Ini 3 Etika Kunci dalam Pengembangan Kecerdasan Buatan
30 November 2021 |
16:46 WIB
Buat penggemar film Netflix, pastinya kalian pernah menonton film berjudul The Social Dilemma. Film drama-dokumenter arahan Jeff Orlowski tahun 2020 ini mengisahkan tentang perkembangan sosial media dan efeknya di masyarakat dunia yang menimbulkan masalah-masalah baru dalam kehidupan.
Salah satu tokoh kunci dalam doku-drama ini ialah sosok Tristan Harris, ahli etika teknologi Amerika Serikat yang menjabat presiden dan salah satu pendiri Center for Humane Technology. Dalam film tersebut, Tristan Harris hadir sebagai mantan ahli etika desain di Google. Isu besar yang digulirkan oleh Tristan Harris adalah menyoroti pentingnya panduan etika dalam pengembangan teknologi digital yang kian menggurita dewasa ini.
Namun tulisan ini bukan untuk membahas tentang film tersebut, tetapi untuk memotret dinamika terbaru tentang pentingnya panduan etika dalam dunia digital. Sejarah baru lahir dari kesepakatan 193 negara yang berkomitmen mengadopsi perjanjian global pertama tentang etika kecerdasan buatan.
Kesepakatan itu dideklarasikan oleh negara Anggota Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, PBB (UNESCO) pada Kamis 25 November 2021. Mereka bersepakat mengadopsi perjanjian yang mendefinisikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diperlukan untuk memastikan perkembangan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) yang sehat.
Saat ini, makin banyak aplikasi konsumen dengan jumlah pengguna massal di seluruh dunia memaksimalkan teknologi kecerdasan buatan sebagai 'teknologi bantu'.
Kecerdasan buatan sudah banyak hadir dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari memesan penerbangan dan mengajukan pinjaman, hingga menggunakan kendaraan tanpa pengemudi. AI juga banyak digunakan dalam bidang khusus, seperti skrining kanker atau untuk membantu menciptakan lingkungan inklusif bagi penyandang cacat.
Menurut UNESCO, AI mendukung pengambilan keputusan pemerintah dan sektor swasta, serta membantu memerangi masalah global seperti perubahan iklim dan kelaparan dunia. Namun, UNESCO memperingatkan bahwa teknologi AI tersebut justru membawa tantangan tersendiri yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Kami melihat peningkatan bias gender dan etnis, ancaman signifikan terhadap privasi, martabat dan agensi, bahaya pengawasan massal, dan peningkatan penggunaan teknologi kecerdasan buatan yang tidak dapat diandalkan dalam penegakan hukum. Hingga saat ini, belum ada standar universal untuk memberikan jawaban atas isu-isu tersebut,” demikian pernyataan Kepala UNESCO Audrey Azoulay yang dikutip dari un.org.
Mempertimbangkan hal ini, kesepakatan etika AI yang diadopsi bertujuan untuk memandu pembangunan infrastruktur hukum yang diperlukan guna memastikan pengembangan etika dari teknologi ini.
“Dunia membutuhkan aturan untuk kecerdasan buatan agar bermanfaat bagi umat manusia. Rekomendasi tentang etika AI adalah jawaban utama. Landasan etis ini menetapkan kerangka normatif global pertama sambil memberi tanggung jawab pada setiap negara untuk menerapkannya,” katanya.
Dia menegaskan bahwa UNESCO akan mendukung 193 negara anggotanya dalam pelaksanaan kesepakatan etika kecerdasan buatan tersebut dan meminta mereka untuk melaporkan secara teratur perkembangan implementasinya.
“Peningkatan data adalah kunci kemajuan yang dibuat dalam kecerdasan buatan, dan AI sebagai kontribusi positif bagi kemanusiaan. Untuk itu, kesepakatan etika ini bertujuan untuk menyoroti keunggulan AI, sekaligus mengurangi risiko yang ditimbulkannya.”
Adapun kesepakatan tentang etika kecerdasan buatan ini diharapkan dapat menggolkan tiga tujuan utama berikut ini.
Selain itu, landasan etis ini juga diharapkan dapat menangani masalah seputar transparansi, akuntabilitas, dan privasi, dengan arah kebijakan berorientasi aksi tentang tata kelola data, pendidikan, budaya tenaga kerja, kesehatan dan ekonomi.
“Keputusan yang berdampak pada jutaan orang harus adil, transparan, dan dapat diperdebatkan. Teknologi baru ini [AI] harus membantu kita mengatasi tantangan besar di dunia kita saat ini, seperti meningkatnya ketidaksetaraan dan krisis lingkungan, serta tidak memperdalam disparitas tersebut,” kata Gabriela Ramos, Asisten Direktur Jenderal Ilmu Sosial dan Manusia, UNESCO.
Salah satu tokoh kunci dalam doku-drama ini ialah sosok Tristan Harris, ahli etika teknologi Amerika Serikat yang menjabat presiden dan salah satu pendiri Center for Humane Technology. Dalam film tersebut, Tristan Harris hadir sebagai mantan ahli etika desain di Google. Isu besar yang digulirkan oleh Tristan Harris adalah menyoroti pentingnya panduan etika dalam pengembangan teknologi digital yang kian menggurita dewasa ini.
Namun tulisan ini bukan untuk membahas tentang film tersebut, tetapi untuk memotret dinamika terbaru tentang pentingnya panduan etika dalam dunia digital. Sejarah baru lahir dari kesepakatan 193 negara yang berkomitmen mengadopsi perjanjian global pertama tentang etika kecerdasan buatan.
Kesepakatan itu dideklarasikan oleh negara Anggota Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan, PBB (UNESCO) pada Kamis 25 November 2021. Mereka bersepakat mengadopsi perjanjian yang mendefinisikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip umum yang diperlukan untuk memastikan perkembangan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) yang sehat.
Saat ini, makin banyak aplikasi konsumen dengan jumlah pengguna massal di seluruh dunia memaksimalkan teknologi kecerdasan buatan sebagai 'teknologi bantu'.
Kecerdasan buatan sudah banyak hadir dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari memesan penerbangan dan mengajukan pinjaman, hingga menggunakan kendaraan tanpa pengemudi. AI juga banyak digunakan dalam bidang khusus, seperti skrining kanker atau untuk membantu menciptakan lingkungan inklusif bagi penyandang cacat.
Menurut UNESCO, AI mendukung pengambilan keputusan pemerintah dan sektor swasta, serta membantu memerangi masalah global seperti perubahan iklim dan kelaparan dunia. Namun, UNESCO memperingatkan bahwa teknologi AI tersebut justru membawa tantangan tersendiri yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Kami melihat peningkatan bias gender dan etnis, ancaman signifikan terhadap privasi, martabat dan agensi, bahaya pengawasan massal, dan peningkatan penggunaan teknologi kecerdasan buatan yang tidak dapat diandalkan dalam penegakan hukum. Hingga saat ini, belum ada standar universal untuk memberikan jawaban atas isu-isu tersebut,” demikian pernyataan Kepala UNESCO Audrey Azoulay yang dikutip dari un.org.
Mempertimbangkan hal ini, kesepakatan etika AI yang diadopsi bertujuan untuk memandu pembangunan infrastruktur hukum yang diperlukan guna memastikan pengembangan etika dari teknologi ini.
“Dunia membutuhkan aturan untuk kecerdasan buatan agar bermanfaat bagi umat manusia. Rekomendasi tentang etika AI adalah jawaban utama. Landasan etis ini menetapkan kerangka normatif global pertama sambil memberi tanggung jawab pada setiap negara untuk menerapkannya,” katanya.
Dia menegaskan bahwa UNESCO akan mendukung 193 negara anggotanya dalam pelaksanaan kesepakatan etika kecerdasan buatan tersebut dan meminta mereka untuk melaporkan secara teratur perkembangan implementasinya.
“Peningkatan data adalah kunci kemajuan yang dibuat dalam kecerdasan buatan, dan AI sebagai kontribusi positif bagi kemanusiaan. Untuk itu, kesepakatan etika ini bertujuan untuk menyoroti keunggulan AI, sekaligus mengurangi risiko yang ditimbulkannya.”
Adapun kesepakatan tentang etika kecerdasan buatan ini diharapkan dapat menggolkan tiga tujuan utama berikut ini.
Mempromosikan HAM
Etika kecerdasan buatan ini memberikan panduan untuk memastikan bahwa transformasi digital harus terintegrasi dengan upaya mempromosikan hak asasi manusia (HAM), dan berkontribusi terhadap pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.Selain itu, landasan etis ini juga diharapkan dapat menangani masalah seputar transparansi, akuntabilitas, dan privasi, dengan arah kebijakan berorientasi aksi tentang tata kelola data, pendidikan, budaya tenaga kerja, kesehatan dan ekonomi.
Melindungi Data
Salah satu panggilan utama kesepakatan etika AI ini adalah untuk melindungi data, melampaui apa yang dilakukan oleh perusahaan teknologi dan pemerintah. Hal itu, untuk menjamin lebih banyak perlindungan individu dengan memastikan transparansi dan kontrol atas data pribadi mereka, serta melarang penggunaan sistem AI untuk penilaian sosial dan pengawasan massal.Penghematan Sumber Daya
Kesepakatan tersebut juga menekankan bahwa pelaku AI harus mengedepankan data, energi, dan metode hemat sumber daya yang akan membantu memastikan bahwa AI menjadi alat yang lebih menonjol dalam memerangi perubahan iklim, dan dalam mengatasi masalah lingkungan.“Keputusan yang berdampak pada jutaan orang harus adil, transparan, dan dapat diperdebatkan. Teknologi baru ini [AI] harus membantu kita mengatasi tantangan besar di dunia kita saat ini, seperti meningkatnya ketidaksetaraan dan krisis lingkungan, serta tidak memperdalam disparitas tersebut,” kata Gabriela Ramos, Asisten Direktur Jenderal Ilmu Sosial dan Manusia, UNESCO.
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.