Komunitas Ibu Mom Uung (Sumber : Mom Uung)

Kisah Mom Uung Mendampingi Ribuan Ibu Menyusui

17 April 2025   |   20:00 WIB
Image
Dewi Andriani Jurnalis Hypeabis.id

Bagi banyak perempuan masa kini, perjuangan tidak lagi hanya berada di ruang publik atau dunia kerja. Salah satu bentuk perjuangan yang kerap luput dari perhatian adalah proses menyusui, fase penting yang sering kali penuh tantangan, dari rasa nyeri, kelelahan, hingga kurangnya dukungan dari lingkungan terdekat.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa pemberian ASI eksklusif merupakan langkah awal yang krusial dalam mencegah stunting. Di Indonesia, prevalensi stunting masih berada di angka 21,5 persen dan ditargetkan turun menjadi 18 persen pada 2025. Namun, untuk mencapai target itu, perjuangan para ibu dalam memberikan ASI tidak bisa diabaikan.

Baca juga: Mitos & Fakta Seputar Air Susu Ibu, Salah Satunya Benarkah Bisa Dijadikan KB Alami?

Hal inilah yang dirasakan langsung oleh Uung dan Jonathan pasangan suami-istri di balik lahirnya Mom Uung. Mereka menyadari bahwa mengASIhi lebih dari sekadar proses biologis, karena pengalaman pribadi Uung dalam menghadapi tantangan menyusui.

Sebagai bapak dan ibu menyusui, mereka sadar menyusui adalah bentuk kasih sayang tertinggi sekaligus perjuangan penuh pengorbanan seorang ibu.

“Memberikan ASI itu tidak semudah yang dibayangkan. Rasa sakit, khawatir, dan sering kali merasa sendiri menjadi tantangan sehari-hari,” ungkap Uung, ibu dua anak yang juga menjadi inisiator komunitas Mom Uung.

Menurut Uung, menyusui bukan hanya soal nutrisi, tapi juga soal emosi dan mental seorang ibu. Pengalaman pribadinya inilah yang mendorong dia dan suaminya, Jonathan, membentuk sebuah ruang aman bagi para ibu, terutama yang sedang melalui masa-masa awal menjadi orang tua.

Mereka lantas membangun komunitas berbasis pengalaman dan edukasi. Kini, komunitas tersebut telah menjangkau lebih dari 200.000 ibu di berbagai daerah, menawarkan layanan seperti konsultasi menyusui 24 jam serta forum diskusi seputar perawatan anak dan kesehatan mental ibu.

“Banyak ibu yang akhirnya bisa menyusui eksklusif bukan karena punya semua fasilitas terbaik, tapi karena merasa tidak sendirian. Itu yang kami ingin hadirkan, teman seperjalanan yang bisa mendengar tanpa menghakimi," ujar Jonathan.

Di tengah dinamika keluarga dan pekerjaan, tantangan menyusui kerap makin berat bagi ibu pekerja. Data internal komunitas mencatat, hanya sekitar 5–10 persen ibu yang melanjutkan pemberian ASI setelah masa MPASI. Banyak yang berhenti bukan karena keinginan, tapi karena keterbatasan waktu dan fasilitas.

Menjawab kebutuhan tersebut, komunitas ini juga menyediakan alat bantu dan sumber daya untuk mendukung ibu bekerja agar tetap dapat memberikan ASI. Bukan hanya dari sisi alat, tetapi juga edukasi tentang manajemen ASI dan hak-hak ibu menyusui di tempat kerja.

Sejak 2019, inisiatif ini mulai memanfaatkan platform digital untuk menjangkau lebih banyak ibu dari berbagai daerah. Teknologi bukan hanya dipakai sebagai saluran distribusi, tetapi juga sebagai alat untuk memahami kebutuhan ibu secara lebih mendalam, mulai dari pola konsumsi hingga jam-jam kritis ketika mereka membutuhkan dukungan.

Memperingati Hari Kartini, inisiatif seperti ini menjadi cermin bagaimana pemberdayaan perempuan bisa lahir dari pengalaman personal yang diproses secara kolektif. Bahwa perjuangan ibu juga layak diangkat, dihormati, dan diberi ruang untuk bertumbuh.

“Kami percaya, perubahan besar bisa dimulai dari ruang paling kecil: rumah, pelukan ibu, dan niat untuk saling menguatkan,” tutup Uung.

Baca juga: Mengenal Penyebab dan Ciri-ciri Anak Alergi Susu Sapi

Editor: Dika Irawan

SEBELUMNYA

Indonesia Tempati Peringkat Kedua Konsumsi Micro Drama Global

BERIKUTNYA

Fakta Menarik Green Coffee, Superfood Baru Penambah Energi untuk Gaya Hidup Sehat

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: