Profil Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan yang Tak Melempem Dibungkam Penjara
23 January 2025 |
19:00 WIB
Dalam khazanah sastra Indonesia, nama Pramoedya Ananta Toer bukanlah isapan jempol belaka. Sebab, karya-karyanya yang dilandaskan pada sejarah banyak memberi perspektif baru, terutama dalam memandang ke-Indonesiaan dari sudut pandang yang lain.
Tak lama lagi, penulis Tetralogi Pulau Buru, itu akan memperingati ulang tahunnya yang ke-100. Pram lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1949, dan meninggal pada 30 April 2006. Festival seabad Pram akan dihelat di Blora pada 6-8 Februari 2025.
Pramoedya Ananta Toer lahir sebagai putra sulung keluarga guru nasionalis bernama Mastoer Imam Badjoeri. Ayahnya adalah Institut Boedi Oetomo Blora (kini SMPN 5, Blora) yang keras dalam mendidik Pram. Bahkan, konon di sekolah tersebut Pram tidak naik kelas hingga 3 kali.
Baca Juga: Rayakan Seabad Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Pulau Buru Bakal Dicetak Ulang
Walakin, Pram juga sempat melanjutkan pendidikan di Radio Vakschool Surabaya, tetapi tidak sempat menerima ijazah kelulusan menyusul runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda dan masuknya pasukan Pendudukan Jepang pada medio 1940-an sebelum akhirnya Indonesia merdeka.
Pada Juni 1942, Pram memutuskan untuk merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai juru ketik Kantor Berita DOMEI, sambil meneruskan pendidikan menengahnya di Taman Madya. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Pramoedya bergabung dalam Resimen VI Divisi Siliwangi yang bertugas di wilayah Bekasi.
Pilihan Pramoedya mendukung kemerdekaan Indonesia ditebusnya dengan hukuman penjara di Bukit Duri, mulai 23 Juli 1947 hingga 18 Desember 1949. Di balik jeruji besi inilah, dua roman pertamanya, Perburuan dan Keluarga Gerilya, ditulis. Pada tahun 1950, Pramoedya diangkat sebagai redaktur sastra Indonesia modern di Balai Pustaka.
Untuk menghidupi periuk nasi, Pram juga bekerja sebagai pengarang penuh-waktu, penerjemah, dan kontributor lepas di berbagai surat kabar dan majalah. Momen inilah yang kemudian mengantarkan namanya pada berbagai capaian, termasuk mendapat beasiswa untuk residensi ke luar negeri.
Syahdan, pada 1953, Pram mendapat program Residensi di Belanda atas biaya Stichting voor Culturele Samenwerken (Sticusa). Tiga tahun kemudian dia juga mendapat undangan peringatan wafat Lu Hsun dari Republik Rakyat Tiongkok, serta mengetuai delegasi Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent pada 1957.
Pada bulan Agustus 1960, Pramoedya ditangkap dan dipenjara selama satu tahun tanpa peradilan karena menerbitkan buku Hoakiau di Indonesia. Buku ini dianggap subversif oleh penguasa saat itu karena menunjukkan pembelaan terhadap kedudukan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.
Sesudah dibebaskan, Pramoedya menerima tawaran menjadi redaktur rubrik kebudayaan surat kabar Bintang Timur serta mengajar mata kuliah Kesusastraan Indonesia dan Sejarah Indonesia Modern di Universitas Res Publica, Akademi Sedjarah Ranggawarsita, dan Akademi Sastra Multatuli.
Pada dekade yang sama, karya-karyanya dalam bentuk biografi, seperti Panggil Aku Kartini Sadja, dan cerita bersambung Larasati dan Gadis Pantai, polemik, esai bersambung, hingga makalah ilmiah juga terbit di rubrik kebudayaan “Lentera” yang diasuh Pramoedya bersama Siti Rukiah Kertapati.
Namun kemerdekaan Indonesia yang ikut dia songsong, justru mengantarnya kembali ke terungku. Pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S) Pram ditangkap pada 13 Oktober 1965. Dari sinilah Pram harus kembali mendekam di penjara, sebelum akhirnya diasingkan ke Pulau Buru.
Momen tersebut dimulai dari penjara Salemba, Tangerang, dan Nusa Kambanga. Pram dibuang ke Pulau Buru pada 16 Agustus 1969 dengan kapal “ADRI XV”. Di Gulag-nya Indonesia ini, dia harus ikut kerja paksa membuka hutan untuk dijadikan infrastruktur jalan di bawah ancaman bedil.
Pram baru bisa kembali menulis setelah mendapat izin dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soemitro. Dalam keterbatasan kertas, bahkan dia menuturkan cerita tersebut pada teman-temannya sesama tahanan sebelum tidur agar dapat diingat dan terus bergaung.
Naskah-naskah yang sudah selesai diketik kemudian digandakan dan disembunyikan sampai Pram menemukan celah menyelundupkannya keluar dari Buru. Ini juga tak lepas dari bantuan biarawan dan biarawati Katolik yang melakukan kunjungan secara berkala untuk memberikan pelayanan rohani dan konseling untuk para tapol.
Tidak hanya menuliskan roman, Pramoedya juga memanfaatkan izin menulis ini untuk berkirim surat kepada keluarganya, serta mencatat kematian tahanan politik dari 23 unit tahanan di Pulau Buru. Sebagian besar surat menyurat yang kena sensor, serta tak terkirim kemudian terkumpul dalam karya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Pramoedya menerima surat pernyataan tidak terlibat G30S pada 12 November 1979, dan kembali ke pelukan keluarga pada 21 Desember 1979. Namun, setelah bebas pun, Pram masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer.
Di tengah keterbatasan inilah dia merintis kembali kepengarangannya yang vakum dengan mendirikan penerbit Hasta Mitra bersama Hasjim Rachman dan Joesoef Isak, serta menerbitkan Bumi Manusia untuk pertama kali pada Agustus 1980.
Roman tersebut meledak di pasaran, bahkan cetak ulang lima kali dalam waktu kurang dari satu tahun. Namun, pada 29 April 1981, Kejagung RI mengeluarkan larangan terhadap Bumi Manusia dan sekuel Anak Semua Bangsa karena dianggap menyebarluaskan marxisme-leninisme.
Sebagian eksemplar kedua buku tersebut bahkan ditarik dari peredaran dan dihancurkan, sementara sebagian lain digandakan dan dijual secara sembunyi-sembunyi. Beruntung, keduanya sempat diterjemahkan ke bahasa Inggris, dan membawa nama Pram ke panggung kesusastraan dunia.
Syahdan pada 1995, Pram menerima Hadiah Ramon Magsaysay untuk Jurnalisme, Kesusastraan, dan Komunikasi Kreatif. Ihwal diberikannya penghargaan tersebut karena karya-karyanya banyak berkontribusi pada pencerahan masyarakat Indonesia tentang periode kebangkitan nasional.
Belenggu penjara, pembuangan, dan perampasan kebebasan memang tidak menghalangi kerja-kerja kreatif Pramoedya Ananta Toer. Selama hidupnya, Pram telah melahirkan lebih dari 50 buku yang diterjemahkan dalam 42 bahasa yang memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia dan dunia.
Pramoedya Ananta Toer tutup usia pada 30 April 2006 akibat komplikasi, dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Selama hidupnya Pram telah meninggalkan warisan karya yang monumental dan terus menginspirasi pembacanya, bahkan hingga hari ini.
Baca Juga: Festival Seabad Pramoedya Ananta Toer Siap Dihelat di Blora, Jawa Tengah
Editor: M. Taufikul Basari
Tak lama lagi, penulis Tetralogi Pulau Buru, itu akan memperingati ulang tahunnya yang ke-100. Pram lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1949, dan meninggal pada 30 April 2006. Festival seabad Pram akan dihelat di Blora pada 6-8 Februari 2025.
Pramoedya Ananta Toer lahir sebagai putra sulung keluarga guru nasionalis bernama Mastoer Imam Badjoeri. Ayahnya adalah Institut Boedi Oetomo Blora (kini SMPN 5, Blora) yang keras dalam mendidik Pram. Bahkan, konon di sekolah tersebut Pram tidak naik kelas hingga 3 kali.
Baca Juga: Rayakan Seabad Pramoedya Ananta Toer, Tetralogi Pulau Buru Bakal Dicetak Ulang
Walakin, Pram juga sempat melanjutkan pendidikan di Radio Vakschool Surabaya, tetapi tidak sempat menerima ijazah kelulusan menyusul runtuhnya kekuasaan Hindia Belanda dan masuknya pasukan Pendudukan Jepang pada medio 1940-an sebelum akhirnya Indonesia merdeka.
Pada Juni 1942, Pram memutuskan untuk merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai juru ketik Kantor Berita DOMEI, sambil meneruskan pendidikan menengahnya di Taman Madya. Sesudah Proklamasi Kemerdekaan, Pramoedya bergabung dalam Resimen VI Divisi Siliwangi yang bertugas di wilayah Bekasi.
Arsip potret sastrawan Pramoedya Ananta Toer pada 1960 (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Untuk menghidupi periuk nasi, Pram juga bekerja sebagai pengarang penuh-waktu, penerjemah, dan kontributor lepas di berbagai surat kabar dan majalah. Momen inilah yang kemudian mengantarkan namanya pada berbagai capaian, termasuk mendapat beasiswa untuk residensi ke luar negeri.
Syahdan, pada 1953, Pram mendapat program Residensi di Belanda atas biaya Stichting voor Culturele Samenwerken (Sticusa). Tiga tahun kemudian dia juga mendapat undangan peringatan wafat Lu Hsun dari Republik Rakyat Tiongkok, serta mengetuai delegasi Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia Afrika di Tashkent pada 1957.
Dipenjara Tanpa Peradilan
Pada bulan Agustus 1960, Pramoedya ditangkap dan dipenjara selama satu tahun tanpa peradilan karena menerbitkan buku Hoakiau di Indonesia. Buku ini dianggap subversif oleh penguasa saat itu karena menunjukkan pembelaan terhadap kedudukan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa.
Sesudah dibebaskan, Pramoedya menerima tawaran menjadi redaktur rubrik kebudayaan surat kabar Bintang Timur serta mengajar mata kuliah Kesusastraan Indonesia dan Sejarah Indonesia Modern di Universitas Res Publica, Akademi Sedjarah Ranggawarsita, dan Akademi Sastra Multatuli.
Pada dekade yang sama, karya-karyanya dalam bentuk biografi, seperti Panggil Aku Kartini Sadja, dan cerita bersambung Larasati dan Gadis Pantai, polemik, esai bersambung, hingga makalah ilmiah juga terbit di rubrik kebudayaan “Lentera” yang diasuh Pramoedya bersama Siti Rukiah Kertapati.
Namun kemerdekaan Indonesia yang ikut dia songsong, justru mengantarnya kembali ke terungku. Pasca Gerakan 30 September 1965 (G30S) Pram ditangkap pada 13 Oktober 1965. Dari sinilah Pram harus kembali mendekam di penjara, sebelum akhirnya diasingkan ke Pulau Buru.
Arsip foto mesin tik dan suasana kamar khusus Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Pram baru bisa kembali menulis setelah mendapat izin dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Jenderal Soemitro. Dalam keterbatasan kertas, bahkan dia menuturkan cerita tersebut pada teman-temannya sesama tahanan sebelum tidur agar dapat diingat dan terus bergaung.
Naskah-naskah yang sudah selesai diketik kemudian digandakan dan disembunyikan sampai Pram menemukan celah menyelundupkannya keluar dari Buru. Ini juga tak lepas dari bantuan biarawan dan biarawati Katolik yang melakukan kunjungan secara berkala untuk memberikan pelayanan rohani dan konseling untuk para tapol.
Tidak hanya menuliskan roman, Pramoedya juga memanfaatkan izin menulis ini untuk berkirim surat kepada keluarganya, serta mencatat kematian tahanan politik dari 23 unit tahanan di Pulau Buru. Sebagian besar surat menyurat yang kena sensor, serta tak terkirim kemudian terkumpul dalam karya Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.
Bebas dalam Pengawasan
Pramoedya menerima surat pernyataan tidak terlibat G30S pada 12 November 1979, dan kembali ke pelukan keluarga pada 21 Desember 1979. Namun, setelah bebas pun, Pram masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer.
Di tengah keterbatasan inilah dia merintis kembali kepengarangannya yang vakum dengan mendirikan penerbit Hasta Mitra bersama Hasjim Rachman dan Joesoef Isak, serta menerbitkan Bumi Manusia untuk pertama kali pada Agustus 1980.
Roman tersebut meledak di pasaran, bahkan cetak ulang lima kali dalam waktu kurang dari satu tahun. Namun, pada 29 April 1981, Kejagung RI mengeluarkan larangan terhadap Bumi Manusia dan sekuel Anak Semua Bangsa karena dianggap menyebarluaskan marxisme-leninisme.
Sebagian eksemplar kedua buku tersebut bahkan ditarik dari peredaran dan dihancurkan, sementara sebagian lain digandakan dan dijual secara sembunyi-sembunyi. Beruntung, keduanya sempat diterjemahkan ke bahasa Inggris, dan membawa nama Pram ke panggung kesusastraan dunia.
Arsip koran Pramoedya Ananta Toer saat menerima ucapan selamat ulang tahun ke-80 dari penyanyi senior Titiek Puspa. (Sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)
Belenggu penjara, pembuangan, dan perampasan kebebasan memang tidak menghalangi kerja-kerja kreatif Pramoedya Ananta Toer. Selama hidupnya, Pram telah melahirkan lebih dari 50 buku yang diterjemahkan dalam 42 bahasa yang memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia dan dunia.
Pramoedya Ananta Toer tutup usia pada 30 April 2006 akibat komplikasi, dan dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Selama hidupnya Pram telah meninggalkan warisan karya yang monumental dan terus menginspirasi pembacanya, bahkan hingga hari ini.
Baca Juga: Festival Seabad Pramoedya Ananta Toer Siap Dihelat di Blora, Jawa Tengah
Editor: M. Taufikul Basari
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.