Ada Potensi Besar, Begini Cara Cari Cuan dari Kebudayaan
21 November 2021 |
14:19 WIB
Indonesia merupakan negeri dengan keanekaragaman hayati sekaligus budaya yang paling tinggi di dunia dengan 1100 suku bangsa dan sekitar 680 bahasa. Hal tersebut disampaikan oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek, Hilmar Farid, dalam siniar bertajuk Cari Cuan Lewat Jalan Kebudayan, Minggu (21/11/2021), melalui YouTube Budaya Saya.
Oleh karena itu, ekonomi kreatif berbasis keanekaragaman budaya dan kelestarian lingkungan hidup pun bisa menjadi salah satu sumber mata pencaharian.
Hilmar mengatakan bahwa dengan potensi besar tersebut, Indonesia sebenarnya memiliki modal yang cukup menjanjikan untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang berkelanjutan.
“Kita punya alamnya, punya tradisi pengetahuannya, tinggal bagaimana cara mengorganisasinya. Karena kalau mau jadi cuan kan begitu, harus bisa dimonetisasi,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kemenparekraf, M. Neil El Himam, menuturkan bahwa sudah ada beberapa contoh pekerja kreatif yang memanfaatkan kekayaan budaya Indonesia untuk menghasilkan karya sehingga mendatangkan pendapatan, salah satunya adalah film Uang Panai dari Makassar.
Neil mengatakan bahwa Uang Panai merupakan film yang dibuat pada tahun 2016 dan 95 persen menggunakan bahasa Makassar. Meskipun hanya tayang di beberapa bioskop lokal, film tersebut berhasil ditonton sekitar 600.000 penonton.
Selain itu, ada juga film Yowis Ben yang menggunakan bahasa Jawa yang tembus satu juta penonton dan baru-baru ini telah merilis sekuel ketiganya.
“Artinya disini modal budaya dari bahasa saja sudah bisa punya peluang monetisasi yang luar biasa. Kebayang nanti film berbahasa Sunda, Batak atau Padang, pasarnya enggak usah kemana-mana. Orang yang berbahasa itu kan lebih relate ya lebih dekat ke dalam bahasanya, jadi saya sangat yakin kalau budaya itu bisa jadi cuan,” paparnya.
(Baca juga: Jokowi Ajak Generasi Muda Meneliti Warisan Budaya)
Berkat kesuksesan film tersebut, Neil mengatakan akhirnya beberapa komunitas di Makassar pun tertarik untuk belajar berakting dan membuat film.
“Itu artinya dari satu fenomena tadi ada multiplier effect-nya. Jadi orang tertarik dan secara ekonomi juga ada lapangan kerja dan usaha baru buat teman-teman disana,” katanya.
Deputi Bidang Koordinasi Wisata dan Ekonomi Kreatif Kemenkomarves, Odo R.M Manuhutu, sempat menyinggung keberhasilan Korea Selatan yang relatif homogen secara budaya, namun bisa mengangkat nilai budaya tersebut menjadi kekuatan ekonomi negara tersebut.
“Ada suatu bangsa yang relatif homogenik tetapi bisa laku nilainya, kita [Indonesia] yang relatif kaya belum bisa me-leverage untuk keuntungan perekonomian nasional,” ujarnya.
Odo juga menuturkan bahwa keuntungan Korea Selatan bukan terletak pada K-pop yang hanya menyumbang sekitar 6 persen pendapatan negaranya, tetapi sektor gim yang menjadi utama karena berhasil menyumbang perekonomian hingga 60 persen. Oleh karena itu, menurutnya, pemanfaatan teknologi bisa membantu mengapitalisasi budaya Indonesia.
“Dalam hal ini yang perlu kita lakukan bersama adalah bagaimana interaksi antara budaya, alam dan masyarakat ini bisa kita kapitalisasi, artinya secara naluriah bangsa kita itu kreatif,” imbuhnya.
Editor: Avicenna
Oleh karena itu, ekonomi kreatif berbasis keanekaragaman budaya dan kelestarian lingkungan hidup pun bisa menjadi salah satu sumber mata pencaharian.
Hilmar mengatakan bahwa dengan potensi besar tersebut, Indonesia sebenarnya memiliki modal yang cukup menjanjikan untuk mengembangkan ekonomi kreatif yang berkelanjutan.
“Kita punya alamnya, punya tradisi pengetahuannya, tinggal bagaimana cara mengorganisasinya. Karena kalau mau jadi cuan kan begitu, harus bisa dimonetisasi,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Ekonomi Digital dan Produk Kreatif Kemenparekraf, M. Neil El Himam, menuturkan bahwa sudah ada beberapa contoh pekerja kreatif yang memanfaatkan kekayaan budaya Indonesia untuk menghasilkan karya sehingga mendatangkan pendapatan, salah satunya adalah film Uang Panai dari Makassar.
Neil mengatakan bahwa Uang Panai merupakan film yang dibuat pada tahun 2016 dan 95 persen menggunakan bahasa Makassar. Meskipun hanya tayang di beberapa bioskop lokal, film tersebut berhasil ditonton sekitar 600.000 penonton.
Selain itu, ada juga film Yowis Ben yang menggunakan bahasa Jawa yang tembus satu juta penonton dan baru-baru ini telah merilis sekuel ketiganya.
“Artinya disini modal budaya dari bahasa saja sudah bisa punya peluang monetisasi yang luar biasa. Kebayang nanti film berbahasa Sunda, Batak atau Padang, pasarnya enggak usah kemana-mana. Orang yang berbahasa itu kan lebih relate ya lebih dekat ke dalam bahasanya, jadi saya sangat yakin kalau budaya itu bisa jadi cuan,” paparnya.
(Baca juga: Jokowi Ajak Generasi Muda Meneliti Warisan Budaya)
Berkat kesuksesan film tersebut, Neil mengatakan akhirnya beberapa komunitas di Makassar pun tertarik untuk belajar berakting dan membuat film.
“Itu artinya dari satu fenomena tadi ada multiplier effect-nya. Jadi orang tertarik dan secara ekonomi juga ada lapangan kerja dan usaha baru buat teman-teman disana,” katanya.
Deputi Bidang Koordinasi Wisata dan Ekonomi Kreatif Kemenkomarves, Odo R.M Manuhutu, sempat menyinggung keberhasilan Korea Selatan yang relatif homogen secara budaya, namun bisa mengangkat nilai budaya tersebut menjadi kekuatan ekonomi negara tersebut.
“Ada suatu bangsa yang relatif homogenik tetapi bisa laku nilainya, kita [Indonesia] yang relatif kaya belum bisa me-leverage untuk keuntungan perekonomian nasional,” ujarnya.
Odo juga menuturkan bahwa keuntungan Korea Selatan bukan terletak pada K-pop yang hanya menyumbang sekitar 6 persen pendapatan negaranya, tetapi sektor gim yang menjadi utama karena berhasil menyumbang perekonomian hingga 60 persen. Oleh karena itu, menurutnya, pemanfaatan teknologi bisa membantu mengapitalisasi budaya Indonesia.
“Dalam hal ini yang perlu kita lakukan bersama adalah bagaimana interaksi antara budaya, alam dan masyarakat ini bisa kita kapitalisasi, artinya secara naluriah bangsa kita itu kreatif,” imbuhnya.
Editor: Avicenna
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.