Pameran Once Was: Memori yang Bergerak Lewat Boneka dan Arang
17 June 2025 |
13:42 WIB
Perupa Iwan Effendi membawa pengalaman baru dalam menafsirkan seni boneka lewat pameran tunggal bertajuk Once Was. Bertempat di Ara Contemporary, Jakarta, pameran ini berlangsung 17 Mei hingga 21 Juni 2025, mempertemukan praktik menggambar, animasi, serta seni pertunjukan boneka dalam satu ruang narasi puitis dan kontemplatif.
Video animasi hitam putih berjudul Wanting to Hold, Needing to Let Go (Ingin Memeluk, Harus Melepas) menjadi pembuka yang kuat dari seteleng tunggal ini. Gambar wajah melamun sesekali muncul, sebelum lenyap dalam hitungan detik, digantikan oleh sepasang kaki yang berjalan, tangan yang menggapai, atau tubuh dalam kesendirian. Imaji-imaji ini terus bergerak, menandai batas antara yang hadir dan yang luput.
Baca juga: Pameran Gion dalam Simulasi, Saat Seni Gambar Jadi Medan Tafsir Sosial
Iwan menyusun karya video stop motion tersebut dari tujuh bagian naratif yang dibuat melalui proses menggambar manual. Dengan media arang di atas kertas, dia menggambar, lalu menghapus, lalu menggambar lagi, secara berulang-ulang,hingga tercipta visual berdurasi enam menit yang mengendap dalam benak.
Proses ini seolah menjadi cara Iwan untuk menyentuh batas antara keberadaan dan ketiadaan. Seperti memori yang samar, goresan charcoal itu merekam sesuatu yang pernah ada, namun perlahan memudar. Dalam keterbatasan gerak dan medium, Iwan justru menggambarkan keberlimpahan emosi yang tak bisa disampaikan secara verbal.
"Setiap objek dan narasinya dibuat kabur dan memudar. Saya tidak membuat narasi tunggal, tapi apapun ide yang lewat saya tuangkan secara spontan," katanya saat press tour bersama awak media, belum lama ini.
Di kalangan penikmat seni, Iwan dikenal sebagai salah satu pendiri Papermoon Puppet Theatre, sebuah kelompok teater boneka kontemporer dari Yogyakarta. Namun di luar panggung, Iwan juga aktif mengembangkan praktik seni rupa personal.
Dia membuat boneka, melukis, menggambar, dan sesekali menggelar pertunjukan. Pameran Once Was menjadi kelanjutan dari praktik estetik tersebut, dengan menggabungkan prinsip-prinsip dasar dalam seni boneka ke dalam karya dua dimensi.
Meski tanpa panggung pertunjukan, resonansi emosional yang biasa muncul dalam teater boneka justru terasa kian tajam di ruang galeri. Di ruang utama, stop motion ditampilkan berdampingan dengan tujuh lukisan arang di atas kertas serta boneka-boneka dari Papermoon. Ada pula sebuah mural besar yang menghadirkan karakter anonim yang kerap muncul dalam frame lain sepanjang pameran ini.
Salah satu karya menonjol adalah lukisan berjudul Heart (charcoal and soft pastel on paper, 75 x 122 cm, 2025). Di situ, sosok karakter yang digambarkan tampak tertunduk lesu, dengan dada yang bolong—sebuah ruang kosong yang menyiratkan kehampaan.
Namun, layaknya hati manusia, ruang itu justru penuh dan luber. Perasaan yang disimpannya tumpah ke luar kanvas, menjalar hingga ke dinding galeri. Palet merah kecokelatan yang digunakan memberi kesan getir, seperti kenangan yang tak bisa diredam.
Fiesta Ramadanti, Direktur Ara Contemporary, menyebut mural itu sebagai karya site specific yang dibuat khusus untuk ruang ini dan akan dihapus usai pameran berakhir. “Ini juga mirip dengan konsep pameran: tentang menghapus, mengulang, atau menambahkan,” kata Danti. Konsep kefanaan dan kemungkinan pengulangan menjadi salah satu benang merah yang mengikat keseluruhan pameran.
Sementara itu, dalam karya berjudul Bystander (charcoal and soft pastel on paper, 75 x 122 cm, 2025), Iwan menghadirkan suasana yang lebih tenang dan hangat. Sebuah pohon menjulang tampak sedang berbuah, sementara dua karakter berteduh di bawahnya. Mereka berpelukan, barangkali sedang melepas rindu, atau justru hendak berpisah.
Beberapa buah oranye tampak jatuh dan beterbangan di udara. Imaji ini menyiratkan kelanjutan cerita yang tak berhenti di atas kertas, tetapi mengalir ke dalam imajinasi penonton, atau mungkin menyerap dalam memori, sehingga memberi ketaksaan tafsir begi pelihat.
Boneka-boneka Papermoon yang ditampilkan pun bukan sekadar objek pamer. Iwan menyematkan stiker-stiker kecil berbentuk simbol ekspresi—sedih, senang, gembira—pada bagian tubuh tertentu. Lokasi stiker-stiker itu merepresentasikan titik kontrol emosi yang digunakan pemain boneka. Misalnya, emosi sedih ditempatkan di dada kiri.
“Lewat metode ini, Mas Iwan ingin menceritakan apa yang ada di balik pementasan teater boneka. Karena saat pertunjukan, penonton biasanya tidak menyadari hal tersebut,” ujar Danti yang juga menjadi kurator pameran.
Narasi di balik pertunjukan boneka itu kemudian digali lebih dalam di ruang Focus, yang terletak di lantai bawah. Di ruang ini, Iwan banyak membedah proses kreatif dalam teater boneka yang telah dia geluti selama belasan tahun.
Salah satu karya utama di ruang ini adalah seri lukisan Contact Point #1–#7 (charcoal pigment and soft pastel on canvas, 2025), yang terinspirasi dari proses penciptaan lakon tentang kekerasan 1965 oleh Papermoon pada 2015.
Karena para pemainnya berasal dari generasi milenial yang punya jarak terhadap peristiwa sejarah tersebut, Iwan meminta mereka menggali kisah dari keluarga terdekat. Hasilnya, Iwan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman itu ke dalam lukisan yang merekam bentuk sentuhan, pelukan, atau genggaman.
Dalam beberapa karya lain, Iwan tak lagi menjadikan manusia sebagai pusat. Layaknya dalang yang menghidupkan cerita dari benda mati, Iwan juga memberi nyawa pada bangku, kecoa, anjing, burung, atau buku. Hubungan antara dalang dan boneka, antara benda hidup dan mati, direpresentasikan secara subtil namun menyentuh.
Pada akhirnya, Once Was bukan hanya pameran, tapi juga percakapan tentang memori, kehilangan, dan ketakterdugaan dalam proses kreatif. Seperti boneka, karya-karya di dalamnya menyimpan emosi yang tak selalu terlihat, tapi terasa.
“Lewat pameran ini, pengunjung bisa melihat sudut pandang lain dari dunia panggung boneka. Sebab, seteleng ini juga menceritakan esensi dari para pemain boneka, yang tidak bisa didapat saat menontonnya,” tutup Danti.
Baca juga: Menangkap Esensi Bumi dan Kehidupan Sehari-hari di Pameran Re-earth Generation
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Video animasi hitam putih berjudul Wanting to Hold, Needing to Let Go (Ingin Memeluk, Harus Melepas) menjadi pembuka yang kuat dari seteleng tunggal ini. Gambar wajah melamun sesekali muncul, sebelum lenyap dalam hitungan detik, digantikan oleh sepasang kaki yang berjalan, tangan yang menggapai, atau tubuh dalam kesendirian. Imaji-imaji ini terus bergerak, menandai batas antara yang hadir dan yang luput.
Baca juga: Pameran Gion dalam Simulasi, Saat Seni Gambar Jadi Medan Tafsir Sosial
Iwan menyusun karya video stop motion tersebut dari tujuh bagian naratif yang dibuat melalui proses menggambar manual. Dengan media arang di atas kertas, dia menggambar, lalu menghapus, lalu menggambar lagi, secara berulang-ulang,hingga tercipta visual berdurasi enam menit yang mengendap dalam benak.
Proses ini seolah menjadi cara Iwan untuk menyentuh batas antara keberadaan dan ketiadaan. Seperti memori yang samar, goresan charcoal itu merekam sesuatu yang pernah ada, namun perlahan memudar. Dalam keterbatasan gerak dan medium, Iwan justru menggambarkan keberlimpahan emosi yang tak bisa disampaikan secara verbal.
"Setiap objek dan narasinya dibuat kabur dan memudar. Saya tidak membuat narasi tunggal, tapi apapun ide yang lewat saya tuangkan secara spontan," katanya saat press tour bersama awak media, belum lama ini.
Seniman Iwan Effendi berpose di depan karyanya dalam pameran Once Was di Ara Contemporary, Jakarta (sumber gambar: Ara Contemporary/Priska Joanne)
Di kalangan penikmat seni, Iwan dikenal sebagai salah satu pendiri Papermoon Puppet Theatre, sebuah kelompok teater boneka kontemporer dari Yogyakarta. Namun di luar panggung, Iwan juga aktif mengembangkan praktik seni rupa personal.
Dia membuat boneka, melukis, menggambar, dan sesekali menggelar pertunjukan. Pameran Once Was menjadi kelanjutan dari praktik estetik tersebut, dengan menggabungkan prinsip-prinsip dasar dalam seni boneka ke dalam karya dua dimensi.
Meski tanpa panggung pertunjukan, resonansi emosional yang biasa muncul dalam teater boneka justru terasa kian tajam di ruang galeri. Di ruang utama, stop motion ditampilkan berdampingan dengan tujuh lukisan arang di atas kertas serta boneka-boneka dari Papermoon. Ada pula sebuah mural besar yang menghadirkan karakter anonim yang kerap muncul dalam frame lain sepanjang pameran ini.
Salah satu karya menonjol adalah lukisan berjudul Heart (charcoal and soft pastel on paper, 75 x 122 cm, 2025). Di situ, sosok karakter yang digambarkan tampak tertunduk lesu, dengan dada yang bolong—sebuah ruang kosong yang menyiratkan kehampaan.
Namun, layaknya hati manusia, ruang itu justru penuh dan luber. Perasaan yang disimpannya tumpah ke luar kanvas, menjalar hingga ke dinding galeri. Palet merah kecokelatan yang digunakan memberi kesan getir, seperti kenangan yang tak bisa diredam.
Fiesta Ramadanti, Direktur Ara Contemporary, menyebut mural itu sebagai karya site specific yang dibuat khusus untuk ruang ini dan akan dihapus usai pameran berakhir. “Ini juga mirip dengan konsep pameran: tentang menghapus, mengulang, atau menambahkan,” kata Danti. Konsep kefanaan dan kemungkinan pengulangan menjadi salah satu benang merah yang mengikat keseluruhan pameran.
Sementara itu, dalam karya berjudul Bystander (charcoal and soft pastel on paper, 75 x 122 cm, 2025), Iwan menghadirkan suasana yang lebih tenang dan hangat. Sebuah pohon menjulang tampak sedang berbuah, sementara dua karakter berteduh di bawahnya. Mereka berpelukan, barangkali sedang melepas rindu, atau justru hendak berpisah.
Beberapa buah oranye tampak jatuh dan beterbangan di udara. Imaji ini menyiratkan kelanjutan cerita yang tak berhenti di atas kertas, tetapi mengalir ke dalam imajinasi penonton, atau mungkin menyerap dalam memori, sehingga memberi ketaksaan tafsir begi pelihat.
Boneka-boneka Papermoon yang ditampilkan pun bukan sekadar objek pamer. Iwan menyematkan stiker-stiker kecil berbentuk simbol ekspresi—sedih, senang, gembira—pada bagian tubuh tertentu. Lokasi stiker-stiker itu merepresentasikan titik kontrol emosi yang digunakan pemain boneka. Misalnya, emosi sedih ditempatkan di dada kiri.
“Lewat metode ini, Mas Iwan ingin menceritakan apa yang ada di balik pementasan teater boneka. Karena saat pertunjukan, penonton biasanya tidak menyadari hal tersebut,” ujar Danti yang juga menjadi kurator pameran.
Sejumlah karya Iwan Effendi dalam pameran Once Was di Ara Contemporary, Jakarta (sumber gambar: Ara Contemporary/Priska Joanne)
Salah satu karya utama di ruang ini adalah seri lukisan Contact Point #1–#7 (charcoal pigment and soft pastel on canvas, 2025), yang terinspirasi dari proses penciptaan lakon tentang kekerasan 1965 oleh Papermoon pada 2015.
Karena para pemainnya berasal dari generasi milenial yang punya jarak terhadap peristiwa sejarah tersebut, Iwan meminta mereka menggali kisah dari keluarga terdekat. Hasilnya, Iwan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman itu ke dalam lukisan yang merekam bentuk sentuhan, pelukan, atau genggaman.
Dalam beberapa karya lain, Iwan tak lagi menjadikan manusia sebagai pusat. Layaknya dalang yang menghidupkan cerita dari benda mati, Iwan juga memberi nyawa pada bangku, kecoa, anjing, burung, atau buku. Hubungan antara dalang dan boneka, antara benda hidup dan mati, direpresentasikan secara subtil namun menyentuh.
Pada akhirnya, Once Was bukan hanya pameran, tapi juga percakapan tentang memori, kehilangan, dan ketakterdugaan dalam proses kreatif. Seperti boneka, karya-karya di dalamnya menyimpan emosi yang tak selalu terlihat, tapi terasa.
“Lewat pameran ini, pengunjung bisa melihat sudut pandang lain dari dunia panggung boneka. Sebab, seteleng ini juga menceritakan esensi dari para pemain boneka, yang tidak bisa didapat saat menontonnya,” tutup Danti.
Baca juga: Menangkap Esensi Bumi dan Kehidupan Sehari-hari di Pameran Re-earth Generation
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.