Pemerintah Godok Aturan Royalti Konser Musik Wajib Bayar di Muka
25 April 2025 |
21:42 WIB
Pemerintah tengah menggodok kebijakan perlindungan hak cipta, khususnya terkait sistem lisensi dan pembayaran royalti. Adapun skema royalti yang berlaku saat ini dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan industri musik dan hiburan. Pembayaran royalti konser selama ini ditetapkan sebesar 2 persen dari nilai produksi atau penjualan tiket.
Skema ini dinilai tidak relevan karena royalti baru dibayarkan setelah acara selesai. Skema tersebut dinilai menimbulkan risiko keterlambatan atau bahkan penghindaran pembayaran oleh promotor atau event organizer (EO). Direktur Musik Kementerian Ekonomi Kreatif, Mohommad Amin mengusulkan agar ada pembaruan sistem pembayaran royalti.
Baca juga: Pandangan Rian D'Masiv Soal Mekanisme Distribusi Royalti yang Ideal di Indonesia
Dia menggagas diterapkannya skema blanket license (lisensi menyeluruh) berbasis digital yang mewajibkan pembayaran di muka sebelum konser berlangsung. Dalam skema ini, royalti dihitung berdasarkan daftar lagu (songlist) yang akan dibawakan dalam acara dan dibayarkan langsung kepada komposer atau pemegang hak cipta secara pro-rata sesuai jumlah lagu.
"Salah satu penyelesaian masalah ini adalah digitalisasi serta dengan melakukan pembayaran di depan menjadikannya komponen tersendiri bedasarkan songlist," jelasnya, Jumat (25/4/2025).
Dalam Focus Group Discussion atas Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta Bidang Musik dan Lagu yang berlangsung awal pekan lalu, Kemenekraf juga mendorong digitalisasi pengelolaan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Pembaruan ini diarahkan untuk menciptakan sistem blanket license with direct distribution yang lebih transparan dan efisien.
Dalam proses ini, LMKN diharapkan memberikan masukan atas revisi Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, khususnya Pasal 1. Pasal tersebut mengharuskan pembayaran royalti dilakukan sebelum konser dilaksanakan.
Skema pembayaran yang diusulkan mencakup standar tarif royalti. Misal, sebesar 10 persen dari honorarium artis yang kemudian dibagi proporsional kepada komposer berdasarkan jumlah lagu yang dibawakan. Royalti ini juga diusulkan untuk masuk ke dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) pada suatu acara sebagai komponen tersendiri baik sebagai bagian dari riders, biaya produksi, atau dikaitkan langsung dengan pembayaran honor artis.
Dalam jangka panjang, Kemenekraf mendorong pembuatan platform digital nasional yang memuat basis data lagu yang terdaftar dan terlisensi. Melalui platform ini, end user dapat memilih lagu secara legal, dan sistem akan secara otomatis menghitung serta menyalurkan royalti sesuai ketentuan.
Selain itu, bukti pembayaran royalti akan dijadikan sebagai salah satu persyaratan dalam pengajuan izin keramaian kepada pihak Kepolisian. Dengan demikian, terdapat jaminan perlindungan hukum bagi seluruh pihak terkait.
Dengan kebijakan baru ini, diharapkan ekosistem industri musik Indonesia menjadi lebih sehat, berkeadilan, serta memberikan insentif yang layak bagi para pelaku kreatif. Khususnya, pencipta lagu dan pemilik hak cipta agar dapat berpotensi menaikan ekonomi nasional sebesar 8 persen hingga 2029.
Baca juga: WAMI Ubah Sistem, Kini Komposer Bisa Ambil Jatah Royalti 3 Kali Setahun
Diketahui, dalam beberapa waktu terakhir, Kemenekraf turut membantu Kemenkum dalam menyusun policy brief pada Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) 2024 berdasarkan kajian kualitatif yang dilakukan sepanjang 2024. Kajian tersebut melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari komposer, hingga asosiasi profesi dan lembaga kolektif.
Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, menyampaikan bahwa inisiatif ini sejalan dengan visi pemerintah yang menitikberatkan pada penguatan industri kreatif nasional. "Penerapan serta perubahan dalam suatu kebijakan ini sejalan dengan visi pemerintahan melalui Asta Cita ketiga dan juga merupakan dari prioritas Kemenekraf, Ekraf Kaya dan Ekraf Bijak," tegasnya.
