adanya pemahaman tentang ruang di kawasan kelas menengah.
"Menggunakan tiang listrik sebagai elemen yang selalu kita lihat dalam kehidupan sehari-hari dan dipasangi dengan pengeras suara yang memancarkan berbagai bunyi atau suara dari komunitas urban, saya ingin publik memiliki pengalaman dan perspektif yang berbeda terhadap karya," tutur Mira.
Serial karya Sangiang Serri dan Meong Mpallo Karallae milik Muhlis Lugis. (Dok. Museum MACAN)
"Melalui karya ini, saya ingin publik, khususnya mereka yang berasal dari luar komunitas Bugis untuk lebih memahami cerita rakyat Sangiang Serri dan Meong Mpallo Karallae, serta nilai-nilainya bagi kehidupan kita,” ujar Muhlis.
Terakhir adalah karya kolektif Unit Pelaksana Terrakota Daerah dari Majalengka yang melihat tentang komunitas masyarakat Majalengka yang telah lama menggunakan lempung atau terrakota yang kemudian mengembangkan Jatiwangi Art Factory sebagai komunitas seni tanah liat mulai tahun 2005.
"Karya kami, Terraditionale, adalah bagian dari Babad Tanah Terrakota yang kami presentasikan dalam bentuk Hawu, sebuah tungku yang dibuat untuk membakar keramik, yang menyimbolkan ibu dari 9 Jebor (pabrik genteng) di Majalengka yang karyanya juga ditampilkan di pameran ini," tutup Ade Ahmad Sujadi sebagai perwakilan kolektif UPTD.
Sempat dijadwalkan akan hadir pada 18 Desember 2021 namun tertunda akibat pandemi Covid-19, pameran Present Continuous / Sekarang Seterusnya telah hadir mulai 15 Januari 2022 hingga 15 Mei 2022.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.