Industri Perfilman Makin Moncer, Jumlah Layar Bioskop Masih Jadi Tantangan Utama
14 November 2024 |
22:11 WIB
Industri film Indonesia terus bergeliat dan menunjukan taji dalam beberapa waktu terakhir. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jumlah penonton film lokal menembus 60 juta penonton, dan bahkan diprediksi mencapai 70 juta penonton hingga akhir tahun 2024.
Kendati begitu, sejumlah masalah masih membelenggu ekosistem perfilman Tanah Air. Sederet masalah itu diungkai dalam obrolan bertajuk Ngopi Pagi, bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha, bersama insan perfilman pada Senin, (4/11/24), di Jakarta.
Jumlah layar hingga pembajakan film, merupakan senarai masalah yang harus segera dituntaskan untuk mendukung ekosistem perfilman. Di sisi, lain, peluang film Indonesia masih dapat terus digali dengan adanya keberagaman budaya di Nusantara dengan berbagai pendekatan, baik film feature, dokumenter, dan anak.
Baca juga: Jumlah Terbatas, Menbud Fadli Zon akan Perluas Jangkauan Layar Bioskop di Tanah Air
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan, sektor perfilman memiliki peluang besar dalam industri kreatif. Kendati begitu, perlu penambahan dan pemerataan layar di Tanah Air guna menyongsong peningkatan jumlah penonton, bahkan tembus rekor sejak film Indonesia tayang perdana pada 1926.
Pada pertemuan yang berlangsung lebih dari 2 jam itu, Fadli dan wakilnya, Giring Ganesha memang lebih banyak menampung aspirasi para insan film. Mereka terdiri dari sutradara, aktor, produser, dan organisasi profesi perfilman. Terbatasnya layar, dan pembajakan film merupakan sejumlah masalah yang mencuat dalam diskusi ini.
"Kekurangan layar bioskop kita cukup besar jika dibandingkan populasi yang ada. Jumlah layar bioskop di Indonesia tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Penyebarannya banyak terkonsentrasi di kota-kota besar, terutama di Jawa, khususnya Jakarta,"katanya.
Menurut Fadli, meski jumlah penonton terus memecahkan rekor, potensi film Indonesia masih jauh bisa dikembangkan. Oleh karena itu dia mengajak semua pihak untuk turut mendorong ekosistem perfilman nasional, sehingga bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, dan masyarakat global.
Peningkatan sumber daya manusia di industri film juga perlu ditingkatkan, termasuk kesejahteraan para sineas perfilman. Lain dari itu, afirmasi terkait film anak juga perlu digenjot. Pasalnya dalam beberapa waktu terakhir film tersebut terus berkurang, bahkan pada Festival Film Indonesia 2024 hanya 3 film anak yang masuk nominasi.
Dari segi infrastruktur, Fadli mengaku akan menggandeng pihak-pihak swasta untuk mengaktivasi gedung-gedung di tingkat provinsi sebagai sarana bioskop. Namun, sebelum mencapai tahap tersebut, pihaknya akan terlebih dahulu memetakan audiens dan kecenderungan penonton yang ada di tiap daerah.
"Terkait penambahan layar akan kita cari jalannya. Mungkin bekerjasama dengan pemerintah kabupaten kota/provinsi, dan korporasi karena ini harus jadi bisnis. Apakah infrastrukturnya dulu yang disiapkan atau marketnya dulu yang disiapkan, ini kan harus simultan," jelasnya.
Persoalan terkait penambahan jumlah layar, sebenarnya dialami oleh para pengusaha bioskop baik swasta maupun independen. Sebab, saat mereka hendak menambah bioskop, harus satu persatu mendatangi lembaga terkait, bahkan ormas yang prosesnya melelahkan. Oleh karenanya perlu segera dibuat regulasi mengenai hal itu.
"Ini harusnya ada regulasi yang melibatkan Kemendagri, agar pemerintah daerah memberikan kemudahan dalam perizinan bioskop. Banyak investor yang ingin membangun bioskop di daerah, tapi persoalannya adalah regulasi yang kerap bermasalah, yang harusnya jadi tanggung jawab Pemda," katanya.
Gunawan mengatakan, dengan populasi penduduk mencapai 280 juta, idealnya Indonesia setidaknya harus memiliki 20.000 layar bioskop. Walakin, jumlah tersebut harus proporsional dan menyebar di setiap provinsi, serta memperhitungkan faktor-faktor seperti urbanisasi, infrastruktur, dan aksesibilitas penonton.
Tak hanya itu, dia juga menyarankan untuk kembali membuat 'bioskop warga' dengan memanfaatkan gedung-gedung milik Pemda alih-alih dibangun di dalam mall. Penggalakan ini menurutnya perlu segera dilakukan agar masyarakat dapat menonton film dengan biaya lebih ekonomis, karena tidak perlu ke pusat perbelanjaan.
"Kalau di mall, itu sulit. Kita jalan-jalan sendirian di mall saja sudah banyak pengennya. Jadi, kalau mau membangun bioskop usahakan di luar mall, sehingga dengan uang secukupnya bisa menikmati film. Seperti dulu sempat ada bioskop kelas A, B, dan yang lain," katanya.
Klasifikasi terkait kelas bioskop ini, menurut Gunawan juga perlu digalakkan kembali. Sebab, masyarakat yang belum sempat nonton masih bisa mengikuti film yang bisanya akan diturunkan ke kelas lain. Sehingga, peluang film lokal untuk ditonton oleh masyarakat tetap terus berlanjut, alih-alih tidak lagi diputar.
Lain dari itu, Gunawan juga menyarankan untuk membuat bioskop dengan kapasitas kecil yang perlu dibuat di tiap daerah dengan kapasitas 50 kursi. Ini juga penting dilakukan untuk menampung film-film artistik yang tidak berorientasi ke pasar, sekaligus mendukung para sineas lokal yang masih bertumbuh dalam mengejar estetika rupa.
"Termasuk film-film pemenang festival, FFI, dan yang lainnya itu kan nggak punya tempat. Padahal, film-film seperti itu juga perlu kita konsumsi karena menjadi hak masyarakat. Ini sekaligus menjawab UU karena publik memiliki hak untuk mengakses film-film yang baik," tandasnya.
Baca juga: Festival Film Indonesia 2024 Hadirkan Kembali Piala Antemas, Ini Alasannya
Editor: Puput Ady Sukarno
Kendati begitu, sejumlah masalah masih membelenggu ekosistem perfilman Tanah Air. Sederet masalah itu diungkai dalam obrolan bertajuk Ngopi Pagi, bersama Menteri Kebudayaan Fadli Zon, Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha, bersama insan perfilman pada Senin, (4/11/24), di Jakarta.
Jumlah layar hingga pembajakan film, merupakan senarai masalah yang harus segera dituntaskan untuk mendukung ekosistem perfilman. Di sisi, lain, peluang film Indonesia masih dapat terus digali dengan adanya keberagaman budaya di Nusantara dengan berbagai pendekatan, baik film feature, dokumenter, dan anak.
Baca juga: Jumlah Terbatas, Menbud Fadli Zon akan Perluas Jangkauan Layar Bioskop di Tanah Air
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan, sektor perfilman memiliki peluang besar dalam industri kreatif. Kendati begitu, perlu penambahan dan pemerataan layar di Tanah Air guna menyongsong peningkatan jumlah penonton, bahkan tembus rekor sejak film Indonesia tayang perdana pada 1926.
Pada pertemuan yang berlangsung lebih dari 2 jam itu, Fadli dan wakilnya, Giring Ganesha memang lebih banyak menampung aspirasi para insan film. Mereka terdiri dari sutradara, aktor, produser, dan organisasi profesi perfilman. Terbatasnya layar, dan pembajakan film merupakan sejumlah masalah yang mencuat dalam diskusi ini.
"Kekurangan layar bioskop kita cukup besar jika dibandingkan populasi yang ada. Jumlah layar bioskop di Indonesia tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Penyebarannya banyak terkonsentrasi di kota-kota besar, terutama di Jawa, khususnya Jakarta,"katanya.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon (kiri) dan Wakil Menteri Giring Ganesha mendengar usulan dari insan perfilaman pada acara Ngopi Pagi di Jakarta, Senin (4/11/2024). (sumber gambar: Hypebis.id/Fanny Kusumawardhani)
Menurut Fadli, meski jumlah penonton terus memecahkan rekor, potensi film Indonesia masih jauh bisa dikembangkan. Oleh karena itu dia mengajak semua pihak untuk turut mendorong ekosistem perfilman nasional, sehingga bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, dan masyarakat global.
Peningkatan sumber daya manusia di industri film juga perlu ditingkatkan, termasuk kesejahteraan para sineas perfilman. Lain dari itu, afirmasi terkait film anak juga perlu digenjot. Pasalnya dalam beberapa waktu terakhir film tersebut terus berkurang, bahkan pada Festival Film Indonesia 2024 hanya 3 film anak yang masuk nominasi.
Dari segi infrastruktur, Fadli mengaku akan menggandeng pihak-pihak swasta untuk mengaktivasi gedung-gedung di tingkat provinsi sebagai sarana bioskop. Namun, sebelum mencapai tahap tersebut, pihaknya akan terlebih dahulu memetakan audiens dan kecenderungan penonton yang ada di tiap daerah.
"Terkait penambahan layar akan kita cari jalannya. Mungkin bekerjasama dengan pemerintah kabupaten kota/provinsi, dan korporasi karena ini harus jadi bisnis. Apakah infrastrukturnya dulu yang disiapkan atau marketnya dulu yang disiapkan, ini kan harus simultan," jelasnya.
Regulasi
Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI) Gunawan Paggaru menuturkan, dari segi kuantitas jumlah layar bioskop di Indonesia memang masih kurang. Dengan total populasi 280 juta penduduk, saat ini jumlah layar bioskop di Tanah Air hanya berkisar di angka 4.000, yang mayoritas terkonsentrasi di Pulau Jawa.Persoalan terkait penambahan jumlah layar, sebenarnya dialami oleh para pengusaha bioskop baik swasta maupun independen. Sebab, saat mereka hendak menambah bioskop, harus satu persatu mendatangi lembaga terkait, bahkan ormas yang prosesnya melelahkan. Oleh karenanya perlu segera dibuat regulasi mengenai hal itu.
"Ini harusnya ada regulasi yang melibatkan Kemendagri, agar pemerintah daerah memberikan kemudahan dalam perizinan bioskop. Banyak investor yang ingin membangun bioskop di daerah, tapi persoalannya adalah regulasi yang kerap bermasalah, yang harusnya jadi tanggung jawab Pemda," katanya.
Gunawan mengatakan, dengan populasi penduduk mencapai 280 juta, idealnya Indonesia setidaknya harus memiliki 20.000 layar bioskop. Walakin, jumlah tersebut harus proporsional dan menyebar di setiap provinsi, serta memperhitungkan faktor-faktor seperti urbanisasi, infrastruktur, dan aksesibilitas penonton.
Tak hanya itu, dia juga menyarankan untuk kembali membuat 'bioskop warga' dengan memanfaatkan gedung-gedung milik Pemda alih-alih dibangun di dalam mall. Penggalakan ini menurutnya perlu segera dilakukan agar masyarakat dapat menonton film dengan biaya lebih ekonomis, karena tidak perlu ke pusat perbelanjaan.
"Kalau di mall, itu sulit. Kita jalan-jalan sendirian di mall saja sudah banyak pengennya. Jadi, kalau mau membangun bioskop usahakan di luar mall, sehingga dengan uang secukupnya bisa menikmati film. Seperti dulu sempat ada bioskop kelas A, B, dan yang lain," katanya.
Klasifikasi terkait kelas bioskop ini, menurut Gunawan juga perlu digalakkan kembali. Sebab, masyarakat yang belum sempat nonton masih bisa mengikuti film yang bisanya akan diturunkan ke kelas lain. Sehingga, peluang film lokal untuk ditonton oleh masyarakat tetap terus berlanjut, alih-alih tidak lagi diputar.
Lain dari itu, Gunawan juga menyarankan untuk membuat bioskop dengan kapasitas kecil yang perlu dibuat di tiap daerah dengan kapasitas 50 kursi. Ini juga penting dilakukan untuk menampung film-film artistik yang tidak berorientasi ke pasar, sekaligus mendukung para sineas lokal yang masih bertumbuh dalam mengejar estetika rupa.
"Termasuk film-film pemenang festival, FFI, dan yang lainnya itu kan nggak punya tempat. Padahal, film-film seperti itu juga perlu kita konsumsi karena menjadi hak masyarakat. Ini sekaligus menjawab UU karena publik memiliki hak untuk mengakses film-film yang baik," tandasnya.
Baca juga: Festival Film Indonesia 2024 Hadirkan Kembali Piala Antemas, Ini Alasannya
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.