Kemenekraf bersama dengan pemangku kepentingan lain juga segera menyusun mengenai hak cipta untuk film, pembuat gim, dan buku.
Skema ini dinilai tidak relevan karena royalti baru dibayarkan setelah acara selesai. Skema tersebut dinilai menimbulkan risiko keterlambatan atau bahkan penghindaran pembayaran oleh promotor atau event organizer (EO). Direktur Musik Kementerian Ekonomi Kreatif, Mohommad Amin mengusulkan agar ada pembaruan sistem pembayaran royalti.
Baca juga: Pandangan Rian D'Masiv Soal Mekanisme Distribusi Royalti yang Ideal di Indonesia
Dia menggagas diterapkannya skema blanket license (lisensi menyeluruh) berbasis digital yang mewajibkan pembayaran di muka sebelum konser berlangsung. Dalam skema ini, royalti dihitung berdasarkan daftar lagu (songlist) yang akan dibawakan dalam acara dan dibayarkan langsung kepada komposer atau pemegang hak cipta secara pro-rata sesuai jumlah lagu.
"Salah satu penyelesaian masalah ini adalah digitalisasi serta dengan melakukan pembayaran di depan menjadikannya komponen tersendiri bedasarkan songlist," jelasnya, Jumat (25/4/2025).
Dalam Focus Group Discussion atas Rancangan Undang-Undang tentang Hak Cipta Bidang Musik dan Lagu yang berlangsung awal pekan lalu, Kemenekraf juga mendorong digitalisasi pengelolaan royalti oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Pembaruan ini diarahkan untuk menciptakan sistem blanket license with direct distribution yang lebih transparan dan efisien.
Dalam proses ini, LMKN diharapkan memberikan masukan atas revisi Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, khususnya Pasal 1. Pasal tersebut mengharuskan pembayaran royalti dilakukan sebelum konser dilaksanakan.
Skema pembayaran yang diusulkan mencakup standar tarif royalti. Misal, sebesar 10 persen dari honorarium artis yang kemudian dibagi proporsional kepada komposer berdasarkan jumlah lagu yang dibawakan. Royalti ini juga diusulkan untuk masuk ke dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) pada suatu acara sebagai komponen tersendiri baik sebagai bagian dari riders, biaya produksi, atau dikaitkan langsung dengan pembayaran honor artis.
Dalam jangka panjang, Kemenekraf mendorong pembuatan platform digital nasional yang memuat basis data lagu yang terdaftar dan terlisensi. Melalui platform ini, end user dapat memilih lagu secara legal, dan sistem akan secara otomatis menghitung serta menyalurkan royalti sesuai ketentuan.
Selain itu, bukti pembayaran royalti akan dijadikan sebagai salah satu persyaratan dalam pengajuan izin keramaian kepada pihak Kepolisian. Dengan demikian, terdapat jaminan perlindungan hukum bagi seluruh pihak terkait.
Dengan kebijakan baru ini, diharapkan ekosistem industri musik Indonesia menjadi lebih sehat, berkeadilan, serta memberikan insentif yang layak bagi para pelaku kreatif. Khususnya, pencipta lagu dan pemilik hak cipta agar dapat berpotensi menaikan ekonomi nasional sebesar 8 persen hingga 2029.
Baca juga: WAMI Ubah Sistem, Kini Komposer Bisa Ambil Jatah Royalti 3 Kali Setahun
Diketahui, dalam beberapa waktu terakhir, Kemenekraf turut membantu Kemenkum dalam menyusun policy brief pada Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) 2024 berdasarkan kajian kualitatif yang dilakukan sepanjang 2024. Kajian tersebut melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari komposer, hingga asosiasi profesi dan lembaga kolektif.
Menteri Ekonomi Kreatif, Teuku Riefky Harsya, menyampaikan bahwa inisiatif ini sejalan dengan visi pemerintah yang menitikberatkan pada penguatan industri kreatif nasional. "Penerapan serta perubahan dalam suatu kebijakan ini sejalan dengan visi pemerintahan melalui Asta Cita ketiga dan juga merupakan dari prioritas Kemenekraf, Ekraf Kaya dan Ekraf Bijak," tegasnya.
Kemenekraf bersama dengan pemangku kepentingan lain juga segera menyusun mengenai hak cipta untuk film, pembuat gim, dan buku.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.