Kolintang Resmi jadi Warisan Budaya Takbenda ke-16 yang Diakui UNESCO
06 December 2024 |
19:44 WIB
Kolintang, alat musik tradisional khas Minahasa, Sulawesi Utara, secara resmi diakui sebagai bagian dari Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity oleh UNESCO. Kabar baik ini diumumkan dalam sidang ke-19 the Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage di Paraguay, 5 Desember 2024.
Asal usul nama Kolintang terinspirasi dari nada yang dikeluarkan, seperti “Tong” untuk nada rendah, “Ting” untuk nada tinggi, dan “Tang” untuk nada tengah, serta menggunakan istilah “ber tong ting tang” sambil mengungkapkan kalimat “Maimo Kumolintang” untuk mengajak orang memainkannya, sehingga lambat laun ungkapan tersebut berubah menjadi Kolintang.
Baca juga: Reog Ponorogo Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO
"Kolintang bukan sekadar alat musik, melainkan simbol harmoni, persatuan, dan kreativitas masyarakat Indonesia. Pengakuan ini adalah bukti komitmen kita bersama dalam melestarikan kekayaan budaya bangsa," ujar Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, dikutip dari rilisnya.
Adapun pengakuan ini juga mencerminkan nilai lintas budaya yang dimiliki Kolintang, yang memiliki kemiripan dengan Balafon, alat musik tradisional dari Mali, Burkina Faso, dan Côte d’Ivoire di Afrika Barat. Kolaborasi Indonesia dengan ketiga negara tersebut menjadi bukti bahwa musik tradisional mampu menjembatani perbedaan geografis dan budaya.
“Meski berasal dari tradisi yang berbeda, Kolintang dan Balafon menunjukkan bahwa musik adalah bahasa universal yang dapat menyatukan kita dalam ritme dan kreativitas bersama di tengah perbedaan," lanjutnya.
Fadli Zon juga menyampaikan rasa hormat dan bangga kepada seluruh komunitas Kolintang di Indonesia, mulai dari musisi, pengrajin, hingga praktisi budaya yang selama ini telah bekerja keras menjaga keberlanjutan alat musik ini.
“Kami berterima kasih atas dedikasi Anda semua dalam memastikan Kolintang tetap hidup dan terus menginspirasi generasi mendatang," ujarnya.
Pengakuan oleh UNESCO ini juga membawa tanggung jawab besar untuk terus melestarikan dan mempromosikan Kolintang di kancah nasional maupun internasional. Menteri Kebudayaan RI menekankan bahwa warisan budaya ini harus menjadi jembatan dialog antarbudaya dan penghubung antara generasi.
"Kami berharap pengakuan ini dapat meningkatkan kesadaran global akan pentingnya warisan budaya takbenda, serta mempererat kerja sama lintas negara dalam upaya pelestarian Kolintang dan Balafon," ungkapnya.
Pengakuan Kolintang mencakup lima domain penting Warisan Budaya Takbenda: tradisi lisan, seni pertunjukan, praktik sosial dan ritual, pengetahuan ekologis, dan kerajinan tradisional. Lebih dari itu, Kolintang diharapkan menjadi katalisator perubahan yang mampu melampaui batas geografis, budaya, dan bahasa, serta mendukung pencapaian agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan.
“Kementerian Kebudayaan siap mendukung dan berkomitmen untuk bekerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat dalam upaya pemajuan, pengembangan, dan pembinaan kebudayaan, khususnya dalam konteks Warisan Budaya Takbenda, serta mendorong ekosistem kebudayaan yang inklusif,” tutup Fadli Zon.
Adapun berdasarkan sejarahnya, Kolintang sendiri pada zaman dahulu digunakan untuk upacara ritual adat yang berhubungan dengan pemujaan roh leluhur. Namun, seiring berjalannya waktu dibunyikan sebagai pengiring tarian, pengiring lagu, atau pertunjukan musik. Kreativitas generasi muda juga telah menciptakan kolaborasi antara Kolintang dengan alat musik modern sebagai pengiring lagu dengan genre pop, jazz dan rock.
Kolintang terbuat dari kayu khusus yang ringan namun cukup padat, kemudian disusun membentuk garis-garis sejajar. Umumnya kayu yang digunakan adalah kayu telur, kayu bandaran, kayu wnuang, dan kayu kakinik. Kayu dari pohon tersebut dikeringkan terlebih dahulu sebelum diproses menjadi bilah bilah kecil, yang mana bilah tersebut dikurangi panjangnya hingga menghasilkan nada yang sesuai.
Berdasarkan suara yang dihasilkan, alat musik Kolintang terbagi menjadi 9 jenis, yaitu loway (bass), cella (cello), karua (tenor 1), karua rua (tenor 2), uner (alto 1), uner rua (alto 2), katelu (ukulele), ina esa (melodi 1), ina rua (melodi 2), dan ina taweng (melodi 3).
Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan mallet (tongkat kecil dengan bagian ujung dibalut sebuah kain atau benang). Biasanya mallet berjumlah tiga yang diberi nomor tersendiri untuk memainkannya. Mallet nomor 1 biasanya digunakan di tangan kiri, sedangkan nomor dua dan tiga dipegang di tangan kanan biasanya di sela-sela jari sesuai dengan accord yang dimainkan.
