Koalisi Seni Soroti Iklim Bermusik di Indonesia, Ada Musisi Dibungkam
14 November 2024 |
18:22 WIB
Di tengah semarak perkembangan musik Tanah Air, baik dari segi kekaryaan maupun apresiasi, rupanya masih ada beberapa persoalan mendasar yang patut disorot. Salah satunya ialah terkait kebebasan berkarya dan berekspresi para musisi melalui musik maupun aksi panggungnya.
Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay, mengatakan pihaknya percaya pemajuan musik tidak akan tercapai tanpa adanya perubahan ekosistem menjadi lebih baik. Saat ini, dunia musik masih memiliki sejumlah tantangan yang berbeda-beda.
Di satu sisi, aspek royalti meski kini telah terlembagakan, rupanya masih menimbulkan polemik-polemik baru. Di sisi lain, ada permasalahan lain yang mendasar dan masih terjadi, yakni terkait kebebasan berkesenian.
Baca juga: Royalti Musik Indonesia Tertinggal Jauh, Menteri Kebudayaan Fadli Zon Siap Revisi Regulasi
Hafez mencatat di tengah negara yang berdemokrasi ini, masih ada saja musisi-musisi yang karyanya dibungkam. Ketika ada isu-isu sosial yang bagi musisi penting untuk diutarakan, baik melalui lagu, aksi panggung, maupun lainnya, tetapi urung terjadi.
Tak hanya itu, beberapa jenis musik juga masih kerap didiskriminasi secara sepihak. Hal ini membuat musik-musik tertentu terkena stigma yang pada ujungnya membuat keberadaan para musisinya terancam.
“Dalam dua tahun terakhir, ada banyak sekali kasus musisi terbungkam. Yang paling nyata, di Sumatera Selatan, di sana kepolisian memberikan maklumat bahwa musik remix dan organ tunggal dilarang di atas jam 6 malam,” kata Hafez dalam acara Ngopi Pagi Menteri Kebudayaan bersama Insan Musik.
Menurut Hafez, kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan. Sebab, alasan dua musik tersebut dilarang adalah karena kerap jadi tempat transaksi atau peredaran narkoba.
Hafez menyebut alasan tersebut bisa saja benar, bisa saja salah. Namun, kalau diperhatikan, elemen lainnya, seperti klub malam atau sejenisnya, juga nyatanya masih saja tetap bisa beroperasi.
“Padahal, musik remix dan organ tunggal ini bisa jadi dibutuhkan masyarakat, tetapi kemudian dilarang tanpa pandang bulu. Ini tentu tidak adil,” imbuhnya.
Tentu saja, dalam masalah ini, bukan hanya hak masyarakat saja yang tercabut. Para pelaku musik juga tidak dapat leluasa dalam berkarya karena stigma yang muncul tersebut.
“Selain soal royalti, coba kita bayangkan di Indonesia yang luas ini, rupanya masih ada musisi yang takut hanya untuk melakukan mata pencaharian mereka,” jelasnya.
Hafez berharap perbaikan ekosistem ini perlu juga menjadi bahan perhatian utama dalam merancang konsep pemajuan musik. Sebab, sebelum berbicara kepada hal yang lebih jauh, hak-hak dasar para setiap jenis musik sudah sewaktunya juga lebih diperhatikan.
Dalam kesempatan ini, Hafez juga menyinggung soal rencana konferensi musik nasional. Menurutnya, ajang tersebut memang penting ada untuk menjadi wadah para pelaku musik urun ide, termasuk soal merancang peta jalan membangun kebebasan berekspresi.
Baca juga: Rawat Ekosistem Musik, Wamenbud Giring Ganesha Bakal Bikin Konvensi Musik Nasional
Editor: Puput Ady Sukarno
Manajer Advokasi Koalisi Seni, Hafez Gumay, mengatakan pihaknya percaya pemajuan musik tidak akan tercapai tanpa adanya perubahan ekosistem menjadi lebih baik. Saat ini, dunia musik masih memiliki sejumlah tantangan yang berbeda-beda.
Di satu sisi, aspek royalti meski kini telah terlembagakan, rupanya masih menimbulkan polemik-polemik baru. Di sisi lain, ada permasalahan lain yang mendasar dan masih terjadi, yakni terkait kebebasan berkesenian.
Baca juga: Royalti Musik Indonesia Tertinggal Jauh, Menteri Kebudayaan Fadli Zon Siap Revisi Regulasi
Hafez mencatat di tengah negara yang berdemokrasi ini, masih ada saja musisi-musisi yang karyanya dibungkam. Ketika ada isu-isu sosial yang bagi musisi penting untuk diutarakan, baik melalui lagu, aksi panggung, maupun lainnya, tetapi urung terjadi.
Tak hanya itu, beberapa jenis musik juga masih kerap didiskriminasi secara sepihak. Hal ini membuat musik-musik tertentu terkena stigma yang pada ujungnya membuat keberadaan para musisinya terancam.
“Dalam dua tahun terakhir, ada banyak sekali kasus musisi terbungkam. Yang paling nyata, di Sumatera Selatan, di sana kepolisian memberikan maklumat bahwa musik remix dan organ tunggal dilarang di atas jam 6 malam,” kata Hafez dalam acara Ngopi Pagi Menteri Kebudayaan bersama Insan Musik.
Menurut Hafez, kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan. Sebab, alasan dua musik tersebut dilarang adalah karena kerap jadi tempat transaksi atau peredaran narkoba.
Hafez menyebut alasan tersebut bisa saja benar, bisa saja salah. Namun, kalau diperhatikan, elemen lainnya, seperti klub malam atau sejenisnya, juga nyatanya masih saja tetap bisa beroperasi.
“Padahal, musik remix dan organ tunggal ini bisa jadi dibutuhkan masyarakat, tetapi kemudian dilarang tanpa pandang bulu. Ini tentu tidak adil,” imbuhnya.
Tentu saja, dalam masalah ini, bukan hanya hak masyarakat saja yang tercabut. Para pelaku musik juga tidak dapat leluasa dalam berkarya karena stigma yang muncul tersebut.
“Selain soal royalti, coba kita bayangkan di Indonesia yang luas ini, rupanya masih ada musisi yang takut hanya untuk melakukan mata pencaharian mereka,” jelasnya.
Hafez berharap perbaikan ekosistem ini perlu juga menjadi bahan perhatian utama dalam merancang konsep pemajuan musik. Sebab, sebelum berbicara kepada hal yang lebih jauh, hak-hak dasar para setiap jenis musik sudah sewaktunya juga lebih diperhatikan.
Dalam kesempatan ini, Hafez juga menyinggung soal rencana konferensi musik nasional. Menurutnya, ajang tersebut memang penting ada untuk menjadi wadah para pelaku musik urun ide, termasuk soal merancang peta jalan membangun kebebasan berekspresi.
Baca juga: Rawat Ekosistem Musik, Wamenbud Giring Ganesha Bakal Bikin Konvensi Musik Nasional
Editor: Puput Ady Sukarno
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.