Profil & Rekam Jejak Perupa Sri Warso Wahono yang Wafat pada Usia 76 Tahun
05 December 2024 |
09:30 WIB
Kabar duka kembali menyelimuti dunia seni rupa Indonesia. Perupa Sri Warso Wahono meninggal dunia pada Rabu (4/12/2024). Kabar ini diketahui melalui unggahan di akun Instagram resmi Museum Seni Rupa dan Keramik. Sang seniman berpulang pada usia 76 tahun.
"Segenap keluarga besar Unit Pengelola Museum Seni mengucapkan turut berduka cita yang mendalam atas berpulangnya Bapak Sri Warso Wahono, Rabu, 4 Desember 2024 pada usia 76 tahun," tulis unggahan Museum Seni Rupa dan Keramik dikutip dari akun @museum_keramikjkt.
Baca juga: 5 Seniman Indonesia yang Merekam Peristiwa Bersejarah Lewat Lukisan
Sri Warso Wahono merupakan salah satu pelukis modern Indonesia yang menduduki urutan ke-151 dari 325 pelukis profesional, sejak era Raden Saleh sebagaimana tercatat dalam buku "Modern Indonesia Art".
Sang perupa juga diketahui pernah menjabat sebagai Kepala Museum Seni Rupa dan Keramik tahun 2000-2004. Lukisan berjudul "Serdadu Primitif" merupakan salah satu karyanya yang kini masih terpacak di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta.
Menempuh pendidikan seni rupa di IKIP Seni Rupa Surakarta, Sri Warso memulai karier melukisnya sejak 1962. Sebagai lulusan IKIP, Warso pernah mengajar di sejumlah sekolah sebagai guru kesenian, termasuk mengajar seni suara dan menggambar. Pada masa remaja, Warso juga pernah aktif sebagai penari, termasuk ikut menari di pentas Ramayana, di Candi Prambanan.
Sebagai pelukis, dia mengawali perjalanan artistiknya dengan gaya naturalisme. Dia mendapat dorongan oleh teman-teman seniman dari Himpunan Budaya Surakarta seperti Sukatmo, Sumitro, dan Suyanto. Lalu, Warso mulai menekuni gaya abstrak setelah kuliah dan bertemu dengan doktor seni rupa HB Sutopo.
Di awal perjalanan seninya, Warso juga sempat berfokus pada karya hitam putih dan sketsa. Dia kemudian mendalami berbagai tema lukisan, yang kerap berpusat pada estetika Adiluhung, sebuah konsep seni yang menekankan pencapaian harmoni dan keselarasan.
Pameran tunggal pertamanya berlangsung di Solo pada 1973, dan sejak itu dia sering diundang untuk pameran, baik di dalam maupun luar negeri. Dua karyanya, Gelombang (1991) dan Live Ovatory (1992), kini terpajang sebagai koleksi Galeri Nasional Indonesia.
Tak hanya berkarya, Sri Warso juga aktif di pelbagai kegiatan seni rupa, termasuk menulis tentang seni rupa dan masalah kebudayaan secara umum. Dia pernah menjadi pengasuh bengkel seni lukis di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah, Solo, serta mendirikan Dewan Kesenian Surakarta bersama teman-teman seniman Solo.
Pada 1976, dia hijrah ke Jakarta untuk bekerja sebagai anggota tim penyiapan pembukaan Museum Seni Rupa dan Keramik yang diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Sri Warso telah mengadakan pameran tunggal dan bersama baik di dalam maupun luar negeri, seperti Pameran Tunggal di Museum Sejarah Jakarta pada 1977, dan Pameran di Washington DC, AS, bersama seniman Indonesia dalam rangka pameran Kebudayaan Indonesia di AS (KIAS) pada 1992. Termasuk, diundang di Biennale Sao Paolo Brasil pada 1989.
Lukisannya sudah banyak dipamerkan di banyak tempat, baik di Indonesia maupun di negara lain seperti Belgia, Prancis, Meksiko, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Mesir, Polandia dan negara-negara ASEAN.
Setelah 30 tahun menggeluti seni rupa, Warso mulai merambah ke ranah sosial politik. Peristiwa politik 1998 dan rentetan peristiwa selanjutnya, menggerakkanya untuk melahirkan karya-karya rampogan. Istilah itu diambil dari salah satu adegan pergelaran wayang kulit ketika pasukan bersenjata lengkap siap siaga dan waspada.
Rampogan dimaknai sebagai peristiwa atau fenomena munculnya ketidakseimbangan, yang memerlukan penyeimbang, untuk menciptakan harmoni. Lewat karya-karya rampogan, Warso menuangkan banyak tema tentang berbagai fenomena yang terjadi di sekitarnya mulai dari korupsi, watak serakah, hingga berbagai drama dalam kehidupan masyarakat.
Pameran tunggal rampogan digelar pertama kali di Taman Ismail Marzuki tahun 1999, lalu berlanjut di Balai Budaya Jakarta tahun 2015. Adapun, pameran rampogan terakhir dari Warso digelar di Bentara Budaya Jakarta pada 9-19 Agustus 2018 bertajuk Kidung Rampogan, sekaligus menandai 70 tahun usianya.
Baca juga: Rekam Jejak Seniman Sanggar Bumi Tarung Adrianus Gumelar yang Tutup Usia
Editor: Dika Irawan
"Segenap keluarga besar Unit Pengelola Museum Seni mengucapkan turut berduka cita yang mendalam atas berpulangnya Bapak Sri Warso Wahono, Rabu, 4 Desember 2024 pada usia 76 tahun," tulis unggahan Museum Seni Rupa dan Keramik dikutip dari akun @museum_keramikjkt.
Baca juga: 5 Seniman Indonesia yang Merekam Peristiwa Bersejarah Lewat Lukisan
Sri Warso Wahono merupakan salah satu pelukis modern Indonesia yang menduduki urutan ke-151 dari 325 pelukis profesional, sejak era Raden Saleh sebagaimana tercatat dalam buku "Modern Indonesia Art".
Sang perupa juga diketahui pernah menjabat sebagai Kepala Museum Seni Rupa dan Keramik tahun 2000-2004. Lukisan berjudul "Serdadu Primitif" merupakan salah satu karyanya yang kini masih terpacak di Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta.
Menempuh pendidikan seni rupa di IKIP Seni Rupa Surakarta, Sri Warso memulai karier melukisnya sejak 1962. Sebagai lulusan IKIP, Warso pernah mengajar di sejumlah sekolah sebagai guru kesenian, termasuk mengajar seni suara dan menggambar. Pada masa remaja, Warso juga pernah aktif sebagai penari, termasuk ikut menari di pentas Ramayana, di Candi Prambanan.
Sebagai pelukis, dia mengawali perjalanan artistiknya dengan gaya naturalisme. Dia mendapat dorongan oleh teman-teman seniman dari Himpunan Budaya Surakarta seperti Sukatmo, Sumitro, dan Suyanto. Lalu, Warso mulai menekuni gaya abstrak setelah kuliah dan bertemu dengan doktor seni rupa HB Sutopo.
Di awal perjalanan seninya, Warso juga sempat berfokus pada karya hitam putih dan sketsa. Dia kemudian mendalami berbagai tema lukisan, yang kerap berpusat pada estetika Adiluhung, sebuah konsep seni yang menekankan pencapaian harmoni dan keselarasan.
Pameran tunggal pertamanya berlangsung di Solo pada 1973, dan sejak itu dia sering diundang untuk pameran, baik di dalam maupun luar negeri. Dua karyanya, Gelombang (1991) dan Live Ovatory (1992), kini terpajang sebagai koleksi Galeri Nasional Indonesia.
Tak hanya berkarya, Sri Warso juga aktif di pelbagai kegiatan seni rupa, termasuk menulis tentang seni rupa dan masalah kebudayaan secara umum. Dia pernah menjadi pengasuh bengkel seni lukis di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah, Solo, serta mendirikan Dewan Kesenian Surakarta bersama teman-teman seniman Solo.
Pada 1976, dia hijrah ke Jakarta untuk bekerja sebagai anggota tim penyiapan pembukaan Museum Seni Rupa dan Keramik yang diresmikan oleh Presiden Soeharto.
Sri Warso telah mengadakan pameran tunggal dan bersama baik di dalam maupun luar negeri, seperti Pameran Tunggal di Museum Sejarah Jakarta pada 1977, dan Pameran di Washington DC, AS, bersama seniman Indonesia dalam rangka pameran Kebudayaan Indonesia di AS (KIAS) pada 1992. Termasuk, diundang di Biennale Sao Paolo Brasil pada 1989.
Lukisannya sudah banyak dipamerkan di banyak tempat, baik di Indonesia maupun di negara lain seperti Belgia, Prancis, Meksiko, Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Mesir, Polandia dan negara-negara ASEAN.
Setelah 30 tahun menggeluti seni rupa, Warso mulai merambah ke ranah sosial politik. Peristiwa politik 1998 dan rentetan peristiwa selanjutnya, menggerakkanya untuk melahirkan karya-karya rampogan. Istilah itu diambil dari salah satu adegan pergelaran wayang kulit ketika pasukan bersenjata lengkap siap siaga dan waspada.
Rampogan dimaknai sebagai peristiwa atau fenomena munculnya ketidakseimbangan, yang memerlukan penyeimbang, untuk menciptakan harmoni. Lewat karya-karya rampogan, Warso menuangkan banyak tema tentang berbagai fenomena yang terjadi di sekitarnya mulai dari korupsi, watak serakah, hingga berbagai drama dalam kehidupan masyarakat.
Pameran tunggal rampogan digelar pertama kali di Taman Ismail Marzuki tahun 1999, lalu berlanjut di Balai Budaya Jakarta tahun 2015. Adapun, pameran rampogan terakhir dari Warso digelar di Bentara Budaya Jakarta pada 9-19 Agustus 2018 bertajuk Kidung Rampogan, sekaligus menandai 70 tahun usianya.
Baca juga: Rekam Jejak Seniman Sanggar Bumi Tarung Adrianus Gumelar yang Tutup Usia
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.