Ilustrasi telinga (dok: Unsplash/Mark Paton)

Waspadai Kanker Nasofaring, Tak Terdeteksi Tetapi Berbahaya

18 May 2021   |   15:03 WIB
Image
Rezha Hadyan Hypeabis.id

Telinga terasa nyeri, berdengung, bahkan hidung tersumbat. Gejala ini sepintas bagi pasien mungkin hanya merasakan gejala ringan selayaknya masalah pada pernapasan bagian atas. Nyatanya, gejala sederhana ini punya potensi penyakit kanker nasofaring.
 
Menurut Dr. dr. Marlinda Adham, Sp-THT, KL(K), PhD, FACS selaku Kepala Divisi Onkologi KL Departemen THT, FKUI/RSCM, kanker nasofaring adalah kanker yang memiliki gejala yang paling sulit untuk terdeteksi.

Selain nyeri telinga dan hidung tersumbat, kadang kala penyakit ini diawali dengan gejala dini berupa penciuman yang mulai berkurang atau bahkan menghilang. Gejala sederhana ini lantas kerap dianggap menyerupai infeksi saluran pernapasan atas semata.
 
Tak heran jika kondisi ini membuat pasien kerap abai. Marlinda menyebut pasien kerap menunda pengobatan, belum lagi budaya di Indonesia yang masih takut atau khawatir dengan pengobatan kanker sehingga selalu mencari cara pengobatan alternatif ketimbang pergi ke dokter.
 
Kondisi ini tak ayal membuat pasien kerap kali baru datang ke dokter saat sudah stadium lanjut. Beberapa gejala menuju stadium lanjut adalah; nyeri kepala hebat, sulit membuka mulut, sulit menelan, pandangan ganda, hingga adanya pembengkakan pada leher.
 
“Ini semua karena kanker nasofaring letaknya tersembunyi, dan nasofaring ini di daerah belakang hidung yang sulit dievaluasi dan hanya bisa dideteksi dengan alat khusus bukan alat umum THT,” kata Marlinda dalam peringatan ulang tahun RSCM yang ke 101 beberapa waktu yang lalu.
 
Kanker nasofaring memang kanker yang kurang populer, tetapi cukup mencatatkan prevalensi yang tinggi. Menurut Riskesdas 2018, insiden kanker nasofaring ini masuk lima besar tertinggi di Indonesia, dan kanker terbanyak peringkat ketiga yang terjadi pada laki-laki. Mengapa paling banyak menimpa laki-laki?
 
Menurut Marlinda, kanker nasofaring ini sangat mudah terinfeksi pada orang yang biasa bekerja di luar rumah. Di Indonesia dalam 10 tahun terakhir karyawan yang paling banyak bekerja di luar adalah laki-laki.

Tak heran jika prevalensi penderita laki-laki 3:1 dengan perempuan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, dalam lima tahun terakhir perbandingan penderita kanker nasofaring laki-laki dan perempuan pun makin kecil seiring dengan tingginya aktivitas pekerja perempuan di luar rumah.
 
Menurut data Globocan 2018, kanker nasofaring di Indonesia pun masih menempati peringkat ketujuh. Kondisi ini menandakan pentingnya deteksi dini dari masyarakat terhadap gejala kanker nasofaring.

Marlinda memerinci, untuk bisa mendeteksi kanker nasofaring, diperlukan diagnosis klinis yang intensif dalam mengecek setiap detil karena pemeriksaan fisik yang sulit dan lokasi tumor yang tersembunyi. Setelah menemukan posisi tumor, penting untuk segera melakukan biopsi primer, imaging, dan terapi.
 
“Ada sejumlah diagnose dan pengobatan radiologi untuk kanker nasofaring misalnya, MRI, CT Scan, foto toraks, USG abdomen, bone scan, dan PET-CT Scan,” jelasnya.
 
Mengingat lokasi sel kanker yang tersembunyi tata laksana non bedah memang cukup sulit. Sebut saja radioterapi, Marlinda membeberkan dosis terapi berkisar antara 66-70 Grey, dan dapat menggunakan teknik konvensional atau intensity modulated radiotherapy (IMRT) untuk mencegah efek samping.
 

Ilustrasi kanker/Istimewa

Ilustrasi kanker/Istimewa



Sementara untuk metode kemoterapi atau imunoterapi menggunakan obat kemoterapi dengan basis platinum. Selain itu diberikan secara bersamaan alias concurrent, sebelum atau neoadjuvant, dan sesudah alias adjuvant, bisa juga dengan metode kombinasi.
 
Menurut dr. Henry Kodrat, Sp. Onk. Rad, Dokter Spesialis Onkologi Radiasi RSCM, salah satu yang menjadi kecemasan adalah efek samping dari radioterapi kanker nasofaring. Pasalnya, efek samping dengan teknik MRI masih mengintai.

Bahkan meski telah memakai dosis radiasi yang toleran, kerap kali ada pasien yang mengaku ada bagian yang tidak terpapar kanker nasofaring malah terkena efek samping.
 
“Makanya tujuan dipakai topeng selama radiasi supaya pasien juga tidak bergerak kesana-kemari, ke kiri dan kanan, dan sesuai perencaan radiasi sehingga tepat sasaran ke tumornya, bukan ke sel lain,” ujarnya.
 
Tak selesai di proses pengobatan, Henry menegaskan hal paling penting dari proses ini adalah follow up, pemeriksaan klinis CT-Scan antara 2-3 bulan setelah radioterapi. Selain itu, setiap 3 bulan dalam 2 tahun pertama, tiap 6 bulan dalam 2 tahun berikutnya, dan setiap tahun dalam 10 tahun pasca terapi harus melakukan evaluasi klinis. Misalnya endoskopi, laboratorium, dan imaging.
 
Pada masa pandemi Covid-19 ini, Dr. dr. Tubagus Djumhana Atmakusumah, SpPD, KHOM, Konsultan Hematologi Medik selaku Ketua Umum Pengurus Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia (PHTDI) pun menambahkan, para pasien kanker nasofaring harus tetap melanjutkan program pengobatan dengan tepat waktu.

Bagi pasien yang sudah bebas dari kanker ini, menurut Djumhana sudah bebas dari ancaman Covid-19 selama bisa menerapkan semua protokol kesehatan dengan baik.
 
Sebaliknya, bagi pasien yang masih dalam proses pengobatan tak hanya menerapkan protokol kesehatan, tetapi juga diwajibkan untuk menerapkan pola hidup sehat. Khususnya tidur dan makan dengan waktu yang cukup.
 
“Kalau ada penyakit komorbid misal jantung, diabetes, ginjal, itu memang harus ada perlakuan khusus. jika pasien kanker nasofaring juga punya penyakit komorbid untuk mengantisipasi penularan Covid-19 selama proses radiasi, penting bagi pasien untuk mengonsultasikan semua obat tersebut kepada dokter,” jelas Djumhana.

Editor: Purboyo

SEBELUMNYA

Bicara Arti Kepedulian, Nespresso Buat Program Made with Care

BERIKUTNYA

Ingin Rumah Tampak Cool & Gahar? Coba Desain Gaya Industrial

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: