Mengenal Konsep Noctourism, yang Diprediksi Jadi Tren Pelancong 2025
01 January 2025 |
06:00 WIB
Noctourism yang kini tengah populer dalam industri perjalanan dan pariwisata disebut akan makin digemari para pelancong mulai tahun depan. Istilah ini didefinisikan sebagai kegiatan pariwisata malam hari, yang menekankan pada pengalaman unik yang terjadi setelah matahari terbenam.
Istilah ini diambil dari dua kata yakni nocturnal dan tourism. Nocturnal merujuk pada pola aktiifitas yang umum dilakukan pada malam hari. Sementara tourism artinya pariwisata itu sendiri. Model perjalanannya memungkinkan para pelancong untuk menjelajahi destinasi dengan sudut pandang yang berbeda.
Dilansir dari CNBC, noctourism bukan hanya tentang aktivitas menghindari keramaian di siang hari. Sebaliknya, kegiatan ini menawarkan kesempatan untuk berinteraksi dengan alam dan lingkungan perkotaan dengan cara yang sering terabaikan pada siang hari.
Baca juga: 5 Alasan Sport Tourism Jadi Tren Terbaru Industri Wisata
Konsep nokturnal atau perjalanan malam hari telah didorong oleh beberapa faktor. Pertama, perubahan iklim telah mendorong banyak wisatawan untuk mencari destinasi yang lebih sejuk, karena mereka semakin sadar akan dampak pemanasan global terhadap liburan umum seperti di pantai.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Booking.com mengungkapkan bahwa 69 persen wisatawan lebih memilih destinasi dengan cuaca yang lebih sejuk. Sementara 72 persen menyatakan ketertarikannya pada akomodasi dengan polusi cahaya yang minim untuk meningkatkan pengalaman melihat bintang.
Rebecca Douglas, seorang pelancong dan fotografer, dalam publikasi yang sama mencontohkan gerakan noctourism yang dilakukannya. Dia mengunjungi Islandia beberapa kali untuk memotret Aurora Borealis, mewakili segmen wisatawan yang memprioritaskan aktivitas pada malam hari.
Rebecca dengan cermat merencanakan perjalanannya di sekitar kondisi optimal untuk melihat Northern Lights (Cahaya Utara). Dia sering kali mencari lokasi terpencil yang meminimalkan gangguan cahaya dari daerah perkotaan. Dedikasinya menyoroti bagaimana pola pariwisata noctourism dapat melayani mereka yang menghargai keindahan langit malam dan ketenangan yang ditawarkannya saat matahari sudah terbenam.
Survei Booking.com terhadap lebih dari 27.000 wisatawan menemukan bahwa hampir dua per tiga dari mereka mempertimbangkan kunjungan ke “destinasi langit yang lebih gelap” untuk aktivitas seperti mengamati bintang (72 persen), menyaksikan peristiwa kosmik yang langka (59 persen), dan melacak rasi bintang (57 persen).
Media fesyen dan gaya hidup Vogue turut menyoroti perihal ini dan merangkum beberapa aktivitas lain yang masuk dalam kategori noctourism. Misalnya melakukan teropong bintang di Cagar Alam NamibRand di Afrika Selatan, menghadiri festival Tarian Naga Api Tai Hang di Hong Kong, bermalam di base camp gunung Everest, berburu kuliner truffle pada malam hari di Piedmont, Italia, hingga menyaksikan pertunjukan penguin malam hari di Melbourne, Australia.
Agen perjalanan mewah Wayfairer Travel mencatat peningkatan 25 persen dalam pengalaman perjalanan malam hari selama setahun terakhir, dengan meningkatnya minat terhadap aktivitas seperti menyelam malam di Great Barrier Reef Australia dan safari margasatwa malam hari di Afrika.
Seiring dengan meningkatnya popularitas noctourism, hal ini mengubah cara wisatawan berinteraksi dengan lingkungan mereka. Jay Stevens, CEO Wayfairer Travel menyatakan bahwa noctourism akan untuk merevolusi perjalanan pada 2025.
Seiring dengan semakin banyaknya wisatawan yang mencari interaksi lewat petualangan yang dipersonalisasi, mereka mulai beralih dari model liburan penuh ingar bingar ke model perjalanan tradisional.
Keinginan untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda di antara para pelancong ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan keberlanjutan dan dampak lingkungan utamanya polusi dan kebisingan yang sering kali tercipta akibat aktivitas pariwisata pada siang hari.
Baca juga: Intip Tren dan Minat Wisatawan Indonesia Tahun 2025 Hasil Riset Terbaru
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Istilah ini diambil dari dua kata yakni nocturnal dan tourism. Nocturnal merujuk pada pola aktiifitas yang umum dilakukan pada malam hari. Sementara tourism artinya pariwisata itu sendiri. Model perjalanannya memungkinkan para pelancong untuk menjelajahi destinasi dengan sudut pandang yang berbeda.
Dilansir dari CNBC, noctourism bukan hanya tentang aktivitas menghindari keramaian di siang hari. Sebaliknya, kegiatan ini menawarkan kesempatan untuk berinteraksi dengan alam dan lingkungan perkotaan dengan cara yang sering terabaikan pada siang hari.
Baca juga: 5 Alasan Sport Tourism Jadi Tren Terbaru Industri Wisata
Konsep nokturnal atau perjalanan malam hari telah didorong oleh beberapa faktor. Pertama, perubahan iklim telah mendorong banyak wisatawan untuk mencari destinasi yang lebih sejuk, karena mereka semakin sadar akan dampak pemanasan global terhadap liburan umum seperti di pantai.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Booking.com mengungkapkan bahwa 69 persen wisatawan lebih memilih destinasi dengan cuaca yang lebih sejuk. Sementara 72 persen menyatakan ketertarikannya pada akomodasi dengan polusi cahaya yang minim untuk meningkatkan pengalaman melihat bintang.
Rebecca Douglas, seorang pelancong dan fotografer, dalam publikasi yang sama mencontohkan gerakan noctourism yang dilakukannya. Dia mengunjungi Islandia beberapa kali untuk memotret Aurora Borealis, mewakili segmen wisatawan yang memprioritaskan aktivitas pada malam hari.
Rebecca dengan cermat merencanakan perjalanannya di sekitar kondisi optimal untuk melihat Northern Lights (Cahaya Utara). Dia sering kali mencari lokasi terpencil yang meminimalkan gangguan cahaya dari daerah perkotaan. Dedikasinya menyoroti bagaimana pola pariwisata noctourism dapat melayani mereka yang menghargai keindahan langit malam dan ketenangan yang ditawarkannya saat matahari sudah terbenam.
Survei Booking.com terhadap lebih dari 27.000 wisatawan menemukan bahwa hampir dua per tiga dari mereka mempertimbangkan kunjungan ke “destinasi langit yang lebih gelap” untuk aktivitas seperti mengamati bintang (72 persen), menyaksikan peristiwa kosmik yang langka (59 persen), dan melacak rasi bintang (57 persen).
Media fesyen dan gaya hidup Vogue turut menyoroti perihal ini dan merangkum beberapa aktivitas lain yang masuk dalam kategori noctourism. Misalnya melakukan teropong bintang di Cagar Alam NamibRand di Afrika Selatan, menghadiri festival Tarian Naga Api Tai Hang di Hong Kong, bermalam di base camp gunung Everest, berburu kuliner truffle pada malam hari di Piedmont, Italia, hingga menyaksikan pertunjukan penguin malam hari di Melbourne, Australia.
Agen perjalanan mewah Wayfairer Travel mencatat peningkatan 25 persen dalam pengalaman perjalanan malam hari selama setahun terakhir, dengan meningkatnya minat terhadap aktivitas seperti menyelam malam di Great Barrier Reef Australia dan safari margasatwa malam hari di Afrika.
Seiring dengan meningkatnya popularitas noctourism, hal ini mengubah cara wisatawan berinteraksi dengan lingkungan mereka. Jay Stevens, CEO Wayfairer Travel menyatakan bahwa noctourism akan untuk merevolusi perjalanan pada 2025.
Seiring dengan semakin banyaknya wisatawan yang mencari interaksi lewat petualangan yang dipersonalisasi, mereka mulai beralih dari model liburan penuh ingar bingar ke model perjalanan tradisional.
Keinginan untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda di antara para pelancong ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran akan keberlanjutan dan dampak lingkungan utamanya polusi dan kebisingan yang sering kali tercipta akibat aktivitas pariwisata pada siang hari.
Baca juga: Intip Tren dan Minat Wisatawan Indonesia Tahun 2025 Hasil Riset Terbaru
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Syaiful Millah
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.