Pramoedya Ananta Toer & Gagasan tentang Indonesia yang Tak Lekang Zaman
08 February 2025 |
22:18 WIB
Pemikiran serta gagasan sastrawan Pramoedya Ananta Toer tak lekang oleh zaman. Hingga hari ini, ketika publik merayakan ulang tahunnya yang ke-100, apa yang pernah dikemukakan Pramoedya lewat lebih dari 50 karya tulis monumentalnya itu masih terus mampu menemukan relevansinya di era kini.
Pengarang sekaligus penerjemah buku-buku Pramoedya, Max Lane, mengatakan karya sastra Pramoedya Ananta Toer tidak hanya sarat akan nilai humanisme, tetapi juga penuh dengan sentuhan nasionalisme.
Membaca karya-karyanya, lanjutnya, seperti melacak jejak perjuangan dan kehidupan bangsa Indonesia. Narasi-narasinya tentang keindonesiaan yang diungkapkan olehnya, hingga kini masih terus bisa dibicarakan, didiskusikan, dan dihikmati.
Baca juga: Mengenal 4 Buku Pramoedya Ananta Toer yang Dicetak Ulang Edisi Khusus 100 Tahun
Bagi Max, momen-momen menerjemahkan buku Pramoedya punya sisi sentimental sendiri baginya. Bergulat dengan naskah-naskah Pram telah menuntunnya pada kepekaan baru untuk melihat bayangan keindonesiaan yang berbeda.
Menurut Max, saat proses penerjemahan, Pram termasuk sosok yang menolak diajak berdiskusi soal bukunya. Sebab, bagi Pram, penerjemah mestinya punya keleluasaan untuk mengartikan apa yang telah tertulis di buku tersebut, bukan apa yang diucapkannya.
Kalau sudah begini, Max pun hanya bisa mengiyakan. Kendati demikian, di luar itu, dirinya dan Pram kerap terlibat diskusi mendalam dalam hal lain, terutama soal filosofi hidup, politik, dan tentu saja keindonesiaan.
“Pengalaman menerjemahkan buku Pram punya dampak besar bagi saya, bahkan sampai sekarang. Itu sangat membantu saya bukan hanya mengerti Indonesia, tetapi juga proses sejarah yang terjadi di dalamnya. Pram adalah sejarawan yang luar biasa,” ungkap Max dalam acara Satu Abad Kelahiran Pramoedya di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (8/2/2025).
Buku-buku-buku Pram kemudian tak hanya mencerahkan dirinya, tetapi banyak orang lain di dunia. Menurut Max, setelah buku Pram diterjemahkan pada medio 80-an, banyak orang luar mulai melihat Indonesia secara berbeda.
Kala itu, dekade 80-an, orang-orang Eropa banyak mengenal Indonesia hanya dari Presiden Soeharto dan militernya. Namun, lewat Pram, mereka melihat Indonesia sebagai manifestasi perjuangan jutaan rakyat yang ingin merdeka.
Gagasan tentang keindonesiaan ala Pram memang begitu menggugah hingga bisa terus relevan sampai saat ini. Max mengataan Indonesia bagi Pram lebih dari sebuah negara.
Bagi Pram, Indonesia adalah orang-orang yang ada di dalamnya yang bergelut dengan perjuangannya untuk merdeka, dari apa pun itu. Pram lantas menggambarkan narasi tersebut lewat buku-bukunya, termasuk Tetralogi Pulau Buru.
Dalam empat buku tersebut, Pram menggambarkan keindonesiaan dengan begitu apik. Meski sebenarnya di dalam buku-buku itu tidak ada kata Indonesia. Kenapa tidak ada kata Indonesia, Max punya pandangannya sendiri
“Karena pada waktu itu, pada zaman Minke, semua orang itu tidak tahu atau menduga bahwa pada suatu hari akan ada yang namanya Indonesia. Idenya belum beredar, tetapi Pram dengan jenius menggambarkan proses itu sampai Indonesia muncul,” imbuhnya.
Meski dalam perjalanannya tidak semudah harapan, tetapi kisah Minke telah merentangkan narasi keindonesiaan yang baginya sangat berapi-api. Pram bahkan sampai menutupnya dengan sangat baik lewat kalimat penutup “Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,”
Bagi Max, ada semacam pesan terselubung yang coba disampaikan oleh sang penulis lewat kisah ini. Pesan itu ialah pentingnya intervensi terhadap proses-proses yang tengah berlangsung, dengan cara melawan, bisa menciptakan hal-hal baru yang sebelumnya dengan ada.
Meski ide Indonesia belum muncul pada saat itu, bukan berarti tidak ada. Lewat intervensi pada apa yang tengah berlangsung, proses membentuk Indonesia itu terjadi. Di era sekarang, itu pun masih relevan dalam bentuk baru.
Sementara itu, sejarawan Hilmar Farid mengatakan perayaan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar upaya mengenang. Lebih dari itu, momen ini merupakan upaya untuk menengok ke belakang dan menatap ke depan.
Bagi Hilmar, Pramoedya adalah suara yang tak terhapuskan dalam sejarah sastra dan pemikiran Indonesia. Dia tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga menantang narasi resmi dan mengangkat suara mereka yang dibungkam.
“Bumi Manusia bukan hanya novel, tetapi manifestasi perjuangan yang lebih besar, melawan kebodohan dan ketidakadilan dalam berbagai bentuk,” imbuhnya.
Hari ini, bagi Hilmar, apa yang dibicarakan Pram makin relevan. Sebab, hingga hari ini, wacana yang berkuasa yang berusaha membentuk ingatan kolektif berbeda masih terjadi.
“Relevansinya Pram saat ini makin kuat. Kita hidup di era sensor dan pembungkaman kritik, juga distorsi sejarah. Ini semua masih jadi tantangan,” jelasnya.
Menurut Hilmar, semua hal ini telah jauh-jauh hari diingatkan oleh Pram. Lewat tokoh Minke, lanjutnya, kita semestinya belajar bahwa kolonialisme tidak hanya berasal dari kekuasaan asing yang datang dari luar, tetapi juga bisa bercokol pada pola pikir dari dalam.
Baca juga: Profil Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan yang Tak Melempem Dibungkam Penjara
Editor: Puput Ady Sukarno
Pengarang sekaligus penerjemah buku-buku Pramoedya, Max Lane, mengatakan karya sastra Pramoedya Ananta Toer tidak hanya sarat akan nilai humanisme, tetapi juga penuh dengan sentuhan nasionalisme.
Membaca karya-karyanya, lanjutnya, seperti melacak jejak perjuangan dan kehidupan bangsa Indonesia. Narasi-narasinya tentang keindonesiaan yang diungkapkan olehnya, hingga kini masih terus bisa dibicarakan, didiskusikan, dan dihikmati.
Baca juga: Mengenal 4 Buku Pramoedya Ananta Toer yang Dicetak Ulang Edisi Khusus 100 Tahun
Bagi Max, momen-momen menerjemahkan buku Pramoedya punya sisi sentimental sendiri baginya. Bergulat dengan naskah-naskah Pram telah menuntunnya pada kepekaan baru untuk melihat bayangan keindonesiaan yang berbeda.
Menurut Max, saat proses penerjemahan, Pram termasuk sosok yang menolak diajak berdiskusi soal bukunya. Sebab, bagi Pram, penerjemah mestinya punya keleluasaan untuk mengartikan apa yang telah tertulis di buku tersebut, bukan apa yang diucapkannya.
Kalau sudah begini, Max pun hanya bisa mengiyakan. Kendati demikian, di luar itu, dirinya dan Pram kerap terlibat diskusi mendalam dalam hal lain, terutama soal filosofi hidup, politik, dan tentu saja keindonesiaan.
“Pengalaman menerjemahkan buku Pram punya dampak besar bagi saya, bahkan sampai sekarang. Itu sangat membantu saya bukan hanya mengerti Indonesia, tetapi juga proses sejarah yang terjadi di dalamnya. Pram adalah sejarawan yang luar biasa,” ungkap Max dalam acara Satu Abad Kelahiran Pramoedya di Taman Ismail Marzuki, Sabtu (8/2/2025).
Buku-buku-buku Pram kemudian tak hanya mencerahkan dirinya, tetapi banyak orang lain di dunia. Menurut Max, setelah buku Pram diterjemahkan pada medio 80-an, banyak orang luar mulai melihat Indonesia secara berbeda.
Kala itu, dekade 80-an, orang-orang Eropa banyak mengenal Indonesia hanya dari Presiden Soeharto dan militernya. Namun, lewat Pram, mereka melihat Indonesia sebagai manifestasi perjuangan jutaan rakyat yang ingin merdeka.
Gagasan tentang keindonesiaan ala Pram memang begitu menggugah hingga bisa terus relevan sampai saat ini. Max mengataan Indonesia bagi Pram lebih dari sebuah negara.
Bagi Pram, Indonesia adalah orang-orang yang ada di dalamnya yang bergelut dengan perjuangannya untuk merdeka, dari apa pun itu. Pram lantas menggambarkan narasi tersebut lewat buku-bukunya, termasuk Tetralogi Pulau Buru.
Dalam empat buku tersebut, Pram menggambarkan keindonesiaan dengan begitu apik. Meski sebenarnya di dalam buku-buku itu tidak ada kata Indonesia. Kenapa tidak ada kata Indonesia, Max punya pandangannya sendiri
“Karena pada waktu itu, pada zaman Minke, semua orang itu tidak tahu atau menduga bahwa pada suatu hari akan ada yang namanya Indonesia. Idenya belum beredar, tetapi Pram dengan jenius menggambarkan proses itu sampai Indonesia muncul,” imbuhnya.
Meski dalam perjalanannya tidak semudah harapan, tetapi kisah Minke telah merentangkan narasi keindonesiaan yang baginya sangat berapi-api. Pram bahkan sampai menutupnya dengan sangat baik lewat kalimat penutup “Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,”
Bagi Max, ada semacam pesan terselubung yang coba disampaikan oleh sang penulis lewat kisah ini. Pesan itu ialah pentingnya intervensi terhadap proses-proses yang tengah berlangsung, dengan cara melawan, bisa menciptakan hal-hal baru yang sebelumnya dengan ada.
Meski ide Indonesia belum muncul pada saat itu, bukan berarti tidak ada. Lewat intervensi pada apa yang tengah berlangsung, proses membentuk Indonesia itu terjadi. Di era sekarang, itu pun masih relevan dalam bentuk baru.
Sementara itu, sejarawan Hilmar Farid mengatakan perayaan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer bukan sekadar upaya mengenang. Lebih dari itu, momen ini merupakan upaya untuk menengok ke belakang dan menatap ke depan.
Bagi Hilmar, Pramoedya adalah suara yang tak terhapuskan dalam sejarah sastra dan pemikiran Indonesia. Dia tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga menantang narasi resmi dan mengangkat suara mereka yang dibungkam.
“Bumi Manusia bukan hanya novel, tetapi manifestasi perjuangan yang lebih besar, melawan kebodohan dan ketidakadilan dalam berbagai bentuk,” imbuhnya.
Hari ini, bagi Hilmar, apa yang dibicarakan Pram makin relevan. Sebab, hingga hari ini, wacana yang berkuasa yang berusaha membentuk ingatan kolektif berbeda masih terjadi.
“Relevansinya Pram saat ini makin kuat. Kita hidup di era sensor dan pembungkaman kritik, juga distorsi sejarah. Ini semua masih jadi tantangan,” jelasnya.
Menurut Hilmar, semua hal ini telah jauh-jauh hari diingatkan oleh Pram. Lewat tokoh Minke, lanjutnya, kita semestinya belajar bahwa kolonialisme tidak hanya berasal dari kekuasaan asing yang datang dari luar, tetapi juga bisa bercokol pada pola pikir dari dalam.
Baca juga: Profil Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan yang Tak Melempem Dibungkam Penjara
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.