Inul Protes Pajak Hiburan Bisa Mematikan Usaha Karaoke, Begini Peraturan UU yang Berlaku
15 January 2024 |
14:14 WIB
Sejumlah industri hiburan di dalam negeri berteriak protes atas kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Mereka menilai rentang tarif pajak yang dikenakan sangat memberatkan.
Dikutip dari UU No. 1 /2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) diatur tentang besaran pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang atau jasa tertentu.
Baca juga: Menparekraf Meredam Kekhawatiran Pelaku Usaha Terkait Kenaikan Pajak Hiburan
Pajak ini merupakan jenis yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota dan objek pajaknya adalah penjualan, penyerahan, dan konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi makanan atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian, serta hiburan.
Adapun subjek pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu dan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang melakukan penjualan, penyerahan, atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
Aturan itu menetapkan bahwa tarif PBJT paling tinggi adalah 10 persen. Namun, khusus untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa, memiliki tarif paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Sementara itu, besaran tarif PBJT sebagaimana yang terdapat dalam aturan tersebut ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Besaran tarif pajak yang diatur dalam beleid tersebut pun sontak mendapatkan tanggapan keras dari para pelaku usaha. Salah satunya adalah Ainur Rokhimah atau yang biasa dipanggil dengan Inul Daratista yang juga pemilik karaoke Inul Vizta.
Pengusaha yang juga sebagai pembina Asosiasi Pengusaha Rumah Bernyanyi Keluarga Indonesia (Aperki) itu menuliskan dalam akun Instagramnya bahwa rentang besaran pajak antara 40 persen – 75 persen tidak wajar. Tidak hanya itu, tarif tersebut juga dapat mematikan para pelaku usaha hiburan karaoke. ”40 persen–75 persen penghitungannya bagaimana,” tulisnya.
Dia mengungkapkan bahwa besaran pajak tersebut tidak mungkin dibebankan pelaku usaha kepada pelanggan lantaran konsumen sudah merasa keberatan saat tarif naik sebesar Rp10.000 saja. Dia setuju dengan langkah pemerintah memajukan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, kebijakan itu seharusnya tidak merugikan para pelaku usaha lainnya.
Menurutnya, para pelaku usaha berupaya sekuat tenaga untuk menghidupkan bisnisnya lantaran memiliki karyawan yang bergantung terhadap perusahaan. Saat ini, Inul menuturkan bahwa karyawan yang bekerja di Inul Vizta sudah turun menjadi 5.000 orang.
Padahal, sebelum pandemi Covid-19 melanda, jumlah karyawan Inul Vizta sudah mencapai 9.000 orang. Dia mengingatkan bahwa penyedia jasa hiburan karoke di dalam negeri secara keseluruhan memiliki ribuan tenaga kerja.
Dengan begitu, ribuan pengangguran dapat tercipta jika para pelaku usaha jasa hiburan karaoke di Indonesia harus tutup akibat kebijakan yang merugikan. Tidak hanya itu, sejumlah pihak lain juga akan mengalami kerugian ketika usaha hiburan ini banyak yang terpaksa harus ditutup.
”Nasib pencipta dan artis banyak juga yang terdampak karena enggak ada pemasukan dari bisnis hiburan ini. Makin parah jadinya,” ujarnya.
Baca juga: Pajak Royalti Penulis dan Pekerja Seni Dipotong, Apa Keuntungannya?
Dia menilai bahwa tarif pajak hiburan yang wajar adalah 20 persen karena masih dapat membuat pengusaha karaoke 'bernapas'. Inul menginginkan pemerintah memikirkan beban biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha, seperti pembayaran royalti, perawatan, sewa tempat, dan sebagainya.
Editor: Fajar Sidik
Dikutip dari UU No. 1 /2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) diatur tentang besaran pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang atau jasa tertentu.
Baca juga: Menparekraf Meredam Kekhawatiran Pelaku Usaha Terkait Kenaikan Pajak Hiburan
Pajak ini merupakan jenis yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota dan objek pajaknya adalah penjualan, penyerahan, dan konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi makanan atau minuman, tenaga listrik, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian, serta hiburan.
Adapun subjek pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu dan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang melakukan penjualan, penyerahan, atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
Aturan itu menetapkan bahwa tarif PBJT paling tinggi adalah 10 persen. Namun, khusus untuk jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa, memiliki tarif paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen.
Sementara itu, besaran tarif PBJT sebagaimana yang terdapat dalam aturan tersebut ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Salinan UU No.1/2022 (Kemenkeu)
Besaran tarif pajak yang diatur dalam beleid tersebut pun sontak mendapatkan tanggapan keras dari para pelaku usaha. Salah satunya adalah Ainur Rokhimah atau yang biasa dipanggil dengan Inul Daratista yang juga pemilik karaoke Inul Vizta.
Pengusaha yang juga sebagai pembina Asosiasi Pengusaha Rumah Bernyanyi Keluarga Indonesia (Aperki) itu menuliskan dalam akun Instagramnya bahwa rentang besaran pajak antara 40 persen – 75 persen tidak wajar. Tidak hanya itu, tarif tersebut juga dapat mematikan para pelaku usaha hiburan karaoke. ”40 persen–75 persen penghitungannya bagaimana,” tulisnya.
Dia mengungkapkan bahwa besaran pajak tersebut tidak mungkin dibebankan pelaku usaha kepada pelanggan lantaran konsumen sudah merasa keberatan saat tarif naik sebesar Rp10.000 saja. Dia setuju dengan langkah pemerintah memajukan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, kebijakan itu seharusnya tidak merugikan para pelaku usaha lainnya.
Menurutnya, para pelaku usaha berupaya sekuat tenaga untuk menghidupkan bisnisnya lantaran memiliki karyawan yang bergantung terhadap perusahaan. Saat ini, Inul menuturkan bahwa karyawan yang bekerja di Inul Vizta sudah turun menjadi 5.000 orang.
Padahal, sebelum pandemi Covid-19 melanda, jumlah karyawan Inul Vizta sudah mencapai 9.000 orang. Dia mengingatkan bahwa penyedia jasa hiburan karoke di dalam negeri secara keseluruhan memiliki ribuan tenaga kerja.
Kutipan Pasal 58 UU No.1/2022. (Dok. Kemenkeu)
Dengan begitu, ribuan pengangguran dapat tercipta jika para pelaku usaha jasa hiburan karaoke di Indonesia harus tutup akibat kebijakan yang merugikan. Tidak hanya itu, sejumlah pihak lain juga akan mengalami kerugian ketika usaha hiburan ini banyak yang terpaksa harus ditutup.
”Nasib pencipta dan artis banyak juga yang terdampak karena enggak ada pemasukan dari bisnis hiburan ini. Makin parah jadinya,” ujarnya.
Baca juga: Pajak Royalti Penulis dan Pekerja Seni Dipotong, Apa Keuntungannya?
Dia menilai bahwa tarif pajak hiburan yang wajar adalah 20 persen karena masih dapat membuat pengusaha karaoke 'bernapas'. Inul menginginkan pemerintah memikirkan beban biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha, seperti pembayaran royalti, perawatan, sewa tempat, dan sebagainya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.