Ketua Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), Satriyo Yudi Wahono atau yang terkenal sebagai Piyu Padi Reborn (Sumber gambar: Chelsea Venda/Hypeabis.id)

Revisi UU Hak Cipta, Piyu Padi Harap Direct License & LMK Bisa Diterapkan Paralel

18 February 2025   |   13:42 WIB
Image
Chelsea Venda Jurnalis Hypeabis.id

Like
Ketua Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI), Satriyo Yudi Wahono atau yang terkenal sebagai Piyu Padi Reborn mengatakan pihaknya akan memperjuangkan klausul direct lecense masuk ke dalam Undang-Undang Hak Cipta yang akan segera direvisi oleh DPR.

Menurut Piyu, direct license bisa menjadi solusi bersama terkait dengan carut-marutnya masalah royalti di Indonesia. Dengan penerapan direct license, Piyu menilai pembayaran royalti jadi lebih efektif, efisien, tepat sasaran, dan dapat dirasakan langsung oleh komposer atau pencipta lagu.

Baca juga: Ahmad Dhani hingga Piyu Padi Kawal Revisi UU Hak Cipta, Soroti Izin Penggunaan Lagu

Direct license merupakan sistem lisensi dan pembayaran royalti yang dilakukan secara langsung antara pencipta karya cipta dan penggunanya. Sistem ini berbeda dengan pola blanket license, yang lebih umum di Indonesia.

Dalam blanket license, pengguna diperkenankan memakai karya cipta tertentu di dalam suatu pertunjukan tanpa izin terlebih dahulu, asal nantinya membayar royalti kepada pencipta. Pembayaran royalti ini nantinya dikumpulkan secara kolektif melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Piyu mengatakan sudah seharusnya Indonesia mengadopsi pola pengumpulan royalti direct license. Sebab, mekanisme ini bisa menambal beberapa hal yang dinilai tak bisa sepenuhnya diakomodir oleh pengumpulan kolektif.

“Jadi, tidak harus dipilih salah satu [mekanisme]. Ini bisa dijalankan dua-duanya secara berbarengan kok,” ucap Piyu kepada Hypeabis.id.

Piyu mengatakan untuk pemutaran musik secara komersil di non pertunjukan profesional, seperti mall, klub, karaoke, dan semacamnya, itu bisa menggunakan skema pengumpulan royalti secara kolektif.

Sebab, jumlah pemutaran musik di tempat non pertunjukan profesional ini jumlahnya sangat banyak. Untuk efisiensi, maka sistem kolektif ini lebih tepat dijalankan.

Namun, skema berbeda mesti diterapkan di pertunjukan musik profesional, seperti konser. Menurutnya, pengguna lagu, dalam hal ini adalah penyanyi, mestinya wajib meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta lagu sebelum membawakannya.

“Apakah akan ribet? Enggak juga. Direct license tidak harus pintu ke pintu kok, bisa ada sistem untuk menaungi itu juga,” imbuhnya.

Anggota DPR RI Komisi X Ahmad Dhani juga sepakat direct license bisa menjadi solusi untuk memperbaiki sistem royalti di Indonesia. Sebab, selama ini ada beberapa sektor yang penyerapannya masih sangat kurang.

Selama ini, sistem direct license ditentang sejumlah pihak karena khawatir tarif yang dikenakan akan sangat tinggi, bergantung pada si penciptanya. Namun, Dhani menyebut hal-hal itu hanya kekhawatiran belaka dan sangat bisa diantisipasi.

Sebab, tarif direct license tidak harus dikenakan secara bebas dan suka-suka oleh pencipta. Untuk mencegah itu, sistem ini juga bisa memakai tarif flat yang kemudian dimasukkan ke dalam sebuah aturan.

“AKSI sudah memutuskan usulan berapa tarif tersebut, tetapi itu nanti. Nantinya, kami juga usul ini hanya berlaku bagi artis yang fee-nya di atas Rp10 juta,” jelasnya.

Dhani mengatakan selama ini royalti di sektor konser memang tidak begitu menggembirakan. Oleh karena itu, sektor ini mesti perlu aturan yang berbeda. Direct license dianggapnya bisa menjadi solusi.

Dia juga menerangkan bahwa pada 2024, royalti kolektif yang dikumpulkan LMK Wahana Musik Indonesia (WAMI) itu sekitar Rp140-an miliar. Namun, jika dilihat lebih detail, royalti sektor konser hanya menyumbang sekitar Rp900 juta.

"Jadi, hanya sekitar kurang dari satu persen saja. Dari hal-hal kecil inilah yang coba kita kejar dahulu, baru kemudian ke sektor lain," imbuhnya.

Sebelumnya, Anggota Komisi X DPR RI Melly Goeslaw telah mengajukan usulan revisi UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Usulan ini telah disetujui untuk masuk dalam Prolegnas 2025-2029 dan prioritas 2025.

Proses pengkajian revisi UU ini akan melibatkan berbagai pihak, termasuk pakar hukum, musisi, penulis lagu, dan insan kreatif lainnya, untuk memastikan regulasi yang dihasilkan dapat melindungi hak-hak kreator serta mendukung perkembangan industri kreatif di Indonesia.

Baca juga: AKSI: Putusan Hukum Kasus Agnez Mo Bisa Jadi Rujukan Baru Ekosistem Royalti Indonesia

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News

Editor: Nirmala Aninda
 

SEBELUMNYA

Rekor Head to Head Timnas Indonesia U-20 vs Yaman U-20

BERIKUTNYA

Daftar Film Populer Angeline Jolie: Tomb Raider hingga Maleficent

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: