Begini Cara Menciptakan Internet Ramah Anak yang Bebas Gangguan Mental dan Pornografi
30 October 2024 |
09:15 WIB
Internet ramah anak menjadi kebutuhan untuk menciptakan ruang digital yang lebih aman dan bersih dari konten-konten negatif. Tak ayal, hal ini menjadi salah satu fokus Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid dalam program 100 hari kerjanya.
Meutya berharap agar terciptanya internet yang ramah anak dapat melindungi mereka dari bahaya yang mengintai di ruang digital. “Bagaimana anak-anak kita bisa terlindungi dari human trafficking atau trafficking anak, pornografi anak, kekerasan terhadap anak, itu juga akan menjadi fokus kita dalam pembenahan ruang digital,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Baca juga: 7 Hal Ini Bikin Rumah Lebih Ramah Anak
Tak dipungkiri, kehadiran internet memiliki manfaat yang besar, namun di satu sisi, ada dampak negatif yang ditimbulkan, terutama terhadap anak-anak. Psikolog Anak Samanta Elsener mengungkapkan banyak anak-anak pengguna internet termasuk di dalamnya media sosial yang mentalnya terganggu. Mereka ikut-ikut temannya untuk melukai dirinya sendiri (self harm), malas belajar, depresi, dan kecemasan.
Dewasa ini, bahkan ditemui kegiatan melakukan hubungan badan di usia yang sangat kecil, kasus pemerkosaan pada anak kecil, eksploitasi seksual anak, dan sex trafficking. Ditambah, ujaran-ajaran terorisme melalui konten digital dan kecanduan berat pada gawai.
Oleh karena itu, Samanta berharap dengan komitmen pembenahan ruang digital ini, anak-anak Indonesia bisa terlindungi dan menjadi generasi yang benar-benar dapat diandalkan di masa mendatang.
Komdigi katanya perlu rutin melakukan pengecekan situs atau aplikasi gim yang mengandung unsur pornografi, selain situs pornografi online. Pasalnya, di dalam aplikasi gim, seringkali kedapatan iklan konten yang mengandung unsur pornografi padahal gimnya masuk ke dalam kategori anak-anak.
Dia meminta agar kementerian dengan nomenklatur baru ini mengecek kembali asal usul developer (pengembang) pembuat gim tersebut apakah terafiliasi dengan industri eksploitasi kejahatan seksual atau bukan. Kata kunci dalam arahan pada mesin artificial intelligence (A)I juga perlu dicermati lebih teliti apakah mengandung unsur pornografi yang bisa diakses anak-anak.
Selaiknya, Samanta berpendapat bahwa Komdigi perlu membuat aturan anak-anak tidak boleh memiliki handphone hingga mereka berusia 15 tahun saat mereka sudah matang kognitifnya dan emosinya cenderung lebih stabil. “Sehingga menurunkan risiko mereka terpapar konten pornografi dari usia dini,” terangnya kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Tidak hanya Komdigi. Semua warga negara di Indonesia perlu terlibat mewujudkan internet ramah anak. Dari aturan Komdigi kemudian diaplikasikan para layanan penyedia jasa untuk memblokir situs-situs yang berkaitan dengan pornografi atau sex trafficking.
Orang tua dan para pendidik yang juga paham digital literacy kemudian mempraktikkan pada pengasuhan dan pendidikan dengan mengajarkan anak-anak bagaimana berinternet yang aman. “Ikuti aturan masing-masing platform. Kalau anak boleh punya akun di usia 12,13, atau 14 tahun patuhilah. Jangan selalu kasih anak akses dengan mudah tanpa ada pengawasan dan arahan orang tua,” tegas Samanta.
Orang tua maupun pengasuh juga perlu tegas dengan aturan batas waktu layar atau screen time sesuai usia anak. Selalu dampingi anak-anak yang masih balita atau kecil ketika mereka mengakses internet atau main gim.
Samanta menerangkan jika anak dibiarkan menggunakan smartphone sendirian dan dalam jangka waktu lama, dibiarkan punya akun media sosial, mereka bisa berisiko menjadi korban child grooming, sex trafficking, cyber bully, hingga hijack atau pembajakan.
Dengan terciptanya internet atau ruang digital yang lebih ramah anak, bukan hanya meminimalisir risiko-risiko tersebut. Samanta mengatakan bahwa hal ini berdampak besar dalam pengembangan generasi bangsa generasi emas 2045.
Anak-anak nantinya kembali punya waktu bermain yang sehat di tempat bermain bukan di layar smartphone, menurunkan potensi risiko depresi dan kecemasan, lebih semangat sekolah, punya keterampilan sosial lebih baik, serta terlindungi dari konten-konten pornografi yang dapat merusak otak.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai regulasi yang mengatur konten negatif menurutnya sudah banyak. Hanya saja, butuh keberanian untuk menutup aplikasi dan konten yang tidak ramah anak. “Seperti aplikasi X yang kini banyak pornografi, gim online dengan kekerasannya bahkan judi, serta tawaran lowongan kerja yang ternyata human trafficking,” jelasnya.
Semua harus terlibat untuk mewujudkan ruang digital yang ramah anak ini, baik pemerintah, penyedia aplikasi dan konten, maupun masyarakat. Namun memang, keseriusan dan keberanian pemerintah untuk menertibkan lah yang menjadi kunci.
Tak dipungkiri, ancaman keamanan anak di ruang digital begitu besar. Trennya secara global, anak-anak mudah terpapar konten kekerasan, menjadi korban dan pasar konten pornografi serta perjudian kian masif.
Heru berpendapat beberapa menteri sebelumnya kurang peduli mengenai hal ini. Ancaman penutupan aplikasi bermuatan konten negatif seperti X (sebelumnya Twitter) dan Telegram pada Juni 2024 lalu pun kata Heru hanya hanya gertak sambal.
Baca juga: Hypereport: Wisata Edutainment Ramah Anak, Penuh Aktivitas Menarik dan Menambah Wawasan
Begitu pula gim online yang penuh kekerasan dan judi online yang masih bertebaran tanpa ada sanksi hingga saat ini. Oleh karena itu, dia juga berharap pada keseriusan dalam penegakan hukum.
Heru menyambut baik dengan rencana Meutya Hafid untuk menciptakan ruang digital, terfokus internet agar lebih sehat dan bermanfaat. Heru berharap komitmen ini tidak sekadar narasi yang akan berlalu saja seperti biasa.
“Sebab internet ramah anak selama ini jadi gimmick tanpa ada kejelasan arah dan aksinya. Semoga Kementerian Komdigi sekarang berbeda dibanding saat masih sebagai Kominfo,” harap Heru.
Editor: Fajar Sidik
Meutya berharap agar terciptanya internet yang ramah anak dapat melindungi mereka dari bahaya yang mengintai di ruang digital. “Bagaimana anak-anak kita bisa terlindungi dari human trafficking atau trafficking anak, pornografi anak, kekerasan terhadap anak, itu juga akan menjadi fokus kita dalam pembenahan ruang digital,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Baca juga: 7 Hal Ini Bikin Rumah Lebih Ramah Anak
Tak dipungkiri, kehadiran internet memiliki manfaat yang besar, namun di satu sisi, ada dampak negatif yang ditimbulkan, terutama terhadap anak-anak. Psikolog Anak Samanta Elsener mengungkapkan banyak anak-anak pengguna internet termasuk di dalamnya media sosial yang mentalnya terganggu. Mereka ikut-ikut temannya untuk melukai dirinya sendiri (self harm), malas belajar, depresi, dan kecemasan.
Dewasa ini, bahkan ditemui kegiatan melakukan hubungan badan di usia yang sangat kecil, kasus pemerkosaan pada anak kecil, eksploitasi seksual anak, dan sex trafficking. Ditambah, ujaran-ajaran terorisme melalui konten digital dan kecanduan berat pada gawai.
Oleh karena itu, Samanta berharap dengan komitmen pembenahan ruang digital ini, anak-anak Indonesia bisa terlindungi dan menjadi generasi yang benar-benar dapat diandalkan di masa mendatang.
Komdigi katanya perlu rutin melakukan pengecekan situs atau aplikasi gim yang mengandung unsur pornografi, selain situs pornografi online. Pasalnya, di dalam aplikasi gim, seringkali kedapatan iklan konten yang mengandung unsur pornografi padahal gimnya masuk ke dalam kategori anak-anak.
Dia meminta agar kementerian dengan nomenklatur baru ini mengecek kembali asal usul developer (pengembang) pembuat gim tersebut apakah terafiliasi dengan industri eksploitasi kejahatan seksual atau bukan. Kata kunci dalam arahan pada mesin artificial intelligence (A)I juga perlu dicermati lebih teliti apakah mengandung unsur pornografi yang bisa diakses anak-anak.
Selaiknya, Samanta berpendapat bahwa Komdigi perlu membuat aturan anak-anak tidak boleh memiliki handphone hingga mereka berusia 15 tahun saat mereka sudah matang kognitifnya dan emosinya cenderung lebih stabil. “Sehingga menurunkan risiko mereka terpapar konten pornografi dari usia dini,” terangnya kepada Hypeabis.id beberapa waktu lalu.
Tidak hanya Komdigi. Semua warga negara di Indonesia perlu terlibat mewujudkan internet ramah anak. Dari aturan Komdigi kemudian diaplikasikan para layanan penyedia jasa untuk memblokir situs-situs yang berkaitan dengan pornografi atau sex trafficking.
Orang tua dan para pendidik yang juga paham digital literacy kemudian mempraktikkan pada pengasuhan dan pendidikan dengan mengajarkan anak-anak bagaimana berinternet yang aman. “Ikuti aturan masing-masing platform. Kalau anak boleh punya akun di usia 12,13, atau 14 tahun patuhilah. Jangan selalu kasih anak akses dengan mudah tanpa ada pengawasan dan arahan orang tua,” tegas Samanta.
Orang tua maupun pengasuh juga perlu tegas dengan aturan batas waktu layar atau screen time sesuai usia anak. Selalu dampingi anak-anak yang masih balita atau kecil ketika mereka mengakses internet atau main gim.
Samanta menerangkan jika anak dibiarkan menggunakan smartphone sendirian dan dalam jangka waktu lama, dibiarkan punya akun media sosial, mereka bisa berisiko menjadi korban child grooming, sex trafficking, cyber bully, hingga hijack atau pembajakan.
Dengan terciptanya internet atau ruang digital yang lebih ramah anak, bukan hanya meminimalisir risiko-risiko tersebut. Samanta mengatakan bahwa hal ini berdampak besar dalam pengembangan generasi bangsa generasi emas 2045.
Anak-anak nantinya kembali punya waktu bermain yang sehat di tempat bermain bukan di layar smartphone, menurunkan potensi risiko depresi dan kecemasan, lebih semangat sekolah, punya keterampilan sosial lebih baik, serta terlindungi dari konten-konten pornografi yang dapat merusak otak.
Sementara itu, Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi menilai regulasi yang mengatur konten negatif menurutnya sudah banyak. Hanya saja, butuh keberanian untuk menutup aplikasi dan konten yang tidak ramah anak. “Seperti aplikasi X yang kini banyak pornografi, gim online dengan kekerasannya bahkan judi, serta tawaran lowongan kerja yang ternyata human trafficking,” jelasnya.
Semua harus terlibat untuk mewujudkan ruang digital yang ramah anak ini, baik pemerintah, penyedia aplikasi dan konten, maupun masyarakat. Namun memang, keseriusan dan keberanian pemerintah untuk menertibkan lah yang menjadi kunci.
Tak dipungkiri, ancaman keamanan anak di ruang digital begitu besar. Trennya secara global, anak-anak mudah terpapar konten kekerasan, menjadi korban dan pasar konten pornografi serta perjudian kian masif.
Heru berpendapat beberapa menteri sebelumnya kurang peduli mengenai hal ini. Ancaman penutupan aplikasi bermuatan konten negatif seperti X (sebelumnya Twitter) dan Telegram pada Juni 2024 lalu pun kata Heru hanya hanya gertak sambal.
Baca juga: Hypereport: Wisata Edutainment Ramah Anak, Penuh Aktivitas Menarik dan Menambah Wawasan
Begitu pula gim online yang penuh kekerasan dan judi online yang masih bertebaran tanpa ada sanksi hingga saat ini. Oleh karena itu, dia juga berharap pada keseriusan dalam penegakan hukum.
Heru menyambut baik dengan rencana Meutya Hafid untuk menciptakan ruang digital, terfokus internet agar lebih sehat dan bermanfaat. Heru berharap komitmen ini tidak sekadar narasi yang akan berlalu saja seperti biasa.
“Sebab internet ramah anak selama ini jadi gimmick tanpa ada kejelasan arah dan aksinya. Semoga Kementerian Komdigi sekarang berbeda dibanding saat masih sebagai Kominfo,” harap Heru.
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.