Seniman Inanike Agusta berpose di depan karya bertajuk bound for the infinite di D'Gallerie Jakarta (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)

Refleksi Visual Inanike Agusta dalam Pameran Wings of Time di D'Gallerie Jakarta

09 December 2024   |   20:52 WIB
Image
Prasetyo Agung Ginanjar Jurnalis Hypeabis.id

Bagi Inanike Agusta, melukis bisa jadi adalah satu kegiatan untuk mengenali diri sendiri. Sebab, selain menjadi teraupetik, kegiatan yang dilakukannya sejak satu dekade terakhir itu juga mengantarkannya untuk menjadi seniman profesional.

Berprofesi sebagai pramugari, tak menyurutkan langkah perupa asal Salatiga, Jawa Tengah itu untuk tetap melukis. Di tengah padatnya jadwal penerbangan, dia menyempatkan mengambil jeda saat mengunjungi berbagai negara di dunia untuk sejenak melukis.

Baca juga: Provokasi Visual Justian Jafin dalam Pameran Bara Beku Tetes Tandus di Nadi Gallery

Saat tugas ke Sydney, Australia, misalnya, Ina panggilan akrab Inanike Agusta, melukis Sydney Harbour Bridge. Begitu pula saat terbang sebagai kru kabin ke Jepang dan Italia, sang seniman juga mengambil jeda untuk melukis kuil Sensoji, dan kanal-kanal di Venice.

Arkian, setelah puluhan karya terkumpul, Ina  memamerkan senarai karyanya tersebut dalam pameran tunggal bertajuk Wings of Time, di D'Gallerie, Jakarta, pada 24 November-14 Desember 2024. Total, terdapat 56 karya yang diboyong  selama sewindu terakhir.

Salah satu kreasi yang menarik dalam pameran ini adalah instalasi berjudul Bound for the Infinite (mix media, variable dimension, 2024). Menggunakan metafora koper bersayap, Ina seolah sedang membebaskan dirinya untuk tidak tunduk pada keterbatasan waktu, meski profesi pramugari mengikatnya.

"Itu koper pertamaku yang sudah rusak lalu dijadikan karya. Di kedua sisinya juga dikasih sayap untuk mendramatisir bahwa aku berprofesi sebagai pramugari, atau kru kabin pesawat," katanya saat ditemui Hypeabis.id.


 

Sepilihan karya Inanike Agusta yang menggambarkan impresi dari atas ketinggian udara (s

Sepilihan karya Inanike Agusta yang menggambarkan citraan lanskap alam (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)


Pengalaman melintasi berbagai negara dan melihat belahan bumi dari ketinggian juga memberi impresi lain baginya. Dari sudut pandangnya di jendela pesawat, Ina mendapatkan perspektif lain tentang dunia lewat perspektif bird's eye, yang kemudian diterjemahkan ke lukisan-lukisannya.

Alhasil karya-karya Ina banyak yang memvisualisasikan tema seperti cityscape, landscape, maupun kesan visual laiknya peta. Misalnya dalam karya Love Street Paris (2017), The Time of London (2017), The Battle of Dreams and Truth (2024), Spread My Wings (2024), dan Dreamy Land of Padar Island (2024).

Akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Sudjud Dartanto, dalam kuratorial menyampaikan, lukisan-lukisan Ina masuk dalam kategori gaya impresionisme atau pasca-impresionisme. Ini dapat dilihat dari teknik sapuan kuas yang spontan, lewat palet yang cerah dan beragam.

Lukisan Dancing on the Clouds (oil and mix media on canvas, 110X100cm, 2024) misalnya, yang memberi kesan ketenangan lewat warna-warna pastel. Lewat karya ini, Ina seperti menggambarkan sensasi berada di ketinggian udara. Sementara, daratan dan laut berserak di bawah kaki dengan tabir awan gemawan.


Pelukis Otodidak

Kepiawaian melukis Ina tidak didapat dari bangku akademik. Dia adalah pelukis otodidak. Bakat melukisnya, diturunkan dari sang ayah, Agus Widodo, pelukis yang pernah bekerja sebagai desainer untuk perancang busana kenamaan di Jakarta.

Ayahnya pernah menempuh studi seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Rupa ASRI, yang menjadi cikal-bakal (ISI) Yogyakarta. Momen berinteraksi dengan, dan kakak lelakinya yang juga melukis, kelak memantiknya untuk menjadi perupa, meski dia tidak diizinkan menempuh pendidikan seni.

Syahdan, setelah bekerja sebagai pramugari di maskapai Garuda sejak 2010, Ina membangkitkan kembali mimpinya. Perlahan dia menyisihkan uang untuk membeli cat dan kanvas. Pameran bersama pertamanya dihelat di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada 2015.

Dalam perjalanan melukisnya, Ina juga mengeksplorasi berbagai medium, mulai dari akrilik hingga cat minyak. Namun, beberapa waktu terakhir dia menambahkan media campuran seperti pelat, tali tambang, dan bebatuan di atas kanvas, yang menjadi babak baru artistiknya.

Penggunaan media tersebut tak ayal memberi nuansa berbeda. Ada tekstur dan gradasi dari lepaan cat tebal, atau pelat yang ditekuk. Ina juga menggunakan berbagai jenis garis, termasuk garis lurus, lengkung, dan diagonal, untuk menciptakan komposisi yang dinamis.
 

.

Pengunjung menikmati sepilihan karya Inanike Agusta dalam pameran Wings of Time di D'Gallerie Jakarta. (sumber gambar: Hypeabis.id/Prasetyo Agung Ginanjar)


Sudjud melihat, lewat seteleng ini publik diajak untuk melihat kehidupan dari  mata seorang pelancong dan pengamat yang tajam terhadap detail-detail halus. Menurutnya, senarai karya yang dihadirkan Ina menawarkan interpretasi visual yang didasarkan pada simbolisme dan emosi.

Walakin, tidak semua karyanya bersandar pada tegangan estetika tersebut. Persinggungannya dengan berbagai praktik budaya mengilhami sang seniman dengan kekayaan yang bahasa rupa. Ina melukiskan tentang sifat manusia, dinamika sosial, dan nuansa-nuansa kehidupan di negara lain.

"Karya-karya Inanike Agusta sarat dengan simbol, garis, dan warna yang bermakna. Ia dengan cermat memanfaatkan elemen-elemen visual ini untuk mengekspresikan emosi, ide, dan pengalamannya," katanya.

Baca juga: Menyelisik Makna Wirid Visual Butet Kartaredjasa dalam Pameran Melik Nggendong Lali

Lukisan Ina tak hanya diletakkan dalam kanvas persegi, tetapi juga bingkai segi enam, dan lingkaran. Kedua panel akhir itu seperti menyimbolkan ketegasan dan siklus hidup yang terus berubah. Di antara kanvas hexagonal, dia juga melukis sosok-sosok yang menginspirasi, seperti Van Gogh, Frida Kahlo, hingga Édouard Manet.

"Dalam lukisan ini aku ingin mengungkai kisah hidup para seniman. Jadi semacam fantasi untuk membentuk cerita mereka meski dalam kenyataan para seniman itu tidak mengalami hal tersebut," katanya.

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Film Hutang Nyawa Angkat Cerita Tumbal & Teror Pabrik Tua

BERIKUTNYA

Affordating Jadi Tren Baru Kencan Milenial & Gen Z, Apa Itu?

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: