Mengenal Badai Sitokin, dari Gejala & Penelitian Terbaru
24 August 2021 |
16:23 WIB
Kondisi keparahan penyakit dan proses penyembuhan pasien yang terinfeksi virus corona sangat tergantung pada sistem kekebalan yang dimilikinya. Namun yang sangat ditakuti sepanjang infeksi Covid-19 ini adalah munculnya badai sitokin.
Hal ini dialami Deddy Corbuzier saat terinfeksi Covid-19 beberapa waktu lalu. Untung saja kondisi kritis yang berisiko tinggi kematian itu berhasil dilewatinya berkat pola hidup sehat yang diterapkannya.
Namun sebenarnya apa sih badai sitokin itu? Setiap kali tubuh yang sehat melawan infeksi, pastinya ada respons sistem kekebalan alami yang terjadi.
Menurut Profesor Carl Fichtenbaum dari Divisi Penyakit Menular Fakultas Kedokteran Universitas Cincinnati, Amerika Serikat, bagian dari respons ini melibatkan pelepasan sitokin, bahan kimia biologis yang merangsang jalur sel dan memungkinkan komunikasi antar sel.
Sitokin ini pada dasarnya memberi sinyal pada sistem kekebalan untuk mulai melakukan tugasnya. Namun menjadi tidak normal jika pelepasan sitokin ini ke dalam darah tiba-tiba menjadi lebih cepat.
Kondisi ini membuat sel imun justru menyerang jaringan dan sel tubuh yang sehat, sehingga menyebabkan peradangan hingga merusak organ tubuh atau menggagalkan fungsinya.
“Pada dasarnya, badai ini bisa lebih mematikan daripada virus asli yang dilawan tubuh,” ujar Fichtenbaum dikutip dari Health.
Dia menuturkn badai sitokin dapat dipicu oleh sejumlah infeksi seperti influenza, pneumonia, sepsis, dan tentunya Covid-19. Sebagian besar pasien Covid-19 yang mengalami badai sitokin mengalami demam dan sesak napas, hingga kesulitan bernapas sehingga akhirnya memerlukan ventilator.
Sementara itu mengutip penjelasan badai sitokin di situs kesehatan Alomedika yang ditinjau dr. Sienny Agustin, badai sitokin biasanya terjadi sekitar 6-7 hari setelah gejala Covid-19 muncul.
Selain demam dan sesak napas, badai sitokin juga menyebabkan berbagai gejala, seperti kedinginan atau menggigil, kelelahan, pembengkakan di tungkai, mual dan muntah, nyeri otot dan persendian, sakit kepala, ruam kulit, batuk, napas cepat, kejang, sulit mengendalikan gerakan, kebingungan dan halusinasi, tekanan darah sangat rendah, hingga penggumpalan darah.
Sejauh ini, penderita Covid-19 yang mengalami badai sitokin memerlukan perawatan di unit perawatan intensif (ICU) dengan beberapa penanganan .
Adapun beberapa waktu lalu, para peneliti Indonesia berhasil membuktikan manfaat terapi stem cell atau sel punca masenkimal atau mysenchymal sem cells (MSC) untuk memperbaiki kondisi pasien Covid-19 yang kritis, termasuk yang sedang mengalami badai sitokin.
Adapun sel punca adalah sel induk yang mempunyai kemampuan untuk memperbanyak diri dan berubah menjadi berbagai jenis sel. Sementara SMC merupakan sel punca multi potensi yang dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang, otot, ligamen, tendon, dan lemak.
Penelitian yang dipimpin oleh Guru Besar Oropedi dan Traumatologi FKUI-RSCM Profesor Ismail Hadisoebroto Dilogo mendapati bahwa 10 pasien dari 20 kelompok dengan terapi MSC mengalami pemulihan secara signifikan.
Kata dia MSC dapat menekan faktor inflamasi yang hebat akibat Covid-19, meningkatkan faktor antiinflamasi, hingga kemampuan memproduksi dan merangsang regenerasi dari jaringan yang mengalami fibrosis atau pembentukan jaringan parut di paru. “MSC menekan, reparasi, regenerasi,” tegasnya.
Spesiais Penyakit Paru dari RS. Persahabatan dr. Erlina Burhan yang ikut dalam penelitian ini menerangkan pemberian terapi sel punca ini mengubah sitokin jahat menjadi baik. “Sehingga diharapkan inflamasi berat atau badai sitokin ini bisa dikendalikan, tidak menjadi lebih berat,” jelasnya.
Terapi ini katanya juga tidak memiliki efek samping bermakna. Hanya saja para dokter memantau adanya efek alergi karena terapi ini dilakukan melalui intravena ataupun infus.
Dr. Dita Aditianingsih, peneliti lainnya dari FKUI menjelaskan bahwa peran sel punca menstabilkan keseimbangan sitokin yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. “Dia juga bisa mencegah komplikasi jangka panjang seperti fibrosis di paru, mudah-mudahan bisa dicegah,” tambahnya.
Editor: Fajar Sidik
Hal ini dialami Deddy Corbuzier saat terinfeksi Covid-19 beberapa waktu lalu. Untung saja kondisi kritis yang berisiko tinggi kematian itu berhasil dilewatinya berkat pola hidup sehat yang diterapkannya.
Namun sebenarnya apa sih badai sitokin itu? Setiap kali tubuh yang sehat melawan infeksi, pastinya ada respons sistem kekebalan alami yang terjadi.
Menurut Profesor Carl Fichtenbaum dari Divisi Penyakit Menular Fakultas Kedokteran Universitas Cincinnati, Amerika Serikat, bagian dari respons ini melibatkan pelepasan sitokin, bahan kimia biologis yang merangsang jalur sel dan memungkinkan komunikasi antar sel.
Sitokin ini pada dasarnya memberi sinyal pada sistem kekebalan untuk mulai melakukan tugasnya. Namun menjadi tidak normal jika pelepasan sitokin ini ke dalam darah tiba-tiba menjadi lebih cepat.
Kondisi ini membuat sel imun justru menyerang jaringan dan sel tubuh yang sehat, sehingga menyebabkan peradangan hingga merusak organ tubuh atau menggagalkan fungsinya.
“Pada dasarnya, badai ini bisa lebih mematikan daripada virus asli yang dilawan tubuh,” ujar Fichtenbaum dikutip dari Health.
Dia menuturkn badai sitokin dapat dipicu oleh sejumlah infeksi seperti influenza, pneumonia, sepsis, dan tentunya Covid-19. Sebagian besar pasien Covid-19 yang mengalami badai sitokin mengalami demam dan sesak napas, hingga kesulitan bernapas sehingga akhirnya memerlukan ventilator.
Sementara itu mengutip penjelasan badai sitokin di situs kesehatan Alomedika yang ditinjau dr. Sienny Agustin, badai sitokin biasanya terjadi sekitar 6-7 hari setelah gejala Covid-19 muncul.
Selain demam dan sesak napas, badai sitokin juga menyebabkan berbagai gejala, seperti kedinginan atau menggigil, kelelahan, pembengkakan di tungkai, mual dan muntah, nyeri otot dan persendian, sakit kepala, ruam kulit, batuk, napas cepat, kejang, sulit mengendalikan gerakan, kebingungan dan halusinasi, tekanan darah sangat rendah, hingga penggumpalan darah.
Sejauh ini, penderita Covid-19 yang mengalami badai sitokin memerlukan perawatan di unit perawatan intensif (ICU) dengan beberapa penanganan .
Adapun beberapa waktu lalu, para peneliti Indonesia berhasil membuktikan manfaat terapi stem cell atau sel punca masenkimal atau mysenchymal sem cells (MSC) untuk memperbaiki kondisi pasien Covid-19 yang kritis, termasuk yang sedang mengalami badai sitokin.
Adapun sel punca adalah sel induk yang mempunyai kemampuan untuk memperbanyak diri dan berubah menjadi berbagai jenis sel. Sementara SMC merupakan sel punca multi potensi yang dapat berdiferensiasi menjadi sel-sel tulang, otot, ligamen, tendon, dan lemak.
Penelitian yang dipimpin oleh Guru Besar Oropedi dan Traumatologi FKUI-RSCM Profesor Ismail Hadisoebroto Dilogo mendapati bahwa 10 pasien dari 20 kelompok dengan terapi MSC mengalami pemulihan secara signifikan.
Kata dia MSC dapat menekan faktor inflamasi yang hebat akibat Covid-19, meningkatkan faktor antiinflamasi, hingga kemampuan memproduksi dan merangsang regenerasi dari jaringan yang mengalami fibrosis atau pembentukan jaringan parut di paru. “MSC menekan, reparasi, regenerasi,” tegasnya.
Spesiais Penyakit Paru dari RS. Persahabatan dr. Erlina Burhan yang ikut dalam penelitian ini menerangkan pemberian terapi sel punca ini mengubah sitokin jahat menjadi baik. “Sehingga diharapkan inflamasi berat atau badai sitokin ini bisa dikendalikan, tidak menjadi lebih berat,” jelasnya.
Terapi ini katanya juga tidak memiliki efek samping bermakna. Hanya saja para dokter memantau adanya efek alergi karena terapi ini dilakukan melalui intravena ataupun infus.
Dr. Dita Aditianingsih, peneliti lainnya dari FKUI menjelaskan bahwa peran sel punca menstabilkan keseimbangan sitokin yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. “Dia juga bisa mencegah komplikasi jangka panjang seperti fibrosis di paru, mudah-mudahan bisa dicegah,” tambahnya.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.