Pemuda di Kepulauan Aru menyerukan aksi damai (Sumber gambar: Forest Watch Indonesia)

Masyarakat Adat Aru Serukan Aksi Nyata Perlindungan Biodiversitas

28 October 2024   |   21:30 WIB
Image
Muhammad Diva Farel Ramadhan Mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Masyarakat adat telah lama menjadi penjaga setia alam dan keanekaragaman hayati yang tak ternilai. Sayangnya, kisah dan kontribusi mereka sering kali terabaikan di tengah laju pembangunan dan eksploitasi alam. Hal ini menjadi sorotan dalam aksi damai masyarakat adat Kepulauan Aru, Indonesia.

Aksi tersebut berlangsung seiring dengan perundingan COP16 Convention on Biological Diversity (CBD) di Cali, Kolombia. Perwakilan masyarakat Aru yang hadir dalam pertemuan tersebut, Monika Maritjie Kailey, membawa pesan penting tentang peran masyarakat adat dalam menjaga lingkungan yang kini berada di ujung tanduk.

“Berkali-kali kami berhasil mempertahankan hutan dan laut kami dari ancaman industri ekstraktif yang masuk. Sudah saatnya pemerintah Indonesia dan masyarakat global mengakui peran masyarakat adat dalam menjaga keanekaragaman hayati dengan memastikan mobilisasi sumber daya yang adil,” ujarnya dikutip dari siaran pers, Senin (28/10/2024).

Baca juga: Jejalah Tradisi Suku Sunda Asli di Kampung Adat Cireundeu

Pernyataan ini mencerminkan urgensi bagi negara-negara dunia untuk memberikan pengakuan yang lebih kuat terhadap komunitas adat yang telah menjadi garda terdepan perlindungan alam selama bertahun-tahun.
 

Monika Kailey di acara COP16 CBD (Sumber gambar: Forest Watch Indonesia)

Monika Kailey di acara COP16 CBD (Sumber gambar: Forest Watch Indonesia)

Kepulauan Aru, Maluku, Indonesia, merupakan salah satu kawasan terkaya akan keanekaragaman hayati di Asia Tenggara. Gugusan 832 pulau ini memiliki 800.000 hektare daratan yang dikelilingi 4 juta hektare perairan, termasuk hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, dan hutan tropis dataran rendah.

Wilayah ini bahkan menyumbang 21 persen potensi perikanan nasional, atau setara 771.600 ton ikan per tahun. Namun, kekayaan alam ini justru menarik berbagai pihak yang mengincar wilayah tersebut untuk kegiatan eksploitasi sumber daya. Mulai dari eksploitasi hutan, perkebunan tebu, hingga peternakan sapi, beragam izin telah diberikan selama beberapa dekade terakhir untuk memanfaatkan sumber daya alam Aru. 

Di saat yang bersamaan, pemuda-pemuda adat yang berada di Kepulauan Aru menyerukan aksi damai demi menyuarakan keanekaragaman hayati yang wajib dilindungi bersama. Mereka terlihat membentangkan spanduk raksasa dengan tulisan “Selamatkan Hutan Alam & Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Aru.” Aksi tersebut dilaksanakan di Pantai Pulau Kumareri, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku.
 

 Pemuda adat Aru melakukan aksi damai seraya membentangkan spanduk (Sumber gambar: Forest Watch Indonesia)

Pemuda adat Aru melakukan aksi damai seraya membentangkan spanduk (Sumber gambar: Forest Watch Indonesia)

Mereka menuntut komitmen serius dari pemerintah untuk mencabut izin-izin ekstraktif yang akan membahayakan keanekaragaman hayati dan mempercepat Peraturan Daerah perihal pengakuan hak masyarakat adat.

Koordinator Aksi Damai di Kepulauan Aru Johan Djamanmona menyatakan bahwa tanggung jawab untuk menjaga wilayah Aru dipandang sebagai bagian penting dari identitas masyarakat Aru, karena perlindungan lingkungan di sana dianggap esensial bagi kelangsungan hidup mereka. “Menjaga Aru berarti menjaga kehidupan yang di dalamnya hidup manusia Aru.” tegasnya.

Peneliti dari Perkumpulan HuMa, Bimantara, menyebut regulasi di Indonesia terkait perlindungan biodiversitas masih jauh dari ideal dalam menjamin hak-hak masyarakat adat. 

Baca juga: Lebih Dekat dengan Gerakan Masyarakat Adat dalam Perspektif Antropolog Yando Zakaria

Dua kebijakan utama di Indonesia yang dimaksudkan untuk melindungi keanekaragaman hayati, yakni Inpres Nomor 1 Tahun 2023 dan UU Nomor 32 Tahun 2024, dinilai belum cukup kuat. “Instruksi Presiden kurang memiliki kekuatan hukum yang mengikat, sehingga sejatinya bentuk aturan yang lebih baik adalah Peraturan Presiden,” ujarnya.

Selain itu, Bimantara juga menekankan perlunya mempertimbangkan revisi terhadap regulasi ini di masa depan agar lebih selaras dengan struktur dan penanggung jawab kebijakan biodiversitas yang akan berlaku setelah adanya pemerintahan Prabowo-Gibran yang terbaru.

Kisah perjuangan masyarakat adat Aru menunjukkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan komunitas lokal dalam melestarikan keanekaragaman hayati yang tersisa. Tantangan lingkungan tidak mengenal batas negara, dan masyarakat adat adalah sekutu paling berharga dalam perang melawan krisis ekologi. 

Editor: Fajar Sidik 

SEBELUMNYA

Rayakan Bulan Bahasa & Sastra, Badan Bahasa Gelar Lomba Mendongeng untuk Disabilitas Netra

BERIKUTNYA

Ragam Ekspresi Kisah Panji dalam Pertunjukan Seni Tradisi & Kontemporer

Komentar


Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.

Baca Juga: