Profil Desmond Tutu, Pejuang Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan di Afrika Selatan
03 January 2022 |
19:34 WIB
Uskup Agung Emeritus Anglikan asal Afrika Selatan, Desmond Tutu, meninggal dunia di Cape Town pada 26 Desember 2021. Tutu meninggal di usia 90 tahun. Semasa hidupnya, Tutu dikenal sebagai salah satu aktivis aktivis hak asasi manusia paling terkenal di Afrika Selatan.
Dia mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian 1984 atas usahanya dalam menyelesaikan dan mengakhiri apartheid, sebuah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan.
Mengutip dari laman Youth for Human Rights, Senin (3/1/2022), pemilik nama lengkap Desmond Mpilo Tutu itu lahir pada 7 Oktober 1931 di Klerksdorp, Transvaal, Afrika Selatan. Ayahnya seorang guru sekolah, tetapi ibunya tidak tidak menempuh pendidikan. Dia melanjutkan pendidikannya ke sekolah milik kaum Bantu, Johannesburg, pada 1945-1950 dan memulai karier pertama dengan mengajar di Pretoria Bantu Norm College.
Tutu menjadi Uskup Agung Anglikan berkulit hitam pertama di Cape Town dan Johannesburg. Di tengah orang-orang kulit hitam Afrika Selatan yang dikenal tidak bersuara, Tutu adalah sosok kritikus apartheid yang blak-blakan.
Dia juga mendukung boikot ekonomi Afrika Selatan, sambil terus mendorong rekonsiliasi antara berbagai faksi yang terkait dengan apartheid. Ketika Nelson Mandela terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama di negara itu, dia menunjuk Tutu sebagai ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(Baca juga: Novelis Tanzania, Abdulrazak Gurnah, Raih Nobel Sastra 2021)
Mengutip Encyclopaedia Britannica, pada 1978, Tutu ditunjuk sebagai sekretaris jenderal Dewan Gereja Afrika Selatan dan menjadi juru bicara terkemuka untuk hak-hak orang kulit hitam Afrika Selatan. Selama 1980, dia memainkan peran yang tak tertandingi dalam menarik perhatian nasional dan internasional dalam mengungkapkan kejahatan dari sistem apartheid.
Dalam perjalanan aktivisme hak asasi manusianya, Tutu merumuskan tujuannya untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan adil tanpa perpecahan ras. Dia pun mengajukan tuntutan untuk pencapaiannya, termasuk hak-hak sipil yang setara untuk semua, sistem pendidikan bersama serta penghentian deportasi paksa.
Selain Hadiah Nobel, Tutu telah dianugerahkan banyak penghargaan seperti di antaranya Pacem in Terris Award, Bishop John T. Walker Distinguished Humanitarian Service Award, Lincoln Leadership Prize dan Gandhi Peace Prize.
Sepanjang hidupnya, Tutu terus melakukan perjalanan secara ekstensif untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan kesetaraan semua orang baik di Afrika Selatan maupun internasional.
Sejumlah tulisan pemikiran Tutu juga telah dipublikasikan di antaranya adalah The Divine Intention (1982), kumpulan ceramah Hope and Suffering (1983), dan kumpulan khotbahnya No Future Without Forgiveness (1999).
Selain itu, ada juga memoar dari masanya ketika menjabat ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berjudul God Has a Dream: Vision of Hope for Our Time (2004) serta kumpulan refleksi pribadi berjudul Made for Goodness: And Why This Makes All the Difference (2010).
Editor: Dika Irawan
Dia mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian 1984 atas usahanya dalam menyelesaikan dan mengakhiri apartheid, sebuah sistem pemisahan ras yang diterapkan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan.
Mengutip dari laman Youth for Human Rights, Senin (3/1/2022), pemilik nama lengkap Desmond Mpilo Tutu itu lahir pada 7 Oktober 1931 di Klerksdorp, Transvaal, Afrika Selatan. Ayahnya seorang guru sekolah, tetapi ibunya tidak tidak menempuh pendidikan. Dia melanjutkan pendidikannya ke sekolah milik kaum Bantu, Johannesburg, pada 1945-1950 dan memulai karier pertama dengan mengajar di Pretoria Bantu Norm College.
Tutu menjadi Uskup Agung Anglikan berkulit hitam pertama di Cape Town dan Johannesburg. Di tengah orang-orang kulit hitam Afrika Selatan yang dikenal tidak bersuara, Tutu adalah sosok kritikus apartheid yang blak-blakan.
Dia juga mendukung boikot ekonomi Afrika Selatan, sambil terus mendorong rekonsiliasi antara berbagai faksi yang terkait dengan apartheid. Ketika Nelson Mandela terpilih sebagai presiden kulit hitam pertama di negara itu, dia menunjuk Tutu sebagai ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
(Baca juga: Novelis Tanzania, Abdulrazak Gurnah, Raih Nobel Sastra 2021)
Mengutip Encyclopaedia Britannica, pada 1978, Tutu ditunjuk sebagai sekretaris jenderal Dewan Gereja Afrika Selatan dan menjadi juru bicara terkemuka untuk hak-hak orang kulit hitam Afrika Selatan. Selama 1980, dia memainkan peran yang tak tertandingi dalam menarik perhatian nasional dan internasional dalam mengungkapkan kejahatan dari sistem apartheid.
Dalam perjalanan aktivisme hak asasi manusianya, Tutu merumuskan tujuannya untuk mewujudkan masyarakat yang demokratis dan adil tanpa perpecahan ras. Dia pun mengajukan tuntutan untuk pencapaiannya, termasuk hak-hak sipil yang setara untuk semua, sistem pendidikan bersama serta penghentian deportasi paksa.
Selain Hadiah Nobel, Tutu telah dianugerahkan banyak penghargaan seperti di antaranya Pacem in Terris Award, Bishop John T. Walker Distinguished Humanitarian Service Award, Lincoln Leadership Prize dan Gandhi Peace Prize.
Sepanjang hidupnya, Tutu terus melakukan perjalanan secara ekstensif untuk memperjuangkan hak asasi manusia dan kesetaraan semua orang baik di Afrika Selatan maupun internasional.
Sejumlah tulisan pemikiran Tutu juga telah dipublikasikan di antaranya adalah The Divine Intention (1982), kumpulan ceramah Hope and Suffering (1983), dan kumpulan khotbahnya No Future Without Forgiveness (1999).
Selain itu, ada juga memoar dari masanya ketika menjabat ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi berjudul God Has a Dream: Vision of Hope for Our Time (2004) serta kumpulan refleksi pribadi berjudul Made for Goodness: And Why This Makes All the Difference (2010).
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.