Mengubah Limbah Jadi Pakan Ternak ala Magalarva
23 March 2025 |
08:17 WIB
Sampah masih menjadi tantangan besar di Indonesia, terutama sampah makanan. Data SIPSN Kementerian Lingkungan Hidup mencatat bahwa timbulan sampah nasional pada 2024 mencapai 32 juta ton, dengan 14,73 juta ton di antaranya berupa sampah makanan.
Laporan UNEP Food Waste Index 2024 bahkan menyebut Indonesia sebagai negara dengan sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara.
Sayangnya, tidak semua sampah ini terkelola dengan baik. Sebanyak 40,33 persen atau sekitar 12,9 juta ton sampah masih tidak terkelola secara optimal. Untuk mengatasi hal ini, berbagai pihak menghadirkan solusi inovatif dalam pengelolaan limbah, salah satunya Magalarva.
Baca juga: 5 Komunitas dan NGO yang Fokus pada Penanganan Sampah di Indonesia
Magalarva, yang didirikan pada 2017 oleh Rendria Labde dan Arunee Sarasetsiri, berfokus pada pengelolaan limbah organik dengan menggunakan Black Soldier Fly (BSF) atau maggot lalat hitam. Teknologi ini mampu mengeliminasi sampah makanan dan menciptakan ekosistem berkelanjutan bagi petani melalui produksi pakan ternak berbasis serangga.
Founder & CEO Magalarva, Rendria Labde, menegaskan bahwa visi mereka adalah menciptakan solusi berkelanjutan bagi limbah makanan. Sebab, masih banyak limbah makanan yang terbuang begitu saja karena tidak terpilah dengan baik.
“Kami ingin menunjukkan bahwa sampah bukanlah akhir dari siklus, tetapi awal dari peluang baru. Dengan teknologi yang tepat dan dukungan dari berbagai pihak, kita bisa mengubah limbah menjadi sumber daya yang berharga bagi masa depan,” ujarnya.
Teknologi BSF yang diterapkan Magalarva tidak hanya mengurangi sampah yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), tetapi juga menciptakan alternatif pakan ternak berkualitas tinggi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan pakan konvensional.
“Kami membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dengan mendaur ulang limbah makanan menjadi pakan ternak berbasis larva BSF,” tambah Rendria.
Bisnis Magalarva terus berkembang pesat. Awalnya hanya mampu mengolah 60 kg sampah per hari, kini kapasitasnya meningkat menjadi 10 ton per hari dengan produksi larva mencapai 1 ton per hari. Keberhasilan ini juga didukung oleh kemitraan dengan lebih dari berbagai industri.
“Kemitraan ini memungkinkan kami mengumpulkan lebih banyak limbah makanan dan mengolahnya menggunakan BSF menjadi pakan ternak berkualitas tinggi, sehingga menekan jumlah sampah organik yang berakhir di TPA,’ jelasnya.
Selain industri makanan, Magalarva juga berkolaborasi dengan sektor perhotelan, dalam menerapkan sistem pemilahan limbah organik yang lebih efisien. Langkah ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada plastik sekali pakai dan meningkatkan praktik ramah lingkungan.
Di tingkat global, Magalarva mulai menembus pasar internasional. Pada 2024, mereka berhasil mengekspor 14 ton produk pakan ke Amerika Serikat, membuktikan bahwa solusi berbasis keberlanjutan tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, tetapi juga memiliki potensi ekonomi yang besar.
Untuk meningkatkan efisiensi operasional, Magalarva telah membangun dua fasilitas pemilahan sampah di Bekasi dan Tangerang Selatan serta menambah armada pengangkut. Efisiensi ini membuka peluang untuk menjangkau lebih banyak pasar dengan harga yang lebih kompetitif.
Selain kontribusi terhadap lingkungan, Magalarva juga menciptakan dampak sosial yang signifikan. Saat ini, mereka memberdayakan 23 perempuan (empat di antaranya dalam posisi manajerial), 43 operator pabrik, serta 130 pemulung yang terlibat dalam sistem pemilahan sampah. Program insentif bagi pemulung memungkinkan mereka meningkatkan pendapatan hingga 35 persen.
Ke depan, Magalarva berencana memperluas operasinya ke pasar internasional, termasuk Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Mona Monika, Head of Group Strategic Marketing & Communications PT Bank DBS Indonesia, menyatakan bahwa Magalarva adalah contoh nyata bagaimana inovasi dan keberlanjutan dapat berjalan beriringan.
“Kami percaya bahwa social enterprises seperti Magalarva memiliki peran penting dalam membangun masa depan yang lebih berkelanjutan. Dengan dukungan yang tepat, mereka bisa mempercepat dan memperluas dampaknya bagi lingkungan dan komunitas,” tuturnya.
Baca juga: Inovasi Kelola Sampah, Pelajar Bali Jadi Juara Change it Challenge Australia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Laporan UNEP Food Waste Index 2024 bahkan menyebut Indonesia sebagai negara dengan sampah makanan terbanyak di Asia Tenggara.
Sayangnya, tidak semua sampah ini terkelola dengan baik. Sebanyak 40,33 persen atau sekitar 12,9 juta ton sampah masih tidak terkelola secara optimal. Untuk mengatasi hal ini, berbagai pihak menghadirkan solusi inovatif dalam pengelolaan limbah, salah satunya Magalarva.
Baca juga: 5 Komunitas dan NGO yang Fokus pada Penanganan Sampah di Indonesia
Magalarva, yang didirikan pada 2017 oleh Rendria Labde dan Arunee Sarasetsiri, berfokus pada pengelolaan limbah organik dengan menggunakan Black Soldier Fly (BSF) atau maggot lalat hitam. Teknologi ini mampu mengeliminasi sampah makanan dan menciptakan ekosistem berkelanjutan bagi petani melalui produksi pakan ternak berbasis serangga.
Founder & CEO Magalarva, Rendria Labde, menegaskan bahwa visi mereka adalah menciptakan solusi berkelanjutan bagi limbah makanan. Sebab, masih banyak limbah makanan yang terbuang begitu saja karena tidak terpilah dengan baik.
“Kami ingin menunjukkan bahwa sampah bukanlah akhir dari siklus, tetapi awal dari peluang baru. Dengan teknologi yang tepat dan dukungan dari berbagai pihak, kita bisa mengubah limbah menjadi sumber daya yang berharga bagi masa depan,” ujarnya.
Teknologi BSF yang diterapkan Magalarva tidak hanya mengurangi sampah yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), tetapi juga menciptakan alternatif pakan ternak berkualitas tinggi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan pakan konvensional.
“Kami membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dengan mendaur ulang limbah makanan menjadi pakan ternak berbasis larva BSF,” tambah Rendria.
Bisnis Magalarva terus berkembang pesat. Awalnya hanya mampu mengolah 60 kg sampah per hari, kini kapasitasnya meningkat menjadi 10 ton per hari dengan produksi larva mencapai 1 ton per hari. Keberhasilan ini juga didukung oleh kemitraan dengan lebih dari berbagai industri.
“Kemitraan ini memungkinkan kami mengumpulkan lebih banyak limbah makanan dan mengolahnya menggunakan BSF menjadi pakan ternak berkualitas tinggi, sehingga menekan jumlah sampah organik yang berakhir di TPA,’ jelasnya.
Selain industri makanan, Magalarva juga berkolaborasi dengan sektor perhotelan, dalam menerapkan sistem pemilahan limbah organik yang lebih efisien. Langkah ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada plastik sekali pakai dan meningkatkan praktik ramah lingkungan.
Di tingkat global, Magalarva mulai menembus pasar internasional. Pada 2024, mereka berhasil mengekspor 14 ton produk pakan ke Amerika Serikat, membuktikan bahwa solusi berbasis keberlanjutan tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, tetapi juga memiliki potensi ekonomi yang besar.
Untuk meningkatkan efisiensi operasional, Magalarva telah membangun dua fasilitas pemilahan sampah di Bekasi dan Tangerang Selatan serta menambah armada pengangkut. Efisiensi ini membuka peluang untuk menjangkau lebih banyak pasar dengan harga yang lebih kompetitif.
Selain kontribusi terhadap lingkungan, Magalarva juga menciptakan dampak sosial yang signifikan. Saat ini, mereka memberdayakan 23 perempuan (empat di antaranya dalam posisi manajerial), 43 operator pabrik, serta 130 pemulung yang terlibat dalam sistem pemilahan sampah. Program insentif bagi pemulung memungkinkan mereka meningkatkan pendapatan hingga 35 persen.
Ke depan, Magalarva berencana memperluas operasinya ke pasar internasional, termasuk Korea Selatan, Jepang, dan Amerika Serikat. Mona Monika, Head of Group Strategic Marketing & Communications PT Bank DBS Indonesia, menyatakan bahwa Magalarva adalah contoh nyata bagaimana inovasi dan keberlanjutan dapat berjalan beriringan.
“Kami percaya bahwa social enterprises seperti Magalarva memiliki peran penting dalam membangun masa depan yang lebih berkelanjutan. Dengan dukungan yang tepat, mereka bisa mempercepat dan memperluas dampaknya bagi lingkungan dan komunitas,” tuturnya.
Baca juga: Inovasi Kelola Sampah, Pelajar Bali Jadi Juara Change it Challenge Australia
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.