Mengenal 4 Buku Pramoedya Ananta Toer yang Dicetak Ulang Edisi Khusus 100 Tahun
07 February 2025 |
17:40 WIB
Tepat pada 6 Februari 2025 lalu, Indonesia juga dunia merayakan 100 tahun kelahiran penulis Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan besar Indonesia ini selama hidupnya telah menghasilkan lebih dari 50 karya monumental, satu di antara yang paling terkenal adalah Tetralogi Pulau Buru.
Seperti namanya, Tetralogi Pulau Buru adalah nama untuk empat roman sejarah apik karya Pramoedya yang terbit dari medio 1980 hingga 1988. Karya-karya tersebut dibuat oleh Pram ketika dirinya mendekam di Pulau Buru.
Di tempat yang menjadi pengasingan dirinya inilah, Pram menulis karya sejarah yang akan selalu diingat generasi setelahnya. Karyanya ini merefleksi kembali keadaan pribumi Indonesia yang tertindas oleh kaum kolonial.
Baca juga: Rayakan Seabad Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Pulau Buru Bakal Dicetak Ulang
Tetralogi Pulau Buru merupakan novel yang mengambil latar belakang terbentuknya negara Indonesia pada abad ke-20. Isinya juga menceritakan bagaimana sejarah Nusantara di masa lampau.
Dalam menyambut perayaan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Buru diterbitkan ulang dengan edisi khusus. Sampul dari empat buku Tetralogi Pulau Buru dicetak dengan sampul yang lebih sederhana dan mengambil warna biru. Warna yang konon menjadi kesukaan Pram.
Edisi terbaru Tetralogi Pulau Buru diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Tentu rilisan spesial ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Sebelum mengoleksinya, yuk kenal lebih dekat dengan empat buku ini terlebih dahulu.
Bumi Manusia merupakan buku pertama dari empat seri novel Pramoedya Ananta Toer yang lebih dikenal dengan sebutan Tetralogi Buru. Dalam buku ini, Pram mengambil periode awal abad ke-19 dan abad ke-20 sebagai latar penceritaannya. Buku ini mengisahkan kisah hidup seorang pemuda Jawa keturunan ningrat bernama Minke.
Dalam novel ini, Pram bercerita tentang perjuangan Minke dalam melawan diskriminasi Belanda pada masa kolonial. Novel ini juga merupakan kritik sosial terhadap penjajahan dan penindasan. Lewat tokoh ini, Pram juga mencoba menggambarkan karakter seorang pemuda yang revolusioner dan kerap menentang ketidakadilan terhadap bangsanya kala itu.
Di luar soal itu, Di novel ini Pram juga menceritakan kisah romansa unik. Diceritakan Minke menjalin cinta dengan Annelies, putri Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh. Kedekatan keduanya membuatnya sering berinteraksi dengan keluarga maupun masyarakat belanda.
Namun, cinta tak membuat jiwa memberontaknya mereka. Dari sini, dia bahkan makin menyadari bahwa realitas kehidupan masyarakat saat itu sangat bersifat rasialis.
Anak Semua Bangsa adalah buku kelanjutan dari Bumi Manusia. Dalam buku ini, Minke telah tumbuh menjadi seorang pemuda yang terpelajar. Tulisan-tulisannya makin matang dan sering terbit di surat kabar besar. Akan tetapi, dia kerap kali mendapat kritik dari temannya yang menyatakan sebagai penulis salon.
Minke pun memutuskan berlibur ke desa. Dia bertemu dengan petani Kromodongso. Dari petani tersebut, dia mendapat cerita bahwa banyak petani yang tanahnya diambil alih oleh pengusaha gula. Mendengar hal itu, dia tersadar untuk menjadi pembela petani di desa.
Namun, tulisan-tulisannya kerap kali tidak terbit. Sebab, surat kabar kala itu banyak mendapat modal dari pengusaha gula. Tak kehabisan ide, Minke mencoba untuk membuat surat kabarnya sendiri.
Di buku ini, Minke melawan pemerintah kolonial dengan bentuk baru, yakni membentuk organisasi dan membangun pers. Kedua medium ini digunakannya sebagai alat untuk memobilisasi massa agar terlibat melawan kolonial. Pada masa ini, Minke juga melanjutkan sekolahnya di School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau sekolah pendidikan dokter pribumi.
Tulisannya yang banyak berkaitan dengan kritik pemerintah makin sering diterbitkan di koran. Dengan membawa massa untuk melakukan perlawanan, perlahan organisasi kerakyatan lahir di antaranya Boedi Oetomo, Petani Samin, Serikat Dagang Islam, dan masih banyak organisasi pribumi lainnya.
Hal itu kemudian membuat Minke ditangkap dan dibuang ke tempat pengasingan. Sebelum ditangkap, Minke telah mengantisipasi penangkapannya. Meski dia ditangkap, induk pers yang dibangunnya dan organisasi massa yang dibentuknya tetap berjalan.
Dalam penutup jilid ketiga ini, Pram menyisipkan pesan kuat, yakni "Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan".
Di novel edisi terakhir Tetralogi Buru, terdapat penambahan tokoh yang penting, yakni Jacques Pangemanann. Dia adalah anak bangsa berpendidikan Eropa asal Makassar yang bekerja sebagai polisi pada pemerintah kolonial. Sebagai polisi, kariernya terbilang melejit, terutama setelah berhasil menumpas gerombolan si pitung.
Dia naik jabatan dan mendapat tugas baru mengawasi gerakan nasional di Hindia Belanda, termasuk salah satunya adalah Minke. Pangemanann langsung meneliti tulisan-tulisan Minke dan tak butuh waktu lama dia merekomendasikan pimpinannya untuk segera dilakukan penangkapan.
Minke diasingkan ke Maluku. Organisasi Indische Partij dan Syrikat Islam yang berarak dari ide Minke pun dilumpuhkan. Perlahan kerja-kerja Minke makin dilucuti di berbagai sudutnya. Meski begitu, pengaruh Minke masih selalu membekas bagi pribumi.
Baca juga: Mengenang Pramoedya Ananta Toer di Mata Anak & Sejarawan Hilmar Farid
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Seperti namanya, Tetralogi Pulau Buru adalah nama untuk empat roman sejarah apik karya Pramoedya yang terbit dari medio 1980 hingga 1988. Karya-karya tersebut dibuat oleh Pram ketika dirinya mendekam di Pulau Buru.
Di tempat yang menjadi pengasingan dirinya inilah, Pram menulis karya sejarah yang akan selalu diingat generasi setelahnya. Karyanya ini merefleksi kembali keadaan pribumi Indonesia yang tertindas oleh kaum kolonial.
Baca juga: Rayakan Seabad Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Pulau Buru Bakal Dicetak Ulang
Tetralogi Pulau Buru merupakan novel yang mengambil latar belakang terbentuknya negara Indonesia pada abad ke-20. Isinya juga menceritakan bagaimana sejarah Nusantara di masa lampau.
Dalam menyambut perayaan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Buru diterbitkan ulang dengan edisi khusus. Sampul dari empat buku Tetralogi Pulau Buru dicetak dengan sampul yang lebih sederhana dan mengambil warna biru. Warna yang konon menjadi kesukaan Pram.
Edisi terbaru Tetralogi Pulau Buru diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Tentu rilisan spesial ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Sebelum mengoleksinya, yuk kenal lebih dekat dengan empat buku ini terlebih dahulu.
1. Bumi Manusia
Bumi Manusia merupakan buku pertama dari empat seri novel Pramoedya Ananta Toer yang lebih dikenal dengan sebutan Tetralogi Buru. Dalam buku ini, Pram mengambil periode awal abad ke-19 dan abad ke-20 sebagai latar penceritaannya. Buku ini mengisahkan kisah hidup seorang pemuda Jawa keturunan ningrat bernama Minke.Dalam novel ini, Pram bercerita tentang perjuangan Minke dalam melawan diskriminasi Belanda pada masa kolonial. Novel ini juga merupakan kritik sosial terhadap penjajahan dan penindasan. Lewat tokoh ini, Pram juga mencoba menggambarkan karakter seorang pemuda yang revolusioner dan kerap menentang ketidakadilan terhadap bangsanya kala itu.
Di luar soal itu, Di novel ini Pram juga menceritakan kisah romansa unik. Diceritakan Minke menjalin cinta dengan Annelies, putri Herman Mellema dan Nyai Ontosoroh. Kedekatan keduanya membuatnya sering berinteraksi dengan keluarga maupun masyarakat belanda.
Namun, cinta tak membuat jiwa memberontaknya mereka. Dari sini, dia bahkan makin menyadari bahwa realitas kehidupan masyarakat saat itu sangat bersifat rasialis.
2. Anak Semua Bangsa
Minke pun memutuskan berlibur ke desa. Dia bertemu dengan petani Kromodongso. Dari petani tersebut, dia mendapat cerita bahwa banyak petani yang tanahnya diambil alih oleh pengusaha gula. Mendengar hal itu, dia tersadar untuk menjadi pembela petani di desa.
Namun, tulisan-tulisannya kerap kali tidak terbit. Sebab, surat kabar kala itu banyak mendapat modal dari pengusaha gula. Tak kehabisan ide, Minke mencoba untuk membuat surat kabarnya sendiri.
3. Jejak Langkah
Tulisannya yang banyak berkaitan dengan kritik pemerintah makin sering diterbitkan di koran. Dengan membawa massa untuk melakukan perlawanan, perlahan organisasi kerakyatan lahir di antaranya Boedi Oetomo, Petani Samin, Serikat Dagang Islam, dan masih banyak organisasi pribumi lainnya.
Hal itu kemudian membuat Minke ditangkap dan dibuang ke tempat pengasingan. Sebelum ditangkap, Minke telah mengantisipasi penangkapannya. Meski dia ditangkap, induk pers yang dibangunnya dan organisasi massa yang dibentuknya tetap berjalan.
Dalam penutup jilid ketiga ini, Pram menyisipkan pesan kuat, yakni "Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan".
4. Rumah Kaca
Dia naik jabatan dan mendapat tugas baru mengawasi gerakan nasional di Hindia Belanda, termasuk salah satunya adalah Minke. Pangemanann langsung meneliti tulisan-tulisan Minke dan tak butuh waktu lama dia merekomendasikan pimpinannya untuk segera dilakukan penangkapan.
Minke diasingkan ke Maluku. Organisasi Indische Partij dan Syrikat Islam yang berarak dari ide Minke pun dilumpuhkan. Perlahan kerja-kerja Minke makin dilucuti di berbagai sudutnya. Meski begitu, pengaruh Minke masih selalu membekas bagi pribumi.
Baca juga: Mengenang Pramoedya Ananta Toer di Mata Anak & Sejarawan Hilmar Farid
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.