Menteri Kebudayaan Fadli Zon menunjukkan buku yang ditulisnya tentang wayang (Sumber foto: Hypeabis.id/Eusebio Chrysnamurti)

Pesona Wayang Nusantara dalam Buku Menteri Kebudayaan Fadli Zon

09 December 2024   |   06:26 WIB
Image
M. Taufikul Basari Jurnalis dan Editor Hypeabis.id

Wayang merupakan salah satu seni tradisional tertua di Indonesia yang memiliki akar mendalam dalam sejarah dan budaya Nusantara. Seni ini tak hanya hiburan, tetapi berfungsi sebagai media pendidikan, diplomasi budaya, dan perlawanan sosial. Dalam perjalanannya, wayang terus berevolusi sesuai zaman tanpa kehilangan esensinya.
 
Nah, salah satu perekam sejarah wayang di Tanah Air itu adalah Menteri Kebudayaan Fadli Zon. Koleksi wayangnya membentang dari berbagai suku dan daerah di Indonesia. Dia juga menulis buku yang memberikan gambaran kekayaan wayang berjudul Pesona Wayang Indonesia: Tinjauan Sejarah, Cerita, dan Jenis Wayang.
 
Buku ini bukan sekadar katalog budaya, melainkan pernyataan sikap: sebuah usaha melawan pelupaan atas warisan leluhur. Dengan tebal 574 halaman utama yang dilengkapi ratusan foto eksklusif, karya ini menggali tidak hanya sejarah, tetapi juga nilai yang menjadi jiwa pewayangan Nusantara. 

Baca juga: Eksklusif Menteri Kebudayaan Fadli Zon: Misi Menjadikan Indonesia Sebagai Ibu Kota Budaya Dunia 
 
Wayang, sebagai salah satu seni tertua di Indonesia, memiliki akar yang mengakar dalam sejarah panjang Nusantara. Jejaknya dapat ditelusuri sejak abad ke-9 Masehi melalui relief-relief yang ditemukan di candi Hindu dan Buddha seperti Candi Borobudur dan Prambanan.

Kala itu, wayang lebih dikenal sebagai medium bercerita tentang mitologi Hindu, seperti Ramayana dan Mahabharata. Dalam buku ini, Fadli Zon menyebutkan bahwa wayang pada masa awal berfungsi sebagai alat penyebaran agama dan pendidikan moral, sebuah 'media massa' pada zamannya.
 
Memasuki era Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15), wayang mulai bertransformasi menjadi bentuk seni pertunjukan yang lebih kompleks. Selain kisah mitologi, muncul pula cerita lokal seperti Panji yang menjadi bagian integral budaya Jawa. Pada masa ini, wayang berkembang tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat diplomasi budaya yang memperkuat legitimasi politik raja-raja Nusantara.
 
Transformasi besar terjadi pada era Islamisasi Jawa. Wayang mulai mengadopsi elemen-elemen Islam, seperti tokoh Wali Songo yang diceritakan dalam bentuk wayang wahyu. Pertunjukan wayang, yang sebelumnya sarat dengan cerita Hindu, mulai beradaptasi untuk menyampaikan ajaran Islam tanpa meninggalkan akar tradisinya. Salah satu bentuk adaptasi ini adalah munculnya wayang kulit purwa, yang menggabungkan estetika Hindu-Buddha dengan nilai-nilai Islam.
 
Pada masa penjajahan Belanda, wayang kembali menemukan perannya sebagai alat perjuangan. Banyak dalang yang menggunakan pertunjukan wayang untuk menyelipkan pesan-pesan perlawanan kepada penjajah. Di sini, wayang menunjukkan kemampuannya untuk terus relevan dengan zamannya, menjadi suara rakyat di tengah penindasan kolonial.
 
Dalam buku ini, Fadli Zon tidak hanya merekam jejak sejarah, tetapi juga membawa pembaca pada eksplorasi jenis-jenis wayang yang berkembang di berbagai daerah Nusantara. Dari wayang beber yang menjadi cikal bakal wayang modern, hingga wayang krucil dari Blora, Jawa Tengah, yang berukuran kecil namun sarat makna.

“Wayang krucil dimainkan seperti wayang kulit, tetapi dalam format mini yang sering digunakan sebagai medium pendidikan moral,” tulis Fadli Zon, mengingatkan bahwa wayang tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga tuntunan.
 
Yang menarik adalah pembahasan tentang wayang kontemporer, seperti wayang ajen dan wayang sinema. Wayang tidak lagi sekadar bayang-bayang di layar, tetapi kini bertransformasi menjadi medium yang terhubung dengan dunia modern, menyerap elemen digital dan visual yang lebih kekinian.
 
Salah satu kekuatan buku ini adalah kekayaan visualnya. Fadli Zon, sebagai kolektor wayang dengan lebih dari 8.000 koleksi pribadi, menyertakan ratusan foto eksklusif mulai dari koleksi pribadinya hingga artefak yang dipajang di museum internasional. Foto-foto relief candi dan koleksi museum di Belanda menjadi bukti kuat bahwa wayang memiliki nilai universal, melintasi batas-batas geografis dan budaya.
 
Dalam buku ini, dia tidak hanya memaparkan fakta, tetapi juga membangun narasi personal dan analisis yang cerdas. Dia misalnya menyebutkan bahwa salah satu tantangan wayang hari ini adalah menarik minat generasi muda yang lebih akrab dengan budaya digital.

“Wayang harus beradaptasi tanpa kehilangan identitasnya,” tulisnya dalam pengantar buku ini. Solusi yang dia tawarkan adalah integrasi modernitas ke dalam seni tradisional, seperti menghadirkan wayang magnet atau wayang animasi.
 
Wayang, sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, adalah cermin budaya yang terus berevolusi. Fadli Zon, yang juga dikenal sebagai politikus sekaligus budayawan, menunjukkan bahwa seni tradisional ini tidak hanya relevan, tetapi juga dapat menjadi 'soft power' budaya Indonesia.

Sebagaimana UNESCO telah menetapkan wayang sebagai Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity pada 2003, buku ini menjadi pengingat bahwa tanggung jawab melestarikan wayang ada di pundak setiap generasi.
 
Sebagai sebuah karya, Pesona Wayang Indonesia menjadi oase di tengah gersangnya perhatian terhadap budaya Nusantara. Dengan gaya penyampaian yang ilmiah namun tetap mengalir, Fadli Zon membuktikan bahwa budaya tradisional masih memiliki ruang dalam wacana modern.

Buku ini adalah sebuah ajakan, atau bahkan seruan, untuk kembali memaknai kekayaan budaya kita. Layaknya sebuah pertunjukan wayang yang memukau, karya ini memberi kita hiburan, pendidikan, sekaligus perenungan. Sebuah mahakarya yang akan dikenang.

Baca Juga: Mengenal Wayang Gagrak Malangan

(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)

Editor: Syaiful Millah 

SEBELUMNYA

Kenali Ciri-ciri Kode QRIS Palsu Sebelum Melakukan Pembayaran

BERIKUTNYA

12 Ide Kado Natal 2024 yang Menarik & Berkesan

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: