Lebih Dekat dengan Gerakan Masyarakat Adat dalam Perspektif Antropolog Yando Zakaria
25 September 2024 |
08:30 WIB
Pasca-Reformasi 1998, persoalan marjinalisasi dan pemberdayaan masyarakat adat, hak atas tanah dan hutan, politik identitas, serta pengaruh politik kolonial yang menyertainya menjadi perhatian berbagai kalangan. Meski berusaha berimbang, banyak tilikan terjebak dalam bias, sehingga memunculkan wajah ambigu masyarakat adat atau gerakan masyarakat adat.
Di satu sisi, tantangan sesungguhnya tentang kemiskinan dan ketidakadilan yang dihadapi kian tertutupi. Beranjak dari keresahan ini, antropolog R. Yando Zakaria menelurkan buku Adat, Kelas, dan Indigenitas. Buku ini berusaha menggali lebih dalam sejarah, dinamika, dan perspektif kontemporer dari gerakan masyarakat adat sejak Pertemuan Toraja pada 1996.
Baca juga: Buku No Limits: Reformasi dengan Hati Ungkap Liku-liku Sri Mulyani Benahi Kemenkeu
Pertemuan Toraja pada tahun 1996 menjadi momen penting bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia. Ini adalah titik penting dalam upaya pencanangan Gerakan Masyarakat Adat yang lebih terstruktur dan terorganisir, serta mendapatkan pengakuan yang lebih luas.
Bisa dikatakan, buku Adat, Kelas, dan Indigenitas merupakan catatan perjalanan Yando selama kurang lebih 30 tahun bergumul tentang terma masyarakat adat dan pentingnya pengakuan hukum terhadap mereka. Ada kalanya pandangan dalam gerakan masyarakat adat berbeda jauh satu sama lain.
Beberapa akademisi maupun aktivis mungkin lebih fokus pada pendekatan esensialis yang menekankan pada identitas budaya dan hak-hak adat, sementara yang lain lebih mengadopsi pendekatan dekonstruksionis yang lebih kritis terhadap tradisi dan institusi adat. Perbedaan pandangan ini seringkali menghasilkan perdebatan yang tajam, tetapi juga memperkaya diskursus tentang masyarakat adat.
Setidaknya ada lima poin utama yang dibahas Yando pada buku ini. Pertama, terjadinya perubahan wacana dari masyarakat hukum adat yang awalnya diskursus nasional hukum ke diskursus masyarakat adat yang bersumber dari gerakan internasional dan indigenous people.
Kedua, terdapat faktor hilangnya pendekatan kelas pasca 65. Digunakannya identitas masyarakat adat menjadi hal penting pada saat ini.
Ketiga, kemunculan solidaritas internasional untuk pembelaan hak-hak masyarakat korban pembangunan. “Kalau kita baca sebenarnya, itu yang melatarbelakangi gerakan indigenous people tahun 70-80an,” ujar Yando saat diskusi buku yang diterbitkannya.
Keempat, dia menandai perubahan wacana yang semakin penting pada ranah politik hukum. Pasalnya, dalam studi antropologi dan studi hukum adat, mempertemukan kepentingan masyarakat adat dengan idiom-idiom yang digunakan seperti masyarakat hukum adat.
Perdebatan mengenai istilah yang tepat, serta siapa yang berhak diakui sebagai masyarakat adat, seringkali menjadi isu yang kontroversial. “Perdebatannya terus berlangsung selama 30 tahun,” imbuhnya.
Baca juga: Mengenal Gamifikasi Untuk Performa Bisnis Lewat Buku The Dawn of Fun
Poin kelima yang dibahasnya dalam buku ini yaitu tentang situasi dan kondisi bagaimana selaiknya mengatur pengakuan masyarakat adat ke dalam peraturan perundang-undangan. Masa depan gerakan masyarakat adat kemungkinan akan melibatkan upaya untuk mencapai pengakuan yang lebih berbasis pada hak-hak spesifik, seperti hak atas tanah, hutan, dan pengetahuan budaya.
Editor: Fajar Sidik
Di satu sisi, tantangan sesungguhnya tentang kemiskinan dan ketidakadilan yang dihadapi kian tertutupi. Beranjak dari keresahan ini, antropolog R. Yando Zakaria menelurkan buku Adat, Kelas, dan Indigenitas. Buku ini berusaha menggali lebih dalam sejarah, dinamika, dan perspektif kontemporer dari gerakan masyarakat adat sejak Pertemuan Toraja pada 1996.
Baca juga: Buku No Limits: Reformasi dengan Hati Ungkap Liku-liku Sri Mulyani Benahi Kemenkeu
Pertemuan Toraja pada tahun 1996 menjadi momen penting bagi gerakan masyarakat adat di Indonesia. Ini adalah titik penting dalam upaya pencanangan Gerakan Masyarakat Adat yang lebih terstruktur dan terorganisir, serta mendapatkan pengakuan yang lebih luas.
Bisa dikatakan, buku Adat, Kelas, dan Indigenitas merupakan catatan perjalanan Yando selama kurang lebih 30 tahun bergumul tentang terma masyarakat adat dan pentingnya pengakuan hukum terhadap mereka. Ada kalanya pandangan dalam gerakan masyarakat adat berbeda jauh satu sama lain.
Buku Adat, Kelas, dan Indigenitas. (Sumber gambar: Kepustakaan Populer Gramedia)
Beberapa akademisi maupun aktivis mungkin lebih fokus pada pendekatan esensialis yang menekankan pada identitas budaya dan hak-hak adat, sementara yang lain lebih mengadopsi pendekatan dekonstruksionis yang lebih kritis terhadap tradisi dan institusi adat. Perbedaan pandangan ini seringkali menghasilkan perdebatan yang tajam, tetapi juga memperkaya diskursus tentang masyarakat adat.
Setidaknya ada lima poin utama yang dibahas Yando pada buku ini. Pertama, terjadinya perubahan wacana dari masyarakat hukum adat yang awalnya diskursus nasional hukum ke diskursus masyarakat adat yang bersumber dari gerakan internasional dan indigenous people.
Kedua, terdapat faktor hilangnya pendekatan kelas pasca 65. Digunakannya identitas masyarakat adat menjadi hal penting pada saat ini.
Ketiga, kemunculan solidaritas internasional untuk pembelaan hak-hak masyarakat korban pembangunan. “Kalau kita baca sebenarnya, itu yang melatarbelakangi gerakan indigenous people tahun 70-80an,” ujar Yando saat diskusi buku yang diterbitkannya.
Keempat, dia menandai perubahan wