Penulis Boy Candra (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Abdurachman)

Hypeprofil Boy Candra: Cerita Asam Manis Sang Penulis Melankolis

24 February 2025   |   07:30 WIB
Image
Luke Andaresta Jurnalis Hypeabis.id

"Di dalam dunia kepenulisan, pada akhirnya adalah seberapa kuat kamu menulis cerita. Orang-orang yang bertahan di dunia kepenulisan pada akhirnya adalah siapa yang produktif, siapa yang paling kuat menulis cerita. Mereka lah yang akan bertahan hingga akhir."
 
Kalimat itu diucapkan oleh Boy Candra kala menjadi pembicara di salah satu acara diskusi seputar kiat membangun karier di dunia kepenulisan. Di hadapan para audiens yang didominasi anak muda, Boy menegaskan, jika seseorang ingin masuk ke dunia kepenulisan, pastikan dia kuat melalui semuanya. 
 
Ucapan itu bukan sekadar petuah. Kalimat itu telah Boy buktikan selama karier kepenulisannya yang telah menginjak satu sekade lebih. Boy adalah sosok penulis yang giat bercerita. Tak terpaku pada kisah-kisah melankolis, genre yang mempopulerkan namanya, Boy mengeksplorasi berbagai tema cerita. 

Baca juga: Simak Proses Kreatif Boy Candra Garap Novel Dongeng Kucing, Cuma Butuh 24 Hari 

Hal itu dia buktikan dengan menerbitkan novel fabel fantasi Dongeng Kucing yang menjadi buku ke-30. Kisah-kisah romansa penuh liku-liku atau catatan-catatan romantis tak hadir dalam novel anyarnya tersebut. Boy mencoba mengajak pembaca menyusuri kisah tentang kehidupan dan petualangan para binatang yang penuh fantasi dan imajinatif. 
 
Butuh 10 tahun bagi Boy akhirnya berani 'keluar' dari zona nyamannya. Selama satu dekade, Boy lebih memilih untuk mengeksplorasi karya-karya melankolis, satu genre yang sangat populer di kalangan pembaca Indonesia. Selain berkarya, dia juga ingin mencari sumber penghidupan dan memperpanjang napasnya sebagai penulis.
 
"Fantasi kan segmen yang agak sulit dijamah atau dijual dibanding yang lain. Saya baru yakin untuk melakukannya setelah 10 tahun gitu. Kayaknya sudah bisa saya sampaikan ke banyak orang dalam waktu yang singkat. Soalnya kalau di awal-awal saya harus bertahan hidup dulu. Karena sudah 10 tahun kayaknya sudah siap lah untuk masuk ke segmen yang lebih luas," ucapnya kepada Hypeabis.id
 
 
Perjalanan Boy untuk menjadi seorang penulis tidaklah mudah. Saat kecil, Boy tinggal dan tumbuh di sebuah desa kecil bernama Talu, di Kecamatan Talamau Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Sejak kecil, dia suka membaca. Kala itu, dia hanya bisa mengakses buku-buku bacaan yang dijual di pasar tradisional.
 
Berkat hasil kerjanya berjualan kopi bubuk di pasar, dia mendapat uang sebesar Rp1.000 per minggu untuk membeli buku. Kala itu, buku yang paling terjangkau ialah karya-karya penulis Tatang S. Hal itu lah yang membuat Boy sejak kecil dekat dengan karya-karya komik pewayangan khas dari penulis yang populer pada era 1980-an hingga 1990-an itu.
 
Meski dalam keadaan terbatas, imajinasi Boy justru terbentuk berkat cerita-cerita fiktif Tatang S. "Setelah saya besar saya sadar, ternyata kekuatan cerita, kekuatan imajinasi itu memang sebesar itu. Di banyak pertanyaan saya selalu bilang, siapa yang paling berpengaruh dalam perjalanan kepenulisan saya itu, yang pertama sih pasti Tatang S," ucapnya.
 
Keinginan Boy untuk menjadi penulis terbentuk dari lingkungan di sekitarnya. Tak hanya Tatang S, ada sosok lain yang juga menginspirasi Boy untuk menjadi penulis yakni guru bahasa Indonesia semasa dia di sekolah bernama Pak Datuk.
 
Kebiasaan sang guru menggunakan bahasa Indonesia baku dalam percakapannya, membuat Boy hingga kini konsisten menggunakan gaya bahasa penceritaan yang cenderung baku dalam karya-karyanya.
 
Motivasi lainnya termasuk keinginan untuk menulis sebagai sebuah upaya mencatat sejarah. Tinggal di desa pinggiran yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah arus utama membuat Boy bertekad untuk menulis sebanyak-banyaknya. Mencatat sejarah dirinya, keluarga, dan lingkungannya sendiri.
 
"Itu yang bikin saya bertekad untuk menjadi penulis, menulis lebih banyak buku. Berharap suatu hari nanti kalau misalnya ada buku saya yang besar terus nama saya dikenal, orang-orang juga cari tahu ibu saya dan mau menyebut nama ibu saya," kata penulis berusia 35 tahun itu. 

 
Penulis Boy Candra (Sumber gambar:JIBI/Bisnis/Abdurachman)
Dalam perjalanannya, Boy mengasah kemampuannya dalam menulis secara autodidak. Sejak duduk di bangku SMP, Boy sudah gemar menulis puisi di buku-buku pelajarannya. Dia juga senang terlibat di kegiatan-kegiatan yang identik dengan literasi, seperti membuat mading atau majalah dinding di sekolah.
 
Kegemarannya terus terjaga hingga menginjak kuliah. Meskipun menempuh studi dengan mengambil jurusan Pendidikan Manajemen, Boy justru memantapkan diri untuk menekuni karier sebagai penulis usai menyelesaikan kuliahnya. Kendati tidak memiliki akses yang mudah untuk menerbitkan buku seperti di kota-kota besar, Boy tekun mengasah diri dengan terus menulis di berbagai platform.
 
Awalnya, Boy mencoba untuk mengeksplorasi cerita-cerita humor yang terinspirasi dari karya-karya penulis Raditya Dika. Akan tetapi, pada satu titik tertentu, dia merasa tidak memiliki bakat untuk membuat cerita-cerita humor. Akhirnya, Boy memilih untuk lebih mengungkapkan kegelisahannya dalam berbagai hal dalam tulisan-tulisannya. 
 
Pada awal karier kepenulisannya, Boy lebih banyak menulis kisah seputar patah hati. Hal ini terinspirasi dari kisah-kisah orang-orang yang mengalami patah hati dan membagikannya di media sosial. Berbekal dengan kemampuannya dalam mengolah rasa, dia pun konsisten untuk meracik kisah-kisah melankolis dengan kalimat-kalimat puitis yang mengajak pembaca larut dalam jalinan ceritanya.
 
Sejak 2011, Boy aktif menulis cerpen di blog pribadinya. Dia tidak memulai karier sebagai penulis dengan mengirim tulisan ke media massa lantaran menilai selera tulisan “orang koran” berbeda dengan selera tulisannya. 
 
Pada tahun yang sama, Boy sudah mengirim naskahnya ke penerbit, tetapi ditolak. Dia mengungkap ada 10 naskah yang ditolak oleh sebanyak 7 penerbit. Setahun kemudian, dia nekat menerbitkan bukunya secara independen sebanyak 20 eksemplar dan dia jual ke teman-temannya. 
 
Naskahnya diterima penerbit mayor pertama kali pada 2013 yakni dengan novel debut berjudul Origami Hati. Akan tetapi, kala itu novelnya belum terjual maksimal. Terlebih, tak lama setelah itu, editor novel tersebut pindah hingga Boy tidak punya akses komunikasi dengan penerbit tersebut. Hal itu membuat Boy pernah berada di situasi gamang karena harus mencari penerbit lagi.
 
Sejak 2011 hingga 2016, jalan Boy untuk mewujudkan mimpinya penuh liku-liku. Selama itu, Boy mengaku harus mengambil kerja-kerja lain sebagai sumber penghasilan sekaligus tetap menghidupkan mimpinya sebagai penulis. 
 
Ketekunannya pun perlahan membuahkan hasil. Pada 2015, buku fiksi Senja, Hujan, dan Cerita yang Telah Usai yang diterbitkan Boy meledak di pasaran. Buku setebal 249 halaman itu sukses terjual sebanyak 130.000 eksemplar. Sejak itu, nama Boy perlahan mulai dikenal hingga karya-karyanya digemari oleh banyak pembaca di Indonesia. 
 
Sampai saat ini, Boy telah menulis sebanyak 30 buku yang terdiri dari novel, kumpulan cerpen, dan antologi puisi, yang kebanyakan mengangkat kisah-kisah melankolis, di antaranya Seperti Hujan yang Jatuh Ke Bumi (2016), Jatuh dan Cinta (2017), Malik & Elsa (2018), Ingkar (2020), serta Menikmati Manis Racun di Bibirmu (2022).  
 
Buku-bukunya telah diterbitkan oleh sejumlah penerbit mayor seperti MediaKita, Bukune, Gagasmedia, dan Grasindo. Dua novelnya juga telah diadaptasi menjadi film, yakni Seperti Hujan yang Jatuh Ke Bumi yang tayang di Disney+ Hotstar, serta Malik & Elsa yang dirilis di Netflix.
 
Boy juga memiliki basis pengikut yang besar di media sosial. Di Instagram, dia memiliki lebih dari 2 juta pengikut. Lewat platform pribadinya, dia kerap membagikan buah pikirannya dalam berbagai hal ke dalam bentuk tulisan atau quotes singkat, mulai dari yang bernada melankolis hingga ungkapan kritis terhadap isu-isu sosial dan politik. 
 

Boy Candra (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Abdurachman)

Boy Candra (Sumber gambar: JIBI/Bisnis/Abdurachman)

Meski kini telah memiliki tempat di dunia sastra populer Indonesia, Boy konsisten menjadi penulis yang produktif. Dia disiplin menulis setiap harinya, layaknya orang yang memiliki jam kantor untuk bekerja. Setiap hari, Boy menulis mulai dari pukul 2 siang hingga 10 malam. Lanjut lagi mulai pukul 12 malam hingga 3 dini hari.
 
Hal itu dilakukannya untuk mendisiplinkan diri dalam menulis, dan terus menggali kemampuannya dalam mengeksplorasi berbagai cerita. Terlebih, sebagai penulis, dia juga punya target untuk bisa menerbitkan 3 buku dalam setahun.
 
"Karena saya lagi belajar menantang diri saya bisa nulis apa aja. Jadi kalau waktunya nulis horor, saya pengen nulis horor gitu. Enggak mau mengkotakkan diri spesialis tertentu. Karena sebagai penulis yang memilih hidup dari menulis, saya pikir tantangannya itu justru adaptasi gitu kan," kata penulis jebolan Universitas Negeri Padang itu.
 
Menurutnya, karier penulis di Indonesia memiliki potensi yang besar. Dengan jumlah hampir 300 juta penduduk, Indonesia memiliki segmen pembaca yang beragam. Hanya, dia menyayangkan sikap pemerintah yang menurutnya tidak serius dalam mengatasi persoalan maraknya pembajakan buku yang sangat merugikan penulis.
 
"Ada buku-buku saya yang sudah enggak dicetak buku aslinya, tapi bajakannya tetap laris. Dan itu juga susah sekali melawannya. Harapan terakhirnya memang tangan pemerintah," ucapnya.
 
Di sisi lain, Boy juga melihat minat baca di Indonesia mengalami pertumbuhan. Hanya, dia menyayangkan masih banyaknya pihak yang melakukan book shaming, dengan merendahkan atau memperdebatkan minat dan selera bacaan orang lain. Padahal, menurut dia, setiap buku itu punya segmen pembacanya masing-masing. 
 
"Itu kan jadi kontradiktif. Minat baca itu memang pada akhirnya kalau kita sepakat untuk merayakan semua kebiasaan membaca, harusnya tidak merasa lebih elite, tidak merasa lebih eksklusif dari pihak yang lain," tuturnya.
 
Sementara itu, meski telah malang melintang di dunia sastra dan kepenulisan, Boy tetap tinggal di daerah asalnya yakni di Padang, Sumatera Barat. Dia adalah salah satu orang yang menentang terkait narasi Jawa sentris. Bahwa orang-orang yang ingin sukses, harus lah pergi merantau ke Pulau Jawa, ke kota-kota besar.
 
Sebaliknya, dari tempat asalnya, dia ingin membuktikan bahwa karya-karyanya tetap bisa diakses dan dinikmati oleh pembaca luas. Selama satu dekade lebih, Boy Candra telah membuktikannya. 

Baca juga: Hypeprofil Sastrawan Felix K Nesi: Budaya Bertutur Melahirkan Keberanian Imajinasi

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Berikut 15 Drama Korea Terbaik di Netflix yang Wajib Genhype Tonton

BERIKUTNYA

Profil Anggun C. Sasmi, Penyanyi Indonesia yang Melejit di Kancah Musik Dunia

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: