Ilustrasi penyakit MS. (Sumber gambar: Freepik)

Mengenal Multiple Sclerosis, Penyakit Autoimun Langka yang Rentan Terlambat Dideteksi

14 July 2025   |   19:00 WIB
Image
Indah Permata Hati Jurnalis Hypeabis.id

Multiple Sclerosis (MS) mungkin tak sepopuler autoimun lainnya, tapi penyakit imun kronis yang menyerang sistem saraf pusat ini bukan perkara mudah untuk ditangani. Ketua Pokja Neuroinfeksi dan Neuroimunologi Perdosni, Paulus Sugianto, menekankan perlunya pendekatan multidimensi untuk menghadapi kompleksitas MS.

Baginya, diagnosis dan penanganan multiple sclerosis di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. “Kolaborasi antara masyarakat, tenaga kesehatan, dan akses penanganan sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran dan kualitas hidup pasien,” ungkapnya.

Baca juga: Anak Usia 1-7 Tahun Paling Rentan Terkena Sindrom Nefrotik, Bagaimana Pencegahannya?
 

Bagaimana Multiple Sclerosis Menyerang?

Paulus menjelaskan, penyakit ini bisa lebih jauh menyerang otak dan sumsum tulang belakang. Pada kondisi ini, sistem kekebalan tubuh keliru mengenali mielin yang merupakan lapisan pelindung serabut saraf. Sistem imunitas mengira ini sebagai ancaman lalu menyerangnya.

Padahal, mielin berperan penting dalam mempercepat pengiriman sinyal antar sel saraf. Melansir Mayo Clinic, Mielin dapat diibaratkan seperti lapisan insulasi pada kabel listrik. 
 
Ketika lapisan ini rusak, proses komunikasi dalam sistem saraf terganggu dan bisa menimbulkan kerusakan permanen. Dalam kata lain, pesan yang seharusnya berjalan pada serabut saraf jadi melambat atau bahkan diblokir.

Gejala MS sangat bervariasi antar individu. Sebagian pasien mengalami gangguan penglihatan, kelemahan otot, hingga kesulitan berjalan. Namun ada pula yang mengalami gejala lebih ringan yang kerap disalahartikan sebagai gangguan kesehatan lain. Karena itulah, diagnosis MS sering terlambat ditegakkan.
 
Meski tergolong penyakit langka di Indonesia, MS tetap membutuhkan perhatian serius. Data dari Atlas of MS yang dirilis oleh Multiple Sclerosis International Federation mencatat terdapat 160 kasus MS di Indonesia pada tahun 2020.

Belum ada data terbaru. Akan tetapi, prevalensinya diperkirakan sekitar 1 hingga 5 kasus per 100.000 penduduk. Angka ini memang rendah dibandingkan negara-negara dengan 4 musim. Namun keterbatasan data dan kurangnya kesadaran publik menjadi tantangan tersendiri dalam menangani penyakit ini.
 
Jika terlambat penanganan, berbagai kemungkinan komplikasi bisa saja terjadi. Komplikasi bisa berupa perubahan suasana hati, hingga aspek fisik seperti kejang, kelemahan pada lengan dan kaki, masalah berpikir, hingga masalah pada kandung kemih, pencernaan, dan fungsi seksual.
 
Karena seringnya diagnosis datang terlambat, maka menurut Paulus, sangat diperlukan peningkatan kapasitas tenaga medis untuk mengenali gejala MS sejak dini. Diperlukan juga penyediaan akses terapi yang terjangkau, dan penguatan peran komunitas penyintas agar langkah bisa maju  secara berkelanjutan.
 
Dalam rangka meningkatkan kesadaran dan dukungan terhadap penyintas MS, pekan kampanye Multiple Sclerosis Awareness Week 2025 digelar secara nasional. Acara ini melibatkan pemerintah, organisasi kesehatan, komunitas pasien, serta masyarakat umum. Berbagai kegiatan digelar untuk membuka ruang edukasi, diskusi, dan berbagi pengalaman yang selama ini masih minim terdengar di ruang publik.
 
President Director PT Merck Tbk. Evie Yulin menyampaikan perusahaan Merck ikut mendorong dukungan bagi para penyintas MS. Evie berharap melalui kampanye MS Awareness Week, masyarakat bisa lebih memahami kompleksitas MS dan turut menciptakan lingkungan yang inklusif bagi para penyintas.

“Kami berharap dapat menciptakan lingkungan yang lebih suportif dan inklusif bagi para penyintas agar mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik,” katanya.
 
Evie menilai, perjuangan pasien MS adalah perjuangan kolektif yang memerlukan dukungan dari semua pihak. Maka diperlukan dukungan dari semua sektor, termasuk dari komunitas, tenaga kesehatan, serta pembuat kebijakan untuk bersama meningkatkan kesadaran dan memperluas akses dalam deteksi dini hingga penanganan. 
 
Selama sepekan, berbagai kegiatan berlangsung untuk meningkatkan pemahaman publik mengenai kehidupan penyintas MS. Di antaranya menjajal tantangan interaktif untuk merasakan gejala MS dan webinar bersama komunitas untuk mengangkat isu reproduksi dan mitos seputar MS.
 
Tak hanya itu, pekan kesadaran ini juga melibatkan sesi berbagi pengalaman dari penyintas, diskusi bersama neurolog mengenai terapi MS terkini, serta forum kolaborasi antara ahli saraf, pemerintah, dan komunitas untuk merumuskan strategi manajemen MS yang lebih komprehensif di Indonesia.
 
Upaya kolektif seperti ini diharapkan bisa mengikis stigma dan kesenjangan informasi yang selama ini menyelimuti penyakit MS. Bukan hanya soal pengobatan, pekan ini juga bertujuan menciptakan ruang hidup yang lebih ramah dan empatik bagi para penyintas untuk tetap produktif dan bermakna.

Sebab, selain butuh terapi medis, pasien dan penyintas juga perlu pemahaman, dukungan sosial, dan lingkungan yang mendukung keberlangsungan hidup mereka.

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News
 

SEBELUMNYA

Dari Garuda hingga Bhinneka, Ini Alasan Fadli Zon Tetapkan 17 Oktober Jadi Hari Kebudayaan

BERIKUTNYA

Produser Manoj Punjabi Pastikan Film La Tahzan Tidak Mengulang Formula Ipar Adalah Maut

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: