Bukan Sekadar Aktor, Reza Rahadian dan Tubuh Intelektualnya dalam Buku 'Mereka yang Pertama'
09 May 2025 |
15:00 WIB
Ketika banyak orang mengenalnya sebagai aktor serba bisa dengan raut penuh ekspresi, sedikit yang tahu bahwa perjalanan Reza Rahadian meniti layar lebar dimulai dari langkah-langkah kecil, penuh pencarian, penolakan, dan keyakinan yang tak tergoyahkan.
Dari audisi demi audisi, FTV hingga sinetron, Reza telah membuktikan bahwa seni peran bukan sekadar soal popularitas, melainkan tentang ketekunan, kemauan untuk belajar, dan keberanian melangkah ke ruang yang belum pasti.
“Ma, Kakak berangkat syuting dulu ya,” kenang Reza tentang hari pertamanya bermain sinetron Culunnya Pacarku (2005). Kalimat sederhana itu menandai langkah awal menuju lintasan panjang dunia akting, yang kelak membawa namanya ke kancah nasional dan internasional.
Perjalanan inilah yang sebagian ia tuangkan dalam buku Mereka yang Pertama terbitan Gramedia. Buku setebal 184 halaman merangkum banyak perjumpaan dan pembelajaran Reza Rahadian dengan berbagai tokoh di industri film, teater, hingga aktivisme di sektor pendidikan yang ia jalani.
Baca juga: Cerita Reza Rahadian Garap Buku Mereka Yang Pertama, Ditulis Pakai Handphone
Mereka yang Pertama menuangkan banyak kisah yang selama ini belum banyak diketahui publik. Buku ini juga menyuarakan sejumlah perenungan Reza, dilengkapi dengan catatan dari sejumlah tokoh seperti Christine Hakim (sang 'Ibu Ideologis' Reza), Garin Nugroho, dan Goenawan Mohamad. Banyak pula ‘testimoni’ dari orang-orang yang ia tulis, seperti Slamet Raharjo, Hanung Bramantyo, Aditya Gumay, Manoj Punjabi, Riri Riza, Mira Lesmana, Djenar Maesa Ayu, dan masih banyak lagi.
Keaktorannya tidak ia bangun sendiri, banyak pihak berparan penting dalam membentuk Reza Rahadian yang telah berperan dalam lebih dari 70 judul film panjang, 6 judul film pendek, 20 judul serial televisi, 9 judul serial web, 6 judul teater, 33 judul televisi, dan 9 judul video musik dalam dua dasawarsa kariernya.
Kualitasnya pun terbukti dengan daftar penghargaan yang ia terima, 5 Piala Citra, 4 penghargaan di Festival Film bandung, 4 Piala Maya, dan 6 pada Indonesia Movie Actors.
Perjalanan Reza tak pernah benar-benar berjalan lurus. Ia harus berpindah-pindah lokasi audisi dengan kendaraan umum, ditemani dua sosok penting dalam awal kariernya, almarhum Fahmi Romi dan Muhammad Verio Syaiban. Mereka bukan hanya manajer, tetapi juga jembatan pertama Reza ke dunia yang penuh dinamika: industri hiburan.
“Reza, bintang itu timbul, tenggelam, bisa terlihat, bisa juga tak terlihat karena awan mendung atau hal-hal lainnya. Namun, menjadi aktor adalah sebuah pilihan untuk terus bertumbuh, mengasah diri, dan memberi napas kehidupan bagi setiap peran yang dimainkannya,” pesan Bang Mail, sutradara sinetron pertamanya, yang tertanam kuat dalam ingatannya.
Dari sana, Reza terus melangkah. Dunia FTV membentuknya, membiasakannya pada variasi karakter dan kecepatan produksi. Film perdananya, Film Horor (2007), menjadi titik temu antara kepercayaan, keberanian, dan kemampuan untuk bertahan dalam genre yang menuntut ekspresi ekstrem. Ia berterima kasih pada produser Shanker R.S., sutradara Toto Hoedi, dan mendiang manajer Silvan yang mempercayainya.
Namun barulah pada 2009, nama Reza benar-benar diperhitungkan dalam industri film Indonesia lewat Perempuan Berkalung Sorban dan Emak Ingin Naik Haji. Dua film ini bukan hanya menempatkannya dalam radar perfilman nasional, tetapi juga memberinya panggung untuk menunjukkan kemampuan aktingnya yang matang, emosional, dan intelektual. Perannya sebagai Anwar dalam Emak Ingin Naik Haji membuatnya dinominasikan sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik di Festival Film Indonesia 2009.
Reza bertemu banyak nama penting di dunia film—Hanung Bramantyo, Angga Dwimas Sasongko, Aditya Gumay, Joko Anwar, Happy Salma, serta para produser dan penulis skenario seperti Chand Parwez Servia, Haidar Bagir, Putut Widjanarko, hingga Avesina Soebli. Hubungan kerja yang dibangun bukan hanya soal proyek, tapi menjadi titik temu antara visi, kepercayaan, dan pertumbuhan profesional.
Perjalanan Reza bukan hanya tentang berakting di depan kamera. Ia tumbuh menjadi pemikir dan organisator. Peran barunya sebagai Ketua Komite FFI 2021–2023 menjadi bukti bahwa tubuh intelektualnya telah terasah. Di tengah tantangan pandemi, ia mampu membawa FFI sebagai ekosistem inklusif, dengan pendekatan emosional dan strategis.
“Tubuh intelektual Reza mengandung proses penyesuaian terus-menerus dari satu film ke film lainnya, dari satu peran ke peran lainnya dengan menjaga kualitas,” tulis Garin Nugroho dalam catatan reflektifnya. Garin menyebut Reza sebagai pribadi yang mampu mengelola emosi dan kecerdasan secara bersamaan, menjadikannya mediator dalam konflik sosial dan budaya di dunia perfilman.
Selama 20 tahun, Reza Rahadian bukan hanya membuktikan dirinya sebagai aktor yang andal, tetapi juga sebagai penghubung, pemikir, dan pemimpin dalam industri. Ia bukan sekadar tokoh utama di layar, tetapi juga arsitek senyap yang merancang jembatan-jembatan penting di balik panggung film Indonesia.
“Melangkah tidak selalu pasti. Dalam ketidakpastianlah risiko diambil,” tulis Reza dalam sebuah catatan. Kalimat itu merangkum segalanya, bahwa keberanian, bukan kepastian, yang menuntun langkah-langkah awalnya. Dan dari langkah-langkah itulah ia menemukan dirinya. Bertumbuh. Berkarya. Berperan.
Baca juga: Reza Rahadian Luncurkan Buku Perdana Berjudul Mereka Yang Pertama
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Dari audisi demi audisi, FTV hingga sinetron, Reza telah membuktikan bahwa seni peran bukan sekadar soal popularitas, melainkan tentang ketekunan, kemauan untuk belajar, dan keberanian melangkah ke ruang yang belum pasti.
“Ma, Kakak berangkat syuting dulu ya,” kenang Reza tentang hari pertamanya bermain sinetron Culunnya Pacarku (2005). Kalimat sederhana itu menandai langkah awal menuju lintasan panjang dunia akting, yang kelak membawa namanya ke kancah nasional dan internasional.
Perjalanan inilah yang sebagian ia tuangkan dalam buku Mereka yang Pertama terbitan Gramedia. Buku setebal 184 halaman merangkum banyak perjumpaan dan pembelajaran Reza Rahadian dengan berbagai tokoh di industri film, teater, hingga aktivisme di sektor pendidikan yang ia jalani.
Baca juga: Cerita Reza Rahadian Garap Buku Mereka Yang Pertama, Ditulis Pakai Handphone
Mereka yang Pertama menuangkan banyak kisah yang selama ini belum banyak diketahui publik. Buku ini juga menyuarakan sejumlah perenungan Reza, dilengkapi dengan catatan dari sejumlah tokoh seperti Christine Hakim (sang 'Ibu Ideologis' Reza), Garin Nugroho, dan Goenawan Mohamad. Banyak pula ‘testimoni’ dari orang-orang yang ia tulis, seperti Slamet Raharjo, Hanung Bramantyo, Aditya Gumay, Manoj Punjabi, Riri Riza, Mira Lesmana, Djenar Maesa Ayu, dan masih banyak lagi.
Keaktorannya tidak ia bangun sendiri, banyak pihak berparan penting dalam membentuk Reza Rahadian yang telah berperan dalam lebih dari 70 judul film panjang, 6 judul film pendek, 20 judul serial televisi, 9 judul serial web, 6 judul teater, 33 judul televisi, dan 9 judul video musik dalam dua dasawarsa kariernya.
Kualitasnya pun terbukti dengan daftar penghargaan yang ia terima, 5 Piala Citra, 4 penghargaan di Festival Film bandung, 4 Piala Maya, dan 6 pada Indonesia Movie Actors.
Pemikir dan Organisator
Cuplikan buku "Mereka yang Pertama" karya Reza Rahadian. (Sumber foto: M. Taufikul Basari/Hypeabis.id)
“Reza, bintang itu timbul, tenggelam, bisa terlihat, bisa juga tak terlihat karena awan mendung atau hal-hal lainnya. Namun, menjadi aktor adalah sebuah pilihan untuk terus bertumbuh, mengasah diri, dan memberi napas kehidupan bagi setiap peran yang dimainkannya,” pesan Bang Mail, sutradara sinetron pertamanya, yang tertanam kuat dalam ingatannya.
Dari sana, Reza terus melangkah. Dunia FTV membentuknya, membiasakannya pada variasi karakter dan kecepatan produksi. Film perdananya, Film Horor (2007), menjadi titik temu antara kepercayaan, keberanian, dan kemampuan untuk bertahan dalam genre yang menuntut ekspresi ekstrem. Ia berterima kasih pada produser Shanker R.S., sutradara Toto Hoedi, dan mendiang manajer Silvan yang mempercayainya.
Namun barulah pada 2009, nama Reza benar-benar diperhitungkan dalam industri film Indonesia lewat Perempuan Berkalung Sorban dan Emak Ingin Naik Haji. Dua film ini bukan hanya menempatkannya dalam radar perfilman nasional, tetapi juga memberinya panggung untuk menunjukkan kemampuan aktingnya yang matang, emosional, dan intelektual. Perannya sebagai Anwar dalam Emak Ingin Naik Haji membuatnya dinominasikan sebagai Pemeran Utama Pria Terbaik di Festival Film Indonesia 2009.
Reza bertemu banyak nama penting di dunia film—Hanung Bramantyo, Angga Dwimas Sasongko, Aditya Gumay, Joko Anwar, Happy Salma, serta para produser dan penulis skenario seperti Chand Parwez Servia, Haidar Bagir, Putut Widjanarko, hingga Avesina Soebli. Hubungan kerja yang dibangun bukan hanya soal proyek, tapi menjadi titik temu antara visi, kepercayaan, dan pertumbuhan profesional.
Perjalanan Reza bukan hanya tentang berakting di depan kamera. Ia tumbuh menjadi pemikir dan organisator. Peran barunya sebagai Ketua Komite FFI 2021–2023 menjadi bukti bahwa tubuh intelektualnya telah terasah. Di tengah tantangan pandemi, ia mampu membawa FFI sebagai ekosistem inklusif, dengan pendekatan emosional dan strategis.
“Tubuh intelektual Reza mengandung proses penyesuaian terus-menerus dari satu film ke film lainnya, dari satu peran ke peran lainnya dengan menjaga kualitas,” tulis Garin Nugroho dalam catatan reflektifnya. Garin menyebut Reza sebagai pribadi yang mampu mengelola emosi dan kecerdasan secara bersamaan, menjadikannya mediator dalam konflik sosial dan budaya di dunia perfilman.
Selama 20 tahun, Reza Rahadian bukan hanya membuktikan dirinya sebagai aktor yang andal, tetapi juga sebagai penghubung, pemikir, dan pemimpin dalam industri. Ia bukan sekadar tokoh utama di layar, tetapi juga arsitek senyap yang merancang jembatan-jembatan penting di balik panggung film Indonesia.
“Melangkah tidak selalu pasti. Dalam ketidakpastianlah risiko diambil,” tulis Reza dalam sebuah catatan. Kalimat itu merangkum segalanya, bahwa keberanian, bukan kepastian, yang menuntun langkah-langkah awalnya. Dan dari langkah-langkah itulah ia menemukan dirinya. Bertumbuh. Berkarya. Berperan.
Baca juga: Reza Rahadian Luncurkan Buku Perdana Berjudul Mereka Yang Pertama
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.