Strategi Industri Perhotelan Hadapi Efisiensi Anggaran Pemerintah
05 March 2025 |
07:34 WIB
Industri perhotelan di Indonesia menghadapi tantangan besar akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Pemangkasan belanja dinas, rapat, serta kegiatan pemerintahan di hotel berdampak pada tingkat okupansi, terutama di kota-kota yang bergantung pada sektor MICE (Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions) sebagai sumber pendapatan utama.
Ketua Umum Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) I Gede Arya Pering Arimbawa mengungkapkan bahwa survei yang dilakukan DPP IHGMA pada Februari 2025 terhadap 315 hotel menunjukkan penurunan tingkat hunian secara nasional sebesar 10 persen hingga 20 persen.
Baca juga: Hypereport: Tantangan dan Strategi Baru bagi Sektor Pariwisata Indonesia di Tengah Efisiensi
Angka ini setara dengan potensi kehilangan pendapatan hingga Rp1 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya mengalami penurunan okupansi paling signifikan karena tingginya ketergantungan terhadap segmen MICE.
Dalam menghadapi kondisi ini, pelaku industri perhotelan mulai merancang berbagai strategi adaptasi agar tetap bertahan. Salah satu langkah utama yang dilakukan adalah diversifikasi target pasar. Jika sebelumnya hotel-hotel banyak mengandalkan tamu dari sektor pemerintahan, kini mereka mulai membidik segmen lain, seperti wisatawan domestik dan korporasi swasta.
Program promosi menarik, diskon khusus, hingga paket bundling dengan layanan tambahan seperti fasilitas coworking space dan hiburan menjadi daya tarik baru yang ditawarkan. Selain itu, inovasi dalam strategi pemasaran juga menjadi kunci untuk meningkatkan okupansi.
Dalam menghadapi tantangan akibat kebijakan efisiensi anggaran, industri perhotelan dituntut untuk beradaptasi dan mencari strategi baru. Salah satu langkah yang semakin banyak diterapkan adalah pemanfaatan teknologi digital guna menjangkau pasar yang lebih luas.
Wakil Ketua Umum IHGMA, Wita Jacob, bersama Garna Sobhara Swara, menyoroti pentingnya strategi pemasaran digital bagi industri perhotelan. "Optimalisasi pemasaran melalui media sosial, platform reservasi online, serta kerja sama dengan influencer perjalanan menjadi strategi yang semakin banyak diterapkan hotel untuk menarik pelanggan baru," jelasnya.
Sementara itu, Angkoso Soekadari, pendiri IHGMA, menekankan peran krusial komunitas dan asosiasi dalam mendukung para General Manager hotel agar lebih siap menghadapi perubahan pasar.
"Pelatihan dan workshop mengenai strategi bertahan di masa sulit, pengelolaan keuangan yang lebih efisien, serta inovasi layanan menjadi salah satu bentuk dukungan yang diberikan," ujarnya.
Di sisi lain, I Nyoman Sarya, selaku Penasehat IHGMA, menegaskan perlunya kerja sama erat antara industri perhotelan dan pemerintah guna mencari solusi jangka panjang. "Pemerintah perlu mempertimbangkan skema dukungan bagi industri perhotelan agar dapat tetap berjalan tanpa harus mengorbankan kualitas layanan," katanya.
Subsidi pajak, insentif bagi hotel yang menerapkan konsep ramah lingkungan, serta kemitraan dalam promosi pariwisata bisa menjadi langkah konkret untuk menjaga keberlangsungan industri.
Ketua Umum IHGMA, I Gede Arya Pering Arimbawa, menambahkan bahwa perubahan strategi bisnis memang membutuhkan waktu, tetapi adaptasi adalah kunci utama untuk bertahan.
"Kami harus mengubah cara berpikir dan mengembangkan strategi baru agar tetap relevan di tengah perubahan pasar," ujarnya. Dengan inovasi dan langkah strategis yang tepat, industri perhotelan diharapkan mampu menghadapi tantangan ini dan terus berkembang.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Ketua Umum Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) I Gede Arya Pering Arimbawa mengungkapkan bahwa survei yang dilakukan DPP IHGMA pada Februari 2025 terhadap 315 hotel menunjukkan penurunan tingkat hunian secara nasional sebesar 10 persen hingga 20 persen.
Baca juga: Hypereport: Tantangan dan Strategi Baru bagi Sektor Pariwisata Indonesia di Tengah Efisiensi
Angka ini setara dengan potensi kehilangan pendapatan hingga Rp1 miliar dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya mengalami penurunan okupansi paling signifikan karena tingginya ketergantungan terhadap segmen MICE.
Dalam menghadapi kondisi ini, pelaku industri perhotelan mulai merancang berbagai strategi adaptasi agar tetap bertahan. Salah satu langkah utama yang dilakukan adalah diversifikasi target pasar. Jika sebelumnya hotel-hotel banyak mengandalkan tamu dari sektor pemerintahan, kini mereka mulai membidik segmen lain, seperti wisatawan domestik dan korporasi swasta.
Program promosi menarik, diskon khusus, hingga paket bundling dengan layanan tambahan seperti fasilitas coworking space dan hiburan menjadi daya tarik baru yang ditawarkan. Selain itu, inovasi dalam strategi pemasaran juga menjadi kunci untuk meningkatkan okupansi.
Dalam menghadapi tantangan akibat kebijakan efisiensi anggaran, industri perhotelan dituntut untuk beradaptasi dan mencari strategi baru. Salah satu langkah yang semakin banyak diterapkan adalah pemanfaatan teknologi digital guna menjangkau pasar yang lebih luas.
Wakil Ketua Umum IHGMA, Wita Jacob, bersama Garna Sobhara Swara, menyoroti pentingnya strategi pemasaran digital bagi industri perhotelan. "Optimalisasi pemasaran melalui media sosial, platform reservasi online, serta kerja sama dengan influencer perjalanan menjadi strategi yang semakin banyak diterapkan hotel untuk menarik pelanggan baru," jelasnya.
Sementara itu, Angkoso Soekadari, pendiri IHGMA, menekankan peran krusial komunitas dan asosiasi dalam mendukung para General Manager hotel agar lebih siap menghadapi perubahan pasar.
"Pelatihan dan workshop mengenai strategi bertahan di masa sulit, pengelolaan keuangan yang lebih efisien, serta inovasi layanan menjadi salah satu bentuk dukungan yang diberikan," ujarnya.
Di sisi lain, I Nyoman Sarya, selaku Penasehat IHGMA, menegaskan perlunya kerja sama erat antara industri perhotelan dan pemerintah guna mencari solusi jangka panjang. "Pemerintah perlu mempertimbangkan skema dukungan bagi industri perhotelan agar dapat tetap berjalan tanpa harus mengorbankan kualitas layanan," katanya.
Subsidi pajak, insentif bagi hotel yang menerapkan konsep ramah lingkungan, serta kemitraan dalam promosi pariwisata bisa menjadi langkah konkret untuk menjaga keberlangsungan industri.
Ketua Umum IHGMA, I Gede Arya Pering Arimbawa, menambahkan bahwa perubahan strategi bisnis memang membutuhkan waktu, tetapi adaptasi adalah kunci utama untuk bertahan.
"Kami harus mengubah cara berpikir dan mengembangkan strategi baru agar tetap relevan di tengah perubahan pasar," ujarnya. Dengan inovasi dan langkah strategis yang tepat, industri perhotelan diharapkan mampu menghadapi tantangan ini dan terus berkembang.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.