Cerita Perjuangan Para Penyintas Kanker, Salah Diagnosis sampai Sembuh Total
11 February 2025 |
22:30 WIB
Setyo Budi, seorang profesional yang pernah bertugas di wilayah konflik, tidak pernah menyangka bahwa perjalanan hidupnya akan berubah drastis pada November 2016. Ketika itu, dia tengah bertugas sebagai Public Relations untuk United Nations di Sudan, wilayah yang dilanda perang saudara.
Tanpa tanda-tanda sebelumnya, matanya mulai merah, berair, dan membengkak. Tidak diketahui penyebab yang jelas. Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan di wilayah konflik, pria kelahiran 12 November 1971 itu hanya bisa berkonsultasi dengan dokter umum dan menyebutkan bahwa dirinya mengalami infeksi mata.
Ketika kembali ke Indonesia untuk liburan singkat, dia memutuskan memeriksakan diri ke rumah sakit di Semarang, Jawa Tengah. Hasilnya mengejutkan karena gejala yang dialami bukanlah infeksi mata biasa tetapi terindikasi sebagai kanker.
Baca juga: Angka Kanker Pada Wanita Kian Meningkat, Langkah Preventif Jadi Prioritas
Dokter pun menyarankannya untuk segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke Rumah Sakit Aini di Jakarta. Oleh dokter di RS Aini Jakarta, dia didiagnosis menderita kanker ganas. Saat mendengar diagnosis tersebut, pria yang akrab disapa Budi ini diliputi rasa kebingungan dan ketakutan.
“Karena seumur-umur enggak pernah ada penyakit seperti ini. Saya terus bertanya-tanya apa penyebabnya kenapa harus saya?” ujar pria yang pernah berprofesi sebagai wartawan di wilayah konflik tersebut.
Apalagi dokter menjelaskan bahwa kanker telah menyebar dari mata kanan ke jaringan di sekitarnya dan mendekati otak. Satu-satunya cara adalah dengan operasi pengangkatan mata. Sebab, jika dibiarkan kanker bisa merambat ke otak dan mengancam nyawa.
“Saat itu saya memutuskan untuk segera dioperasi karena lebih baik kehilangan mata daripada harus kehilangan nyawa,” katanya bercerita.
Namun, ketika itu belum diketahui secara pasti jenis kanker yang diderita. Untuk mengetahui lebih jelas, harus dilakukan biopsi. Pada 30 November 2016, Budi menjalani operasi pengambilan sampel dari mata kanan.
Di ruang operasi, tim medis menemukan bahwa kanker tersebut tidak hanya terfokus di satu titik tetapi telah menyebar ke beberapa bagian tubuh termasuk dada, perut, dan hidung. Dokter pun mengidentifikasi bahwa jenis kanker tersebut adalah kanker kelenjar getah bening (non-Hodgkin lymphoma).
“Namun kabar baiknya adalah kanker tersebut masih bisa diatasi dengan kemoterapi tanpa harus mengangkat mata,” ucapnya.
Akhir 2016 tepatnya pada malam tahun baru, Setyo mulai menjalani kemoterapi pertama. Dia melakoni enam siklus kemoterapi selama tujuh bulan, sebuah proses yang penuh tantangan fisik dan mental.
Efek samping seperti rambut rontok, mual, tubuh yang lebam, serta kesulitan buang air besar menjadi bagian dari perjuangannya. Pada saat yang sama, dia harus menghadapi perasaan marah, kecewa, dan pertanyaan mendalam tentang penyebab penyakitnya.
"Awalnya, saya marah pada diri sendiri dan marah pada Tuhan. Saya bertanya, dosa apa yang membuat saya mengalami ini?" ujar dia. Namun, seiring waktu, dia belajar untuk berserah diri, menerima kenyataan atas penyakit yang diderita dan fokus pada pemulihan.
Baca juga: Kenali Penyebab Penderita Kanker Rawan Alami Nyeri
Keluarga menjadi pilar utama dalam perjuangannya. Istri, anak, dan ibunya memberikan semangat dan perawatan yang tak tergantikan. "Istri saya memandikan saya, mengganti pakaian, dan selalu ada di sisi saya. Dukungan keluarga adalah kunci dalam melewati masa sulit ini," ujarnya.
Setelah selesai melakukan enam kali kemoterapi, Budi harus rutin melakukan CT Scan setiap enam bulan untuk mengontrol kondisi kankernya. Ternyata sel kanker tersebut terus mengecil hingga akhirnya pada Agustus 2022 dia dinyatakan sembuh total.
“Sewaktu di rumah sakit, dokter ahli gizi mengatakan jika saya suka sayur maka harus memiliki kebun sendiri, jika saya suka ayam maka harus beternak ayam sendiri tanpa menjelaskan mengapa,” tuturnya.
Dari situ dia pun melakukan riset bahwa memang pestisida dan pengawet atau pewarna memiliki hubungan yang kuat dengan kanker atau tumor. Maka sejak selesai kemoterapi pada Agustus 2017, Budi selalu mengonsumsi makanan sehat dan makanan organik untuk menjaga kesehatannya, serta rutin berolahraga.
Hal ini pun mendorongnya untuk membuka restoran organik bernama Tanasurga Café & Restaurant di Salatiga. Selain untuk dikonsumsi secara pribadi, dia juga ingin mengedukasi masyarakat bahwa makanan sehat adalah investasi bagi kesehatan
"Restoran ini adalah hasil refleksi dari pengalaman saya. Kami menanam sendiri sayuran, membuat pupuk organik, dan menggunakan bahan-bahan alami seperti gula aren dan madu untuk menggantikan gula sintetis," jelasnya.
Budi meyakini bahwa semangat dan dukungan dari orang-orang terdekat adalah hal terpenting dalam melawan kanker. Selain itu, dia menekankan pentingnya menjaga gaya hidup sehat dan pola makan alami untuk mencegah penyakit serupa.
"Kanker mengajarkan saya untuk berserah diri, tetapi juga berjuang dengan sepenuh hati. Jangan pernah menyerah, karena selalu ada harapan. Tetap jaga pola makan, gaya hidup, dan pola pikir karena ketiganya menjadi fondasi untuk menjaga tubuh tetap sehat," tuturnya.
Selain Setyo Budi, salah satu penyintas kanker adalah Meryza Kusuma. Awalnya, dia mengira benjolan di payudara kirinya hanyalah mastitis atau penyumbatan susu yang sering dialami ibu menyusui. Terlebih saat itu dia tengah menyusui anaknya. Tak pernah terbayang di benaknya bahwa itu adalah tanda awal kanker payudara stadium 3.
"Benjolan itu tidak sakit, malah yang sering terasa adalah sakit pinggang yang terus-menerus," ujar Meryza.
Ibu dua anak ini pun sempat memeriksakan diri ke dokter umum di Puskesmas untuk menanyakan kondisinya, tetapi dokter menyebutkan bahwa kemungkinan besar hanya 'susu beku' karena tidak ada tanda-tanda kanker.
Namun, setelah sekitar 6 bulan menyapih sang anak, dia mulai menyadari benjolannya tak juga menghilang, bahkan kian membesar disertai gejala demam menggigil, sakit pinggang, dan nafsu makan yang menurun. Di tengah kondisi itu, dia pun langsung mengunjungi ke dokter bedah. Dari hasil pemeriksaan USG dan biopsi, diagnosis itu muncul, tumor ganas grade 3.
“Rasanya campur aduk, sempat nge-blank, dan merasa bingung sebingung-bingungnya,” kenangnya.
Akan tetapi, dia tidak ingin berlarut dalam kesedihan dan segera menemukan alasan untuk melawan penyakit tersebut. “Saya melihat anak-anak saya yang masih membutuhkan ibunya untuk tumbuh. Itu membuat saya yakin harus melawan kanker ini,” kata Meryza dengan penuh keteguhan hati.
Langkah awal yang dia ambil adalah mengikuti saran dokter untuk menjalani operasi pengangkatan payudara. Proses ini menjadi awal dari perjuangan panjangnya melawan kanker dengan sederet pengobatan, termasuk kemoterapi. "Setelah jangka waktu setahun [payudara] sebelah kanan juga ada benjolan kecil-kecil sehingga harus diangkat juga," tuturnya.
Dalam perjalanannya, dukungan keluarga menjadi sumber kekuatan utama. Suami, orang tua, dan anak-anak selalu memberinya afirmasi positif. "Ketika ingin menyerah, saya melihat anak-anak yang selalu mencari ibunya. Itu mengingatkan saya untuk terus bersemangat demi mereka," ungkapnya.
Sebuah momen yang membekas terjadi ketika dia bertemu seorang ibu lanjut usia yang juga menjalani kemoterapi. "Melihat semangatnya, saya berpikir, kalau yang sudah tua saja bisa, apalagi saya yang masih muda. Itu sangat memotivasi saya," ujarnya.
Meryza mempraktikkan berbagai kebiasaan untuk menjaga semangatnya. Dia selalu berpikir positif, mengonsumsi makanan sehat, dan berdoa. Salah satu kebiasaan uniknya adalah mengonsumsi buah-buahan, meminum jus daun pepaya, daun kenikir, jus buah bit, buah naga, rebusan kayu bajakah, hingga sarang semut dari Papua untuk mendukung kesehatannya.
Kini, meskipun masih harus menjalani pemeriksaan rutin dan mengkonsumsi obat, Meryza merasa lebih kuat dari sebelumnya. Pola hidupnya sederhana, tetapi ia menghindari makanan seperti daging merah dan makanan yang dibakar. Dia juga menyibukkan diri dengan mengurus keluarga dan menjaga pikiran tetap optimis.
“Pikiran yang positif adalah kunci. Jangan pernah menyerah, karena hidup ini terlalu berharga untuk dilewatkan,” tutupnya.
Baca juga: Cegah Kanker Payudara, Ini Waktu yang Tepat Lakukan SADARI
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Tanpa tanda-tanda sebelumnya, matanya mulai merah, berair, dan membengkak. Tidak diketahui penyebab yang jelas. Di tengah keterbatasan fasilitas kesehatan di wilayah konflik, pria kelahiran 12 November 1971 itu hanya bisa berkonsultasi dengan dokter umum dan menyebutkan bahwa dirinya mengalami infeksi mata.
Ketika kembali ke Indonesia untuk liburan singkat, dia memutuskan memeriksakan diri ke rumah sakit di Semarang, Jawa Tengah. Hasilnya mengejutkan karena gejala yang dialami bukanlah infeksi mata biasa tetapi terindikasi sebagai kanker.
Baca juga: Angka Kanker Pada Wanita Kian Meningkat, Langkah Preventif Jadi Prioritas
Dokter pun menyarankannya untuk segera melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke Rumah Sakit Aini di Jakarta. Oleh dokter di RS Aini Jakarta, dia didiagnosis menderita kanker ganas. Saat mendengar diagnosis tersebut, pria yang akrab disapa Budi ini diliputi rasa kebingungan dan ketakutan.
“Karena seumur-umur enggak pernah ada penyakit seperti ini. Saya terus bertanya-tanya apa penyebabnya kenapa harus saya?” ujar pria yang pernah berprofesi sebagai wartawan di wilayah konflik tersebut.
Apalagi dokter menjelaskan bahwa kanker telah menyebar dari mata kanan ke jaringan di sekitarnya dan mendekati otak. Satu-satunya cara adalah dengan operasi pengangkatan mata. Sebab, jika dibiarkan kanker bisa merambat ke otak dan mengancam nyawa.
“Saat itu saya memutuskan untuk segera dioperasi karena lebih baik kehilangan mata daripada harus kehilangan nyawa,” katanya bercerita.
Namun, ketika itu belum diketahui secara pasti jenis kanker yang diderita. Untuk mengetahui lebih jelas, harus dilakukan biopsi. Pada 30 November 2016, Budi menjalani operasi pengambilan sampel dari mata kanan.
Di ruang operasi, tim medis menemukan bahwa kanker tersebut tidak hanya terfokus di satu titik tetapi telah menyebar ke beberapa bagian tubuh termasuk dada, perut, dan hidung. Dokter pun mengidentifikasi bahwa jenis kanker tersebut adalah kanker kelenjar getah bening (non-Hodgkin lymphoma).
“Namun kabar baiknya adalah kanker tersebut masih bisa diatasi dengan kemoterapi tanpa harus mengangkat mata,” ucapnya.
Akhir 2016 tepatnya pada malam tahun baru, Setyo mulai menjalani kemoterapi pertama. Dia melakoni enam siklus kemoterapi selama tujuh bulan, sebuah proses yang penuh tantangan fisik dan mental.
Efek samping seperti rambut rontok, mual, tubuh yang lebam, serta kesulitan buang air besar menjadi bagian dari perjuangannya. Pada saat yang sama, dia harus menghadapi perasaan marah, kecewa, dan pertanyaan mendalam tentang penyebab penyakitnya.
"Awalnya, saya marah pada diri sendiri dan marah pada Tuhan. Saya bertanya, dosa apa yang membuat saya mengalami ini?" ujar dia. Namun, seiring waktu, dia belajar untuk berserah diri, menerima kenyataan atas penyakit yang diderita dan fokus pada pemulihan.
Baca juga: Kenali Penyebab Penderita Kanker Rawan Alami Nyeri
Keluarga menjadi pilar utama dalam perjuangannya. Istri, anak, dan ibunya memberikan semangat dan perawatan yang tak tergantikan. "Istri saya memandikan saya, mengganti pakaian, dan selalu ada di sisi saya. Dukungan keluarga adalah kunci dalam melewati masa sulit ini," ujarnya.
Setelah selesai melakukan enam kali kemoterapi, Budi harus rutin melakukan CT Scan setiap enam bulan untuk mengontrol kondisi kankernya. Ternyata sel kanker tersebut terus mengecil hingga akhirnya pada Agustus 2022 dia dinyatakan sembuh total.
“Sewaktu di rumah sakit, dokter ahli gizi mengatakan jika saya suka sayur maka harus memiliki kebun sendiri, jika saya suka ayam maka harus beternak ayam sendiri tanpa menjelaskan mengapa,” tuturnya.
Dari situ dia pun melakukan riset bahwa memang pestisida dan pengawet atau pewarna memiliki hubungan yang kuat dengan kanker atau tumor. Maka sejak selesai kemoterapi pada Agustus 2017, Budi selalu mengonsumsi makanan sehat dan makanan organik untuk menjaga kesehatannya, serta rutin berolahraga.
Hal ini pun mendorongnya untuk membuka restoran organik bernama Tanasurga Café & Restaurant di Salatiga. Selain untuk dikonsumsi secara pribadi, dia juga ingin mengedukasi masyarakat bahwa makanan sehat adalah investasi bagi kesehatan
"Restoran ini adalah hasil refleksi dari pengalaman saya. Kami menanam sendiri sayuran, membuat pupuk organik, dan menggunakan bahan-bahan alami seperti gula aren dan madu untuk menggantikan gula sintetis," jelasnya.
Budi meyakini bahwa semangat dan dukungan dari orang-orang terdekat adalah hal terpenting dalam melawan kanker. Selain itu, dia menekankan pentingnya menjaga gaya hidup sehat dan pola makan alami untuk mencegah penyakit serupa.
"Kanker mengajarkan saya untuk berserah diri, tetapi juga berjuang dengan sepenuh hati. Jangan pernah menyerah, karena selalu ada harapan. Tetap jaga pola makan, gaya hidup, dan pola pikir karena ketiganya menjadi fondasi untuk menjaga tubuh tetap sehat," tuturnya.
Setyo Budi (Sumber gambar: Dok pribadi
"Benjolan itu tidak sakit, malah yang sering terasa adalah sakit pinggang yang terus-menerus," ujar Meryza.
Ibu dua anak ini pun sempat memeriksakan diri ke dokter umum di Puskesmas untuk menanyakan kondisinya, tetapi dokter menyebutkan bahwa kemungkinan besar hanya 'susu beku' karena tidak ada tanda-tanda kanker.
Namun, setelah sekitar 6 bulan menyapih sang anak, dia mulai menyadari benjolannya tak juga menghilang, bahkan kian membesar disertai gejala demam menggigil, sakit pinggang, dan nafsu makan yang menurun. Di tengah kondisi itu, dia pun langsung mengunjungi ke dokter bedah. Dari hasil pemeriksaan USG dan biopsi, diagnosis itu muncul, tumor ganas grade 3.
“Rasanya campur aduk, sempat nge-blank, dan merasa bingung sebingung-bingungnya,” kenangnya.
Akan tetapi, dia tidak ingin berlarut dalam kesedihan dan segera menemukan alasan untuk melawan penyakit tersebut. “Saya melihat anak-anak saya yang masih membutuhkan ibunya untuk tumbuh. Itu membuat saya yakin harus melawan kanker ini,” kata Meryza dengan penuh keteguhan hati.
Langkah awal yang dia ambil adalah mengikuti saran dokter untuk menjalani operasi pengangkatan payudara. Proses ini menjadi awal dari perjuangan panjangnya melawan kanker dengan sederet pengobatan, termasuk kemoterapi. "Setelah jangka waktu setahun [payudara] sebelah kanan juga ada benjolan kecil-kecil sehingga harus diangkat juga," tuturnya.
Dalam perjalanannya, dukungan keluarga menjadi sumber kekuatan utama. Suami, orang tua, dan anak-anak selalu memberinya afirmasi positif. "Ketika ingin menyerah, saya melihat anak-anak yang selalu mencari ibunya. Itu mengingatkan saya untuk terus bersemangat demi mereka," ungkapnya.
Sebuah momen yang membekas terjadi ketika dia bertemu seorang ibu lanjut usia yang juga menjalani kemoterapi. "Melihat semangatnya, saya berpikir, kalau yang sudah tua saja bisa, apalagi saya yang masih muda. Itu sangat memotivasi saya," ujarnya.
Meryza mempraktikkan berbagai kebiasaan untuk menjaga semangatnya. Dia selalu berpikir positif, mengonsumsi makanan sehat, dan berdoa. Salah satu kebiasaan uniknya adalah mengonsumsi buah-buahan, meminum jus daun pepaya, daun kenikir, jus buah bit, buah naga, rebusan kayu bajakah, hingga sarang semut dari Papua untuk mendukung kesehatannya.
Kini, meskipun masih harus menjalani pemeriksaan rutin dan mengkonsumsi obat, Meryza merasa lebih kuat dari sebelumnya. Pola hidupnya sederhana, tetapi ia menghindari makanan seperti daging merah dan makanan yang dibakar. Dia juga menyibukkan diri dengan mengurus keluarga dan menjaga pikiran tetap optimis.
“Pikiran yang positif adalah kunci. Jangan pernah menyerah, karena hidup ini terlalu berharga untuk dilewatkan,” tutupnya.
Baca juga: Cegah Kanker Payudara, Ini Waktu yang Tepat Lakukan SADARI
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.