Kemenkes Luncurkan Rencana Aksi Nasional Guna Eliminasi Kanker Serviks
30 April 2025 |
19:00 WIB
Kanker serviks masih menjadi salah satu penyakit paling mematikan bagi perempuan di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan mencatat bahwa setiap tahunnya diperkirakan terdapat 36.000 kasus baru kanker serviks dengan sekitar 70% di antaranya terdiagnosis pada stadium lanjut.
Akibatnya, angka kematian akibat penyakit ini pun masih tergolong tinggi. Padahal, kanker serviks merupakan jenis kanker yang dapat dicegah dan disembuhkan bila terdeteksi lebih awal. Tingginya angka kejadian ini menjadi panggilan serius bagi pemerintah, lembaga kesehatan, dan masyarakat luas untuk bersama mengeliminasi kanker serviks secara nasional.
Baca juga: Tes HPV-DNA Mandiri, Teknologi Terkini untuk Lawan Kanker Serviks
Pemerintah melalui Kemenkes RI meluncurkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Eliminasi Kanker Serviks pada tahun 2023 sebagai langkah strategis. Secara spesifik, RAN ini dibuat untuk menanggulangi masalah ini secara sistematis dan menyeluruh.
Menurut Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia Dante Saksono Harbuwono, RAN Eliminasi Kanker Serviks menargetkan 3 hal utama yang secara umum berkutat pada anak berusia 15 tahun, kemudian skrining bagi wanita yang sudah berada di atas 35 tahun, serta penanganan sesuai standar bagi perempuan dengan lesi pra-kanker maupun kanker invasif.
“Jika RAN dapat berjalan di seluruh sektor, kami yakin jumlah kanker serviks di Indonesia dapat turun dan semakin banyak jiwa masyarakat yang terselamatkan dari kanker serviks,” kata Dante dalam agenda RAN Eliminasi Kanker Serviks 2023-2030.
Langkah ini tidak hanya menitikberatkan pada penanganan medis, tetapi juga memperkuat aspek promotif dan preventif seperti edukasi kesehatan, imunisasi HPV, serta deteksi dini. Seiring dengan peningkatan kesadaran, pemerintah juga mulai memperluas cakupan skrining melalui metode tes IVA dan HPV DNA ke berbagai wilayah.
Sampai saat ini, Kemenkes mengonfirmasi sudah ada 26 kabupaten dari 15 provinsi yang menjadi lokasi prioritas pelaksanaan skrining kanker serviks.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak tantangan yang perlu diatasi. Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa aksesibilitas layanan, ketersediaan teknologi, kompetensi tenaga kesehatan, serta hambatan sosial masih menjadi masalah serius.
“Kanker serviks merupakan satu-satunya kanker yang dapat dicegah dan disembuhkan. Semakin dini ditemukan, maka semakin tinggi angka kesembuhannya,” ucap Nadia.
Dia menambahkan bahwa kolaborasi semua pihak baik pemerintah, swasta, hingga masyarakat sipil menjadi kunci untuk mewujudkan target cakupan 75% skrining perempuan usia 30–69 tahun yang dikejar Kemenkes bisa tercapai pada 2030 kelak.
“Dengan kombinasi imunisasi dan skrining, kita bisa menjaga seluruh lapisan kelompok dalam mencapai eliminasi kanker serviks,” imbuhnya.
Country Director Jhpiego Indonesia Maryjane Lacoste yang juga hadir sebagai organisasi internasional yang ikut mendorong eliminasi kanker memaparkan, sudah ada inisiatif proyek percontohan di Jawa Timur yang bekerja sama dengan Kemenkes, Roche Indonesia, dan Biofarma. Proyek ini menargetkan skrining terhadap lebih dari 5.500 perempuan di wilayah Surabaya dan 1.300 perempuan di wilayah Sidoarjo.
“Inisiatif ini diharapkan dapat membantu kesiapan ekosistem kesehatan dalam pencapaian target nasional, sebagaimana tercantum dalam RAN Eliminasi Kanker Serviks,” ujar Maryjane.
Dia menambahkan bahwa proyek ini menggunakan pendekatan hub and spoke yang mempertimbangkan karakteristik lokal dan menyentuh berbagai aspek penting. Hal itu mencakup kesiapan fasilitas layanan kesehatan, pelatihan tenaga medis, modul komunikasi untuk sosialisasi, hingga sistem pencatatan data yang efisien dan akurat.
Sementara itu, dari sisi laboratorium diagnostik, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia (PDS PatKLIn) Aryati menekankan pentingnya peran tes diagnostik yang andal dalam mendukung program skrining. Menurut Aryati, kualitas pemeriksaan harus dijaga agar hasilnya bisa menjadi dasar pengambilan keputusan medis yang tepat.
“Ketika penanganan dilakukan sedini mungkin maka peluang hidup bisa mencapai 20 tahun ke depan,” ujarnya.
Aryati juga menekankan bahwa semua pihak perlu bekerjasama untuk mendorong pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pemeriksaan laboratorium yang terstandarisasi. Hal ini sangat penting agar skrining kanker serviks tidak hanya dilakukan luas, tetapi juga memberikan hasil yang valid dan berkualitas.
Selain dari APBN, pendanaan alternatif melalui kemitraan dengan sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, dan filantropi menjadi solusi yang potensial. Pendekatan ini dinilai efektif untuk menjangkau kelompok masyarakat yang selama ini sulit mengakses layanan kesehatan, utamanya di daerah terpencil dan tertinggal.
Keterlibatan berbagai sektor menunjukkan komitmen bersama dalam upaya mengeliminasi kanker serviks. Aryanti menekankan, diperlukan kolaborasi multipihak yang mencakup peningkatan kapasitas layanan, edukasi masyarakat, serta inovasi dalam pembiayaan agar semua perempuan Indonesia bisa mendapatkan akses layanan skrining dan pengobatan yang layak.
Baca juga: Kemenkes RI Targetkan 90% Kasus Kanker Serviks Terdeteksi Dini & Mendapat Penanganan Tepat
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Akibatnya, angka kematian akibat penyakit ini pun masih tergolong tinggi. Padahal, kanker serviks merupakan jenis kanker yang dapat dicegah dan disembuhkan bila terdeteksi lebih awal. Tingginya angka kejadian ini menjadi panggilan serius bagi pemerintah, lembaga kesehatan, dan masyarakat luas untuk bersama mengeliminasi kanker serviks secara nasional.
Baca juga: Tes HPV-DNA Mandiri, Teknologi Terkini untuk Lawan Kanker Serviks
Pemerintah melalui Kemenkes RI meluncurkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Eliminasi Kanker Serviks pada tahun 2023 sebagai langkah strategis. Secara spesifik, RAN ini dibuat untuk menanggulangi masalah ini secara sistematis dan menyeluruh.
Menurut Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia Dante Saksono Harbuwono, RAN Eliminasi Kanker Serviks menargetkan 3 hal utama yang secara umum berkutat pada anak berusia 15 tahun, kemudian skrining bagi wanita yang sudah berada di atas 35 tahun, serta penanganan sesuai standar bagi perempuan dengan lesi pra-kanker maupun kanker invasif.
“Jika RAN dapat berjalan di seluruh sektor, kami yakin jumlah kanker serviks di Indonesia dapat turun dan semakin banyak jiwa masyarakat yang terselamatkan dari kanker serviks,” kata Dante dalam agenda RAN Eliminasi Kanker Serviks 2023-2030.
Langkah ini tidak hanya menitikberatkan pada penanganan medis, tetapi juga memperkuat aspek promotif dan preventif seperti edukasi kesehatan, imunisasi HPV, serta deteksi dini. Seiring dengan peningkatan kesadaran, pemerintah juga mulai memperluas cakupan skrining melalui metode tes IVA dan HPV DNA ke berbagai wilayah.
Realita di Lapangan
Sampai saat ini, Kemenkes mengonfirmasi sudah ada 26 kabupaten dari 15 provinsi yang menjadi lokasi prioritas pelaksanaan skrining kanker serviks.Namun, realitas di lapangan menunjukkan masih banyak tantangan yang perlu diatasi. Direktur Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa aksesibilitas layanan, ketersediaan teknologi, kompetensi tenaga kesehatan, serta hambatan sosial masih menjadi masalah serius.
“Kanker serviks merupakan satu-satunya kanker yang dapat dicegah dan disembuhkan. Semakin dini ditemukan, maka semakin tinggi angka kesembuhannya,” ucap Nadia.
Dia menambahkan bahwa kolaborasi semua pihak baik pemerintah, swasta, hingga masyarakat sipil menjadi kunci untuk mewujudkan target cakupan 75% skrining perempuan usia 30–69 tahun yang dikejar Kemenkes bisa tercapai pada 2030 kelak.
“Dengan kombinasi imunisasi dan skrining, kita bisa menjaga seluruh lapisan kelompok dalam mencapai eliminasi kanker serviks,” imbuhnya.
Country Director Jhpiego Indonesia Maryjane Lacoste yang juga hadir sebagai organisasi internasional yang ikut mendorong eliminasi kanker memaparkan, sudah ada inisiatif proyek percontohan di Jawa Timur yang bekerja sama dengan Kemenkes, Roche Indonesia, dan Biofarma. Proyek ini menargetkan skrining terhadap lebih dari 5.500 perempuan di wilayah Surabaya dan 1.300 perempuan di wilayah Sidoarjo.
“Inisiatif ini diharapkan dapat membantu kesiapan ekosistem kesehatan dalam pencapaian target nasional, sebagaimana tercantum dalam RAN Eliminasi Kanker Serviks,” ujar Maryjane.
Dia menambahkan bahwa proyek ini menggunakan pendekatan hub and spoke yang mempertimbangkan karakteristik lokal dan menyentuh berbagai aspek penting. Hal itu mencakup kesiapan fasilitas layanan kesehatan, pelatihan tenaga medis, modul komunikasi untuk sosialisasi, hingga sistem pencatatan data yang efisien dan akurat.
Sementara itu, dari sisi laboratorium diagnostik, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik Indonesia (PDS PatKLIn) Aryati menekankan pentingnya peran tes diagnostik yang andal dalam mendukung program skrining. Menurut Aryati, kualitas pemeriksaan harus dijaga agar hasilnya bisa menjadi dasar pengambilan keputusan medis yang tepat.
“Ketika penanganan dilakukan sedini mungkin maka peluang hidup bisa mencapai 20 tahun ke depan,” ujarnya.
Aryati juga menekankan bahwa semua pihak perlu bekerjasama untuk mendorong pemahaman masyarakat terhadap pentingnya pemeriksaan laboratorium yang terstandarisasi. Hal ini sangat penting agar skrining kanker serviks tidak hanya dilakukan luas, tetapi juga memberikan hasil yang valid dan berkualitas.
Tantangan Implementasi RAN
Selain upaya teknis dan medis, aspek pendanaan juga menjadi tantangan besar dalam implementasi RAN. Untuk itu, baik pemerintah dan pihak swasta memerlukan diversifikasi sumber pembiayaan.Selain dari APBN, pendanaan alternatif melalui kemitraan dengan sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, dan filantropi menjadi solusi yang potensial. Pendekatan ini dinilai efektif untuk menjangkau kelompok masyarakat yang selama ini sulit mengakses layanan kesehatan, utamanya di daerah terpencil dan tertinggal.
Keterlibatan berbagai sektor menunjukkan komitmen bersama dalam upaya mengeliminasi kanker serviks. Aryanti menekankan, diperlukan kolaborasi multipihak yang mencakup peningkatan kapasitas layanan, edukasi masyarakat, serta inovasi dalam pembiayaan agar semua perempuan Indonesia bisa mendapatkan akses layanan skrining dan pengobatan yang layak.
Baca juga: Kemenkes RI Targetkan 90% Kasus Kanker Serviks Terdeteksi Dini & Mendapat Penanganan Tepat
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.