Untung-Rugi Penjualan Pasar Fisik & Online Industri Kriya Indonesia
19 November 2024 |
22:00 WIB
Geliat industri kriya lokal mengalami perubahan signifikan di tengah arus digitalisasi. Senarai produk kerajinan tangan Indonesia, kini semakin mudah diakses pasar global. Namun, belum meratanya ekosistem digital membuat peluang ini menjadi dilema di kalangan pengrajin.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, mengatakan pemasaran produk kriya yang dulunya bergantung pada distribusi fisik, saat ini telah mengalami perubahan lanskap, terutama karena digitalisasi dan adopsi teknologi baru dalam produksi dan pemasaran.
Baca juga: Pintar Membaca Perubahan Selera Pasar, Kunci Keberhasilan Ekspor Kriya Indonesia
"Produk kriya yang dulunya bergantung pada distribusi fisik saat ini mulai beralih dipasarkan secara global melalui toko online, media sosial, dan pameran virtual," katanya saat dihubungi Hypeabis.id.
Terpisah, founder homLiv, Yudiana Lyn mengatakan, meningkatnya tren penjualan di lokapasar memang menjadi tantangan tersendiri bagi para perajin kriya. Sebab, mereka dituntut untuk melek teknologi dalam memasarkan berbagai produk yang dibuat agar segmentasi pasarnya bisa lebih luas.
Kendati begitu, expo menurutnya masih memiliki peran penting. Sebab gelaran tersebut dapat mempertemukan para pebisnis untuk saling berkolaborasi dan berjejaring. Bahkan, pengunjung juga dapat melihat produk secara langsung, sehingga memberikan pengalaman berbeda alih-alih secara virtual.
"Pameran fisik menang di momentum khusus di mana orang-orang tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bertemu stakeholders di bidang yg sama. Sedangkan e-commerce sifatnya lebih ke daily routine. Artinya di mana dan kapan saja konsumen bisa mencari vendor yang diinginkan," katanya.
Menurut Abdul Sobur, seiring meningkatnya dominasi lokapasar, nilai pameran fisik memang cenderung menurun dalam lima tahun terakhir. Bahkan, ada beberapa expo atau pameran fisik seperti International Furniture Fair Singapore (IFFS) dan IMM Koln, Jerman, ditutup dan tidak dihelat pada tahun depan.
Momen inilah yang membuat pengusaha mengintegrasikan pameran hibrida dalam gelaran expo kriya, sebab publik dan perajin mendapat win-win solution dari setiap gelaran. Kedua elemen ini juga disebut saling melengkapi, di mana pengunjung pameran dapat langsung membeli produk secara online.
"Jadinya, nilai ekonomi dari pameran fisik secara langsung cenderung stabil, namun di sisi lain ada peningkatan dalam nilai transaksi online yang dikaitkan dengan event tersebut,"imbuhnya.
Kendati begitu, peralihan tersebut masih menjadi tantangan utama bagi industri kriya akibat keterbatasan infrastruktur digital. Minimnya pemahaman teknologi, kurangnya keterampilan dalam pemasaran, dan isu logistik terkait pengiriman barang perlu segera diatasi oleh stakeholder terkait.
Sejauh ini, Abdul Sobur mengklaim pihaknya telah melakukan berbagai program pelatihan bagi para anggota agar lebih melek dunia digital. Selain itu, HIMKI juga memberikan akses ke teknologi produksi terbaru, dan pelatihan desain yang berfokus pada tren global.
Lain dari itu, dia menyarankan agar pola pameran fisik diintegrasikan dengan elemen digital, seperti live streaming, tur virtual, dan sesi interaktif di media sosial. Sebab, pola ini dapat menawarkan pengalaman yang unik,antara pengrajin dengan pembeli yang tidak hanya dari dalam negeri.
"Workshop tentang pengemasan, branding, dan manajemen inventaris juga diberikan agar produk kriya lebih kompetitif di pasar digital," tuturnya.
Kemenparekraf mencatat, industri kriya menjadi salah satu sub sektor penyumbang terbesar untuk PDB ekonomi kreatif. Subsektor kriya berada di posisi ketiga setelah kuliner (42 persen), Fesyen (18 persen), dan kriya (15 persen) dari total PDB ekonomi kreatif pada 2015-2020.
Data dari laporan TradeMap.org, juga mencatat pada September 2023 total nilai ekspor kerajinan Indonesia ke dunia mencapai US$603,956 juta, sementara, kinerja ekspor ke negara Eropa mencapai US$129,182 juta. Artinya, Indonesia menguasai 1,25 persen pangsa pasar penjualan produk-produk industri kerajinan global.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI), Abdul Sobur, mengatakan pemasaran produk kriya yang dulunya bergantung pada distribusi fisik, saat ini telah mengalami perubahan lanskap, terutama karena digitalisasi dan adopsi teknologi baru dalam produksi dan pemasaran.
Baca juga: Pintar Membaca Perubahan Selera Pasar, Kunci Keberhasilan Ekspor Kriya Indonesia
"Produk kriya yang dulunya bergantung pada distribusi fisik saat ini mulai beralih dipasarkan secara global melalui toko online, media sosial, dan pameran virtual," katanya saat dihubungi Hypeabis.id.
Terpisah, founder homLiv, Yudiana Lyn mengatakan, meningkatnya tren penjualan di lokapasar memang menjadi tantangan tersendiri bagi para perajin kriya. Sebab, mereka dituntut untuk melek teknologi dalam memasarkan berbagai produk yang dibuat agar segmentasi pasarnya bisa lebih luas.
Kendati begitu, expo menurutnya masih memiliki peran penting. Sebab gelaran tersebut dapat mempertemukan para pebisnis untuk saling berkolaborasi dan berjejaring. Bahkan, pengunjung juga dapat melihat produk secara langsung, sehingga memberikan pengalaman berbeda alih-alih secara virtual.
"Pameran fisik menang di momentum khusus di mana orang-orang tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bertemu stakeholders di bidang yg sama. Sedangkan e-commerce sifatnya lebih ke daily routine. Artinya di mana dan kapan saja konsumen bisa mencari vendor yang diinginkan," katanya.
Pameran Hibrida
Menurut Abdul Sobur, seiring meningkatnya dominasi lokapasar, nilai pameran fisik memang cenderung menurun dalam lima tahun terakhir. Bahkan, ada beberapa expo atau pameran fisik seperti International Furniture Fair Singapore (IFFS) dan IMM Koln, Jerman, ditutup dan tidak dihelat pada tahun depan.Momen inilah yang membuat pengusaha mengintegrasikan pameran hibrida dalam gelaran expo kriya, sebab publik dan perajin mendapat win-win solution dari setiap gelaran. Kedua elemen ini juga disebut saling melengkapi, di mana pengunjung pameran dapat langsung membeli produk secara online.
"Jadinya, nilai ekonomi dari pameran fisik secara langsung cenderung stabil, namun di sisi lain ada peningkatan dalam nilai transaksi online yang dikaitkan dengan event tersebut,"imbuhnya.
Kendati begitu, peralihan tersebut masih menjadi tantangan utama bagi industri kriya akibat keterbatasan infrastruktur digital. Minimnya pemahaman teknologi, kurangnya keterampilan dalam pemasaran, dan isu logistik terkait pengiriman barang perlu segera diatasi oleh stakeholder terkait.
Sejauh ini, Abdul Sobur mengklaim pihaknya telah melakukan berbagai program pelatihan bagi para anggota agar lebih melek dunia digital. Selain itu, HIMKI juga memberikan akses ke teknologi produksi terbaru, dan pelatihan desain yang berfokus pada tren global.
Lain dari itu, dia menyarankan agar pola pameran fisik diintegrasikan dengan elemen digital, seperti live streaming, tur virtual, dan sesi interaktif di media sosial. Sebab, pola ini dapat menawarkan pengalaman yang unik,antara pengrajin dengan pembeli yang tidak hanya dari dalam negeri.
"Workshop tentang pengemasan, branding, dan manajemen inventaris juga diberikan agar produk kriya lebih kompetitif di pasar digital," tuturnya.
Kemenparekraf mencatat, industri kriya menjadi salah satu sub sektor penyumbang terbesar untuk PDB ekonomi kreatif. Subsektor kriya berada di posisi ketiga setelah kuliner (42 persen), Fesyen (18 persen), dan kriya (15 persen) dari total PDB ekonomi kreatif pada 2015-2020.
Data dari laporan TradeMap.org, juga mencatat pada September 2023 total nilai ekspor kerajinan Indonesia ke dunia mencapai US$603,956 juta, sementara, kinerja ekspor ke negara Eropa mencapai US$129,182 juta. Artinya, Indonesia menguasai 1,25 persen pangsa pasar penjualan produk-produk industri kerajinan global.
(Baca artikel Hypeabis.id lainnya di Google News)
Editor: Nirmala Aninda
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.