Anggota Komisi X DPR RI Ahmad Dhani (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Ahmad Dhani hingga Piyu Padi Kawal Revisi UU Hak Cipta, Soroti Izin Penggunaan Lagu

17 February 2025   |   17:47 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Setelah menjadi polemik yang tak berkesudahan, mekanisme royalti di dalam Undang-Undang (UU) Hak Cipta kini akan segera direvisi. Musisi yang juga anggota Komisi X DPR RI Ahmad Dhani hingga Ketua Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) Satriyo Yudi Wahono atau Piyu Padi pun siap mengawalnya.

Revisi UU Hak Cipta itu diinisiasi langsung oleh musisi sekaligus anggota Komisi X DPR RI Melly Goeslaw. Ahmad Dhani menyebut usulan revisi UU Hak Cipta tersebut telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025, dan dia mengaku siap untuk mengawal revisi tersebut agar ke depan terdapat kepastian hukum bagi insan musik.

Menurut Dhani, masih ada kalimat di dalam UU maupun produk turunannya yang bersifat multitafsir, yang pada akhirnya menjadi perdebatan pada saat ini. Dalam revisi nanti, dia akan berfokus pada beberapa kalimat yang abu-abu tersebut.

Baca juga: Pink Floyd Menjual Hak Cipta dan Katalog Musik ke Sony Senilai US$400 Juta

Usulan revisi ini muncul setelah permasalahan hak cipta yang melibatkan Agnez Mo dan Ari Bias menjadi sorotan publik. Dhani menilai kasus ini menjadi contoh nyata perlunya kejelasan dalam aturan sehingga tak ada perdebatan serupa.

“Nanti akan kami koreksi agar kalimat di UU tidak multitafsir dan menimbulkan polemik di kemudian hari. Kalimat yang kurang tegas akan dipertegas,” ungkap Dhani di Jakarta Selatan, Senin, (17/2/2025).

Dhani menilai, ada aturan yang perlu diperjelas lagi, terutama soal perbedaan penggunaan lagu keperluan pribadi dan profesional. Menurutnya, masih ada beberapa ranah abu-abu di hal tersebut.

Salah satunya adalah soal kalimat komposer tidak bisa melarang penyanyi membawakan lagunya, asal nantinya pengguna membayar royalti. Menurut Dhani, aturan tersebut seharusnya tidak diterapkan ke dalam semua ranah.

Dhani menilai aturan itu bisa diterapkan untuk keperluan penggunaan hak cipta di karaoke, kafe, maupun restoran. Namun, untuk pertunjukan yang profesional dan komersial, seperti konser, dia menilai perlu ada perlakuan berbeda.

“Jadi, misalkan ada band kafe mau pakai lagu saya, itu ya saya tidak bisa melarang. Namun, mungkin nanti di UU bisa dipertegas bahwa larangan itu bisa diberlakukan untuk perjunjukan profesional,” imbuhnya.

Dhani mengatakan hak cipta itu sudah seharusnya melekat kepada penciptanya. Dengan demikian, pencipta punya hak atas izin terhadap karyanya, terutama pada segala hal yang berhubungan dengan komersial, termasuk konser.

Dirinya ingin memperjuangkan klausa tersebut ke dalam revisi UU. Menurutnya, dengan tambahan klausa ini, nantinya bisa tercipta keadilan, tak hanya bagi penyanyi, tetapi juga pencipta musik.

“Kalau masih ada pendapat ‘enggak apa-apa nyanyi asal bayar nanti’, itu sebenarnya punya DNA maling. Karena selama ini enggak ada yang bayar ke kita,” jelasnya.

Dhani kemudian menganalogikan kasus ini seperti orang yang ingin meminjam mobil rental. Jika ada yang ingin rental mobil, orang itu harus izin terlebih dahulu ke pemilik sebelum membawanya. Namun, praktik yang terjadi sekarang justru sebaliknya.

Menurut Dhani, rapat mengenai revisi UU Hak Cipta akan dilakukan pada Ramadan 2025. Dia pun akan mencoba mengusulkan opsi direct licence untuk mendampingi skema kolektif lewat LMK.
 

Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), Satrio Yudi Wahono atau Piyu Padi, ahli hukum Minola Sebayang, Anggota DPR Ahmad Dhani, dan angota AKSI (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Ketua Umum Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), Satrio Yudi Wahono atau Piyu Padi, ahli hukum Minola Sebayang, Anggota DPR Ahmad Dhani, dan angota AKSI (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)


Hak Ekonomi Pencipta

Sementara itu, ahli hukum Minola Sebayang mengatakan hak ekonomi pencipta itu sebenarnya telah dilindungi dengan sangat baik di UU. Namun, seolah itu dinafikan begitu saja karena ada pembiasaan.

Minola menyebut yang disebut Dhani bahwa komposer tidak boleh melarang lagunya dibawakan asal membayar royalti itu ada di Pasal 23 ayat 5 yang berbunyi “Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif”.

Namun, sebenarnya ada pasal lain yang justru meminta semua orang menghormati hak pencita. Ini bisa dilihat dari Pasal 9 ayat 2 yang berbunyi “Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta”.

Minola menegaskan, persoalan izin ini sudah sangat jelas ada dan penting diterapkan. Jika tidak diterapkan, dendanya pun tak main-main yakni Rp500 juta.

Segendang sepenarian, Ketua Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) Satriyo Yudi Wahono atau yang dikenal sebagai Piyu Padi berharap usulan revisi UU Hak Cipta ini menjadi harapan baru bagi insan musik.

Dia berharap AKSI bisa turut andil dalam perumusan revisi itu. Sebab, perumusan UU mestinya melibatkan stakeholder yang beragam, termasuk asosiasi pencipta lagu seperti AKSI. Dengan demikian, harapannya rumusan naskah revisi UU bisa lebih mendalam dan adil.

“Kalau dari kita intinya satu, untuk menggunakan karya cipta, seseorang harus mendapatkan izin dari pencipta lagu dulu. Jadi, harus dapat lisensi dulu si penyanyinya,” imbuhnya.

Sebab, dengan adanya izin lalu lisensi, maka nantinya persoalan royalti pun lebih jelas. Oleh karena itu, dia menyebut izin dan royalti itu dua hal yang berbeda sebenarnya. Izin untuk mendapatkan lisensi, sedangkan royalti untuk membayar hak dari penggunaan suatu karya cipta.

Editor: Fajar Sidik

SEBELUMNYA

Tren Model Pakaian Katun Brokat Jadi Favorit di Platinum Market Tanah Abang

BERIKUTNYA

Sistem Work From Anywhere Diusulkan Untuk Cegah Lonjakan Mudik Lebaran 2025

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: