77,6 Persen Daratan Bumi Alami Kekeringan Permanen Dalam 30 Tahun Terakhir
10 December 2024 |
07:36 WIB
Ancaman perubahan iklim semakin nyata. Dalam laporan terbaru Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), tiga perempat atau 77,6 persen daratan Bumi terpantau mengering permanen dalam tiga dekade terakhir dan bakal menjadi bencana bagi kehidupan manusia.
Dalam pertemuan puncak PBB membahas iklim di Riyadh, Arab Saudi, disampaikan bahwa lahan kering meluas dari India hingga 40,6 persen daratan di Bumi. Tanah yang dulunya subur berubah menjadi gurun karena suhu yang lebih panas akibat perubahan iklim yang disebabkan kegiatan manusia, erosi, dan penggundulan hutan.
“Iklim yang lebih kering kini memengaruhi banyak wilayah di seluruh dunia, tidak akan kembali seperti sebelumnya dan perubahan ini mendefinisikan ulang kehidupan di Bumi," kata Ibrahim Thiaw, Sekretaris Eksekutif United Nation Convention to Combat Desertification (UNCCD), dikutip dari Live Science, Senin (9/12/2024).
Baca juga: Waspada Kekeringan, 34 Daerah di Indonesia Masuk Peringatan Dini BMKG
Dalam konvensi yang dimulai pekan lalu dan akan berakhir pada Jumat, (13/12/2024), negara-negara membahas bagaimana mereka dapat membantu dunia mengatasi kekeringan dan masalah degradasi lahan. Jika tren pemanasan global terus berlanjut, PBB memperingatkan bahwa lima miliar penduduk bumi bakal terkena dampak kekeringan pada akhir abad ini, naik dari seperempat populasi dunia saat ini.
Kekeringan bahkan bisa merambah ke wilayah Eropa, Amerika Serikat, Asia Timur, dan Afrika Tengah. “Untuk pertama kalinya, krisis kekeringan telah didokumentasikan dengan kejelasan ilmiah, yang mengungkap ancaman eksistensial yang memengaruhi miliaran orang di seluruh dunia," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Ilmuwan UNCCD Barron Orr, memperingatkan bahwa lahan yang kering dan perubahan iklim yang terus berlanjut dapat menyebabkan dampak dahsyat dan bencana terhadap manusia. “Tanpa upaya bersama, miliaran orang akan menghadapi masa depan yang ditandai oleh kelaparan, pengungsian, dan kemerosotan ekonomi,” tambahnya.
Sergio Vicente-Serrano, salah satu penulis utama laporan tersebut seperti dikutip dari The Hindu, mengatakan bahwa saat atmosfer memanas akibat pembakaran batu bara, minyak, dan gas yang menghasilkan emisi, kemudian membuat Bumi semakin hangat.
Alhasil, penguapan di tanah semakin meluas. Hal ini membuat ketersediaan air menipis untuk manusia, tanaman, dan hewan. Akan sulit bertahan hidup dengan kondisi tersebut.
Dalam penelitian ini, para penulis di balik laporan menggunakan model iklim tingkat lanjut, metodologi standar, dan tinjauan mendalam terhadap literatur dan data yang ada untuk memperoleh gambaran jelas tentang tren pengeringan yang semakin meningkat. Ditemukan bahwa kekeringan kini memengaruhi 40 persen lahan pertanian dunia dan 2,3 miliar orang.
Lahan pertanian yang kering menjadi kurang produktif dan mengganggu hasil panen, serta ketersediaan makanan untuk ternak. Dampak buruknya, akses terhadap pangan semakin sulit untuk masyarakat.
Kekeringan juga menyebabkan kebakaran hutan yang semakin parah, gagal panen, dan memicu migrasi massal. Daerah yang paling terdampak adalah hampir seluruh Eropa, Amerika Serikat bagian barat, Brasil, Asia timur, dan Afrika tengah.
Namun, penulis laporan mengatakan bahwa jika ada aksi yang diambil, masa depan tidak terlihat begitu suram. Untuk mengatasi krisis ini, selain mengurangi emisi karbon secara drastis, penting bagi setiap negara meningkatkan pemantauan kekeringan, penggunaan lahan dan air yang lebih baik, dan pengembangan ketahanan serta kerja sama antar masyarakat di seluruh dunia.
“Dengan merangkul solusi inovatif dan membina solidaritas global, umat manusia dapat bangkit untuk menghadapi tantangan ini. Pertanyaannya bukan apakah kita memiliki alat untuk merespons, tetapi apakah kita memiliki kemauan untuk bertindak,” tutur Barron Orr.
Jes Weigelt dari lembaga pemikir iklim Eropa, mengatakan sejauh ini negara-negara dalam konvensi PBB tentang iklim belum sepakat, khususnya mengenai apakah negara-negara kaya harus mengeluarkan dana untuk tanggap kekeringan di seluruh dunia.
Adapun semua uang yang dijanjikan nantinya akan digunakan untuk sistem peramalan dan pemantauan yang lebih baik, serta pembuatan waduk dan bangunan lain yang dapat menyediakan akses air bahkan selama musim kemarau panjang.
Baca juga: Survei: Polusi Udara, Krisis Air Bersih, dan Sampah Jadi Masalah Lingkungan Utama di Perkotaan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Dalam pertemuan puncak PBB membahas iklim di Riyadh, Arab Saudi, disampaikan bahwa lahan kering meluas dari India hingga 40,6 persen daratan di Bumi. Tanah yang dulunya subur berubah menjadi gurun karena suhu yang lebih panas akibat perubahan iklim yang disebabkan kegiatan manusia, erosi, dan penggundulan hutan.
“Iklim yang lebih kering kini memengaruhi banyak wilayah di seluruh dunia, tidak akan kembali seperti sebelumnya dan perubahan ini mendefinisikan ulang kehidupan di Bumi," kata Ibrahim Thiaw, Sekretaris Eksekutif United Nation Convention to Combat Desertification (UNCCD), dikutip dari Live Science, Senin (9/12/2024).
Baca juga: Waspada Kekeringan, 34 Daerah di Indonesia Masuk Peringatan Dini BMKG
Dalam konvensi yang dimulai pekan lalu dan akan berakhir pada Jumat, (13/12/2024), negara-negara membahas bagaimana mereka dapat membantu dunia mengatasi kekeringan dan masalah degradasi lahan. Jika tren pemanasan global terus berlanjut, PBB memperingatkan bahwa lima miliar penduduk bumi bakal terkena dampak kekeringan pada akhir abad ini, naik dari seperempat populasi dunia saat ini.
Kekeringan bahkan bisa merambah ke wilayah Eropa, Amerika Serikat, Asia Timur, dan Afrika Tengah. “Untuk pertama kalinya, krisis kekeringan telah didokumentasikan dengan kejelasan ilmiah, yang mengungkap ancaman eksistensial yang memengaruhi miliaran orang di seluruh dunia," tegasnya.
Sementara itu, Kepala Ilmuwan UNCCD Barron Orr, memperingatkan bahwa lahan yang kering dan perubahan iklim yang terus berlanjut dapat menyebabkan dampak dahsyat dan bencana terhadap manusia. “Tanpa upaya bersama, miliaran orang akan menghadapi masa depan yang ditandai oleh kelaparan, pengungsian, dan kemerosotan ekonomi,” tambahnya.
Sergio Vicente-Serrano, salah satu penulis utama laporan tersebut seperti dikutip dari The Hindu, mengatakan bahwa saat atmosfer memanas akibat pembakaran batu bara, minyak, dan gas yang menghasilkan emisi, kemudian membuat Bumi semakin hangat.
Alhasil, penguapan di tanah semakin meluas. Hal ini membuat ketersediaan air menipis untuk manusia, tanaman, dan hewan. Akan sulit bertahan hidup dengan kondisi tersebut.
Dalam penelitian ini, para penulis di balik laporan menggunakan model iklim tingkat lanjut, metodologi standar, dan tinjauan mendalam terhadap literatur dan data yang ada untuk memperoleh gambaran jelas tentang tren pengeringan yang semakin meningkat. Ditemukan bahwa kekeringan kini memengaruhi 40 persen lahan pertanian dunia dan 2,3 miliar orang.
Lahan pertanian yang kering menjadi kurang produktif dan mengganggu hasil panen, serta ketersediaan makanan untuk ternak. Dampak buruknya, akses terhadap pangan semakin sulit untuk masyarakat.
Kekeringan juga menyebabkan kebakaran hutan yang semakin parah, gagal panen, dan memicu migrasi massal. Daerah yang paling terdampak adalah hampir seluruh Eropa, Amerika Serikat bagian barat, Brasil, Asia timur, dan Afrika tengah.
Namun, penulis laporan mengatakan bahwa jika ada aksi yang diambil, masa depan tidak terlihat begitu suram. Untuk mengatasi krisis ini, selain mengurangi emisi karbon secara drastis, penting bagi setiap negara meningkatkan pemantauan kekeringan, penggunaan lahan dan air yang lebih baik, dan pengembangan ketahanan serta kerja sama antar masyarakat di seluruh dunia.
“Dengan merangkul solusi inovatif dan membina solidaritas global, umat manusia dapat bangkit untuk menghadapi tantangan ini. Pertanyaannya bukan apakah kita memiliki alat untuk merespons, tetapi apakah kita memiliki kemauan untuk bertindak,” tutur Barron Orr.
Jes Weigelt dari lembaga pemikir iklim Eropa, mengatakan sejauh ini negara-negara dalam konvensi PBB tentang iklim belum sepakat, khususnya mengenai apakah negara-negara kaya harus mengeluarkan dana untuk tanggap kekeringan di seluruh dunia.
Adapun semua uang yang dijanjikan nantinya akan digunakan untuk sistem peramalan dan pemantauan yang lebih baik, serta pembuatan waduk dan bangunan lain yang dapat menyediakan akses air bahkan selama musim kemarau panjang.
Baca juga: Survei: Polusi Udara, Krisis Air Bersih, dan Sampah Jadi Masalah Lingkungan Utama di Perkotaan
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.