Baca juga: Daftar 14 Warisan Budaya Takbenda dari Indonesia yang Diakui Dunia oleh UNESCO
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Asal usul nama Kolintang terinspirasi dari nada yang dikeluarkan, seperti “Tong” untuk nada rendah, “Ting” untuk nada tinggi, dan “Tang” untuk nada tengah, serta menggunakan istilah “ber tong ting tang” sambil mengungkapkan kalimat “Maimo Kumolintang” untuk mengajak orang memainkannya, sehingga lambat laun ungkapan tersebut berubah menjadi Kolintang.
Baca juga: Reog Ponorogo Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO
"Kolintang bukan sekadar alat musik, melainkan simbol harmoni, persatuan, dan kreativitas masyarakat Indonesia. Pengakuan ini adalah bukti komitmen kita bersama dalam melestarikan kekayaan budaya bangsa," ujar Menteri Kebudayaan RI, Fadli Zon, dikutip dari rilisnya.
Adapun pengakuan ini juga mencerminkan nilai lintas budaya yang dimiliki Kolintang, yang memiliki kemiripan dengan Balafon, alat musik tradisional dari Mali, Burkina Faso, dan Côte d’Ivoire di Afrika Barat. Kolaborasi Indonesia dengan ketiga negara tersebut menjadi bukti bahwa musik tradisional mampu menjembatani perbedaan geografis dan budaya.
“Meski berasal dari tradisi yang berbeda, Kolintang dan Balafon menunjukkan bahwa musik adalah bahasa universal yang dapat menyatukan kita dalam ritme dan kreativitas bersama di tengah perbedaan," lanjutnya.
Fadli Zon juga menyampaikan rasa hormat dan bangga kepada seluruh komunitas Kolintang di Indonesia, mulai dari musisi, pengrajin, hingga praktisi budaya yang selama ini telah bekerja keras menjaga keberlanjutan alat musik ini.
“Kami berterima kasih atas dedikasi Anda semua dalam memastikan Kolintang tetap hidup dan terus menginspirasi generasi mendatang," ujarnya.
Pengakuan oleh UNESCO ini juga membawa tanggung jawab besar untuk terus melestarikan dan mempromosikan Kolintang di kancah nasional maupun internasional. Menteri Kebudayaan RI menekankan bahwa warisan budaya ini harus menjadi jembatan dialog antarbudaya dan penghubung antara generasi.
"Kami berharap pengakuan ini dapat meningkatkan kesadaran global akan pentingnya warisan budaya takbenda, serta mempererat kerja sama lintas negara dalam upaya pelestarian Kolintang dan Balafon," ungkapnya.
Pengakuan Kolintang mencakup lima domain penting Warisan Budaya Takbenda: tradisi lisan, seni pertunjukan, praktik sosial dan ritual, pengetahuan ekologis, dan kerajinan tradisional. Lebih dari itu, Kolintang diharapkan menjadi katalisator perubahan yang mampu melampaui batas geografis, budaya, dan bahasa, serta mendukung pencapaian agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan.
“Kementerian Kebudayaan siap mendukung dan berkomitmen untuk bekerjasama dengan seluruh lapisan masyarakat dalam upaya pemajuan, pengembangan, dan pembinaan kebudayaan, khususnya dalam konteks Warisan Budaya Takbenda, serta mendorong ekosistem kebudayaan yang inklusif,” tutup Fadli Zon.
Adapun berdasarkan sejarahnya, Kolintang sendiri pada zaman dahulu digunakan untuk upacara ritual adat yang berhubungan dengan pemujaan roh leluhur. Namun, seiring berjalannya waktu dibunyikan sebagai pengiring tarian, pengiring lagu, atau pertunjukan musik. Kreativitas generasi muda juga telah menciptakan kolaborasi antara Kolintang dengan alat musik modern sebagai pengiring lagu dengan genre pop, jazz dan rock.
Kolintang terbuat dari kayu khusus yang ringan namun cukup padat, kemudian disusun membentuk garis-garis sejajar. Umumnya kayu yang digunakan adalah kayu telur, kayu bandaran, kayu wnuang, dan kayu kakinik. Kayu dari pohon tersebut dikeringkan terlebih dahulu sebelum diproses menjadi bilah bilah kecil, yang mana bilah tersebut dikurangi panjangnya hingga menghasilkan nada yang sesuai.
Berdasarkan suara yang dihasilkan, alat musik Kolintang terbagi menjadi 9 jenis, yaitu loway (bass), cella (cello), karua (tenor 1), karua rua (tenor 2), uner (alto 1), uner rua (alto 2), katelu (ukulele), ina esa (melodi 1), ina rua (melodi 2), dan ina taweng (melodi 3).
Alat musik ini dimainkan dengan cara dipukul menggunakan mallet (tongkat kecil dengan bagian ujung dibalut sebuah kain atau benang). Biasanya mallet berjumlah tiga yang diberi nomor tersendiri untuk memainkannya. Mallet nomor 1 biasanya digunakan di tangan kiri, sedangkan nomor dua dan tiga dipegang di tangan kanan biasanya di sela-sela jari sesuai dengan accord yang dimainkan.
Baca juga: Daftar 14 Warisan Budaya Takbenda dari Indonesia yang Diakui Dunia oleh UNESCO
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.