Ilustrasi (Sumber gambar: Mikhail Nilov/Pexels)

Pentingnya Detoks Digital saat Menghadapi Tekanan Psikis di Media Sosial

23 May 2025   |   22:11 WIB
Image
Dewi Andriani Jurnalis Hypeabis.id

Pada era digital seperti sekarang, media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat urban. Akan tetapi, di balik kemudahannya dalam menjalin koneksi dan berbagi informasi, platform ini juga menyimpan potensi besar terhadap kesehatan mental penggunanya. 

Psikolog Klinis Kasandra Putranto mengatakan, pengaruh media sosial terhadap kesehatan mental masyarakat urban sangat tinggi. Hal ini sejalan dengan fenomena yang disebut digital dependency, yakni ketika individu merasa tidak nyaman bila tidak terhubung secara daring.

“Penelitian menemukan adanya kelekatan terhadap gadget yang meningkat, terutama di Indonesia,” ujarnya. 

Baca juga: Awas, Anak-anak Rentan Terpapar Isu Mental di Ruang Digital 

Salah satu dampak signifikan dari penggunaan media sosial adalah terbentuknya ekspektasi yang tidak realistis. Kasandra menjelaskan bahwa konten yang tampil di media sosial cenderung menonjolkan sisi terbaik dari kehidupan seseorang mulai dari pencapaian karier, penampilan fisik, hingga kehidupan sosial yang tampak sempurna. 

“Persaingan di media sosial membuat orang berlomba-lomba untuk mengalahkan satu sama lain. Keinginan untuk selalu mengikuti konten atau menyamai orang lain sering kali menumbuhkan ekspektasi yang lebih tinggi daripada kenyataan, yang pada akhirnya menimbulkan tekanan psikologis,” imbuhnya. 

Fenomena ini sejalan dengan kondisi yang belakangan dikenal sebagai "brain rot". Sebuah istilah populer yang menggambarkan kejenuhan mental akibat konsumsi konten berlebihan, repetitif, dan kurang bermakna.

Meski tidak diakui sebagai istilah klinis, "brain rot" mencerminkan ketumpukan informasi yang membuat otak lelah dan fokus terganggu, sebuah bentuk burnout digital yang semakin umum terjadi. 

Untuk mengatasi hal itu, detoks digital menjadi salah satu solusi yang banyak dianjurkan oleh para ahli. Menurut Kasandra, seseorang sebaiknya mulai mempertimbangkan detoks digital ketika penggunaan media sosial sudah membebani berbagai aspek kehidupan mulai dari waktu, tenaga, hingga spiritualitas. 

Dalam ranah klinis, detoks digital termasuk ke dalam bentuk terapi yang disebut withdrawal. “Ini sangat efektif. Meskipun tindakan ini bisa menimbulkan gangguan psikologis sementara yang justru menjadi indikasi baru dalam terapi,” tuturnya.

Menariknya, dia menekankan bahwa detoks digital yang dilakukan secara bertahap terbukti lebih efektif daripada yang dilakukan secara total. Pendekatan ini memberi waktu bagi individu untuk beradaptasi dan mengidentifikasi pola penggunaan digital yang sehat. 

Berdasarkan pengalamannya, Kasandra mengaku sering menangani klien yang melakukan detoks digital, dengan rentang usia mulai dari anak-anak berusia 10 tahun hingga orang dewasa berusia 40-an. Alasan mereka bervariasi, tapi umumnya berkaitan dengan tekanan emosional, kecanduan gawai, serta gangguan tidur dan fokus. 

Tantangan terbesar, menurutnya, adalah mengubah kebiasaan yang sudah terbentuk bertahun-tahun, serta menyesuaikan kembali relasi sosial tanpa ketergantungan pada dunia digital. 

Baca juga: 5 Tips Membangun Kebiasaan Membaca Buku Agar Tetap Fokus di Era Digital

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

SEBELUMNYA

Mengupayakan Dunia Kerja yang Lebih Inklusif, Autisme Tak Jadi Hambatan

BERIKUTNYA

Eka Annash The Brandals: Memaknai Musik Sebagai Media Perlawanan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: