Mengenal Aquamasi, Proses Kremasi Ramah Lingkungan Mendiang Desmond Tutu
03 January 2022 |
22:00 WIB
Upacara pemakaman Uskup Agung Desmond Tutu telah dilaksanakan pada Minggu (2/1/2021). Misa requiem yang digelar sederhana dan jauh dari kemegahan itu digelar di Katedral St. George di Cape Town, Afrika Selatan. Tutu dimakamkan dengan proses aquamation atau akuamasi, sebuah proses kremasi yang dianggap ramah lingkungan.
Akuamasi kian populer digunakan sebagai alternatif proses kremasi tradisional yang lebih ramah lingkungan. Dalam akuamasi, proses kremasi yang identik dengan pembakaran diganti menggunakan air dalam proses yang disebut hidrolisis alkali.
Melansir dari The Guardian, Senin (3/1/2022), cara proses akuamasi yakni tubuh jenazah direndam selama tiga hingga empat jam dalam campuran air dan alkali kuat seperti hidroksida, dalam silinder dan dipanaskan hingga sekitar 150 derajat celcius.
Proses tersebut mencairkan segalanya kecuali tulang, yang kemudian dikeringkan dalam oven dan direduksi menjadi debu putih lalu ditempatkan dalam sebuah guci yang nantinya diserahkan kepada keluarga atau kerabat terdekat.
“Dalam proses akuamasi, larutan air dan alkali yang dipanaskan untuk melarutkan jenazah menghasilkan limbah yang dapat dibuang melalui sistem saluran pembuangan. Materi tulang rapuh yang dapat dikeringkan dan dihancurkan, dikembalikan ke keluarga almarhum,” kata Ahli Etika Teknologi di Virginia Tech, Philip Olson.
Dengan begitu, proses akuamasi dinilai bisa menghindari bahan yang tidak dapat terurai secara hayati dan mendorong dekomposisi alami. Tidak seperti proses kremasi dengan api, dalam akuamasi tidak perlu ada pembakaran peti mati yang bisa mengeluarkan efek gas rumah kaca.
(Baca juga: Profil Desmond Tutu, Pejuang Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan di Afrika Selatan)
Hal itu diakui oleh Resomation, produsen mesin Inggris yang digunakan dalam kremasi air, yang memperkirakan bahwa proses akuamasi bisa memangkas emisi gas rumah kaca sebesar 35%. Selain itu, Bio-Response Solutions, produsen yang berbasis di Indiana, memperkirakan bahwa teknologi yang digunakan akuamasi bisa memangkas penggunaan energi hingga 90% dibandingkan dengan kremasi dengan api.
Di Afrika Selatan, tidak ada undang-undang khusus yang mengatur proses pemakaman akuamasi. Sekitar 20 negara bagian di AS pun telah melegalkan proses tersebut dalam beberapa dekade terakhir.
Mengutip dari The Washington Post, di Amerika Serikat, akuamasi pertama kali diadopsi pada 1990-an oleh para peneliti yang mencari cara murah dan aman untuk membuang sisa-sisa hewan yang digunakan dalam percobaan. Saat itu, para ilmuwan di Jepang dan Skotlandia mulai mempelajari penggunaannya untuk membuang bangkai hewan yang sakit karena penyakit seperti penyakit sapi gila.
Pada awal 2000-an, praktik ini mulai populer di kalangan dokter hewan di AS dan pada dekade berikutnya, akuamasi mulai dipasarkan ke rumah-rumah duka seiring berkembangnya teknologi dan meningkatkan permintaan.
Tentu saja, hal ini sejalan dengan apa yang diperjuangkan Tutu. Pasalnya, selain membela hak asasi manusia, Tutu juga merupakan seorang pejuang lingkungan yang sering berbicara tentang bahaya perubahan iklim, yang disebutnya sebagai tantangan moral terbesar di zaman saat ini.
Dia juga mendukung untuk memboikot perusahaan penghasil minyak dan bahan bakar fosil serta menyerukan investasi yang lebih besar dalam energi bersih dan produk rendah karbon, termasuk menguatkan suara para aktivis iklim muda.
Editor: Gita Carla
Akuamasi kian populer digunakan sebagai alternatif proses kremasi tradisional yang lebih ramah lingkungan. Dalam akuamasi, proses kremasi yang identik dengan pembakaran diganti menggunakan air dalam proses yang disebut hidrolisis alkali.
Melansir dari The Guardian, Senin (3/1/2022), cara proses akuamasi yakni tubuh jenazah direndam selama tiga hingga empat jam dalam campuran air dan alkali kuat seperti hidroksida, dalam silinder dan dipanaskan hingga sekitar 150 derajat celcius.
Proses tersebut mencairkan segalanya kecuali tulang, yang kemudian dikeringkan dalam oven dan direduksi menjadi debu putih lalu ditempatkan dalam sebuah guci yang nantinya diserahkan kepada keluarga atau kerabat terdekat.
“Dalam proses akuamasi, larutan air dan alkali yang dipanaskan untuk melarutkan jenazah menghasilkan limbah yang dapat dibuang melalui sistem saluran pembuangan. Materi tulang rapuh yang dapat dikeringkan dan dihancurkan, dikembalikan ke keluarga almarhum,” kata Ahli Etika Teknologi di Virginia Tech, Philip Olson.
Dengan begitu, proses akuamasi dinilai bisa menghindari bahan yang tidak dapat terurai secara hayati dan mendorong dekomposisi alami. Tidak seperti proses kremasi dengan api, dalam akuamasi tidak perlu ada pembakaran peti mati yang bisa mengeluarkan efek gas rumah kaca.
(Baca juga: Profil Desmond Tutu, Pejuang Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan di Afrika Selatan)
Hal itu diakui oleh Resomation, produsen mesin Inggris yang digunakan dalam kremasi air, yang memperkirakan bahwa proses akuamasi bisa memangkas emisi gas rumah kaca sebesar 35%. Selain itu, Bio-Response Solutions, produsen yang berbasis di Indiana, memperkirakan bahwa teknologi yang digunakan akuamasi bisa memangkas penggunaan energi hingga 90% dibandingkan dengan kremasi dengan api.
Di Afrika Selatan, tidak ada undang-undang khusus yang mengatur proses pemakaman akuamasi. Sekitar 20 negara bagian di AS pun telah melegalkan proses tersebut dalam beberapa dekade terakhir.
Mengutip dari The Washington Post, di Amerika Serikat, akuamasi pertama kali diadopsi pada 1990-an oleh para peneliti yang mencari cara murah dan aman untuk membuang sisa-sisa hewan yang digunakan dalam percobaan. Saat itu, para ilmuwan di Jepang dan Skotlandia mulai mempelajari penggunaannya untuk membuang bangkai hewan yang sakit karena penyakit seperti penyakit sapi gila.
Pada awal 2000-an, praktik ini mulai populer di kalangan dokter hewan di AS dan pada dekade berikutnya, akuamasi mulai dipasarkan ke rumah-rumah duka seiring berkembangnya teknologi dan meningkatkan permintaan.
Tentu saja, hal ini sejalan dengan apa yang diperjuangkan Tutu. Pasalnya, selain membela hak asasi manusia, Tutu juga merupakan seorang pejuang lingkungan yang sering berbicara tentang bahaya perubahan iklim, yang disebutnya sebagai tantangan moral terbesar di zaman saat ini.
Dia juga mendukung untuk memboikot perusahaan penghasil minyak dan bahan bakar fosil serta menyerukan investasi yang lebih besar dalam energi bersih dan produk rendah karbon, termasuk menguatkan suara para aktivis iklim muda.
Editor: Gita Carla
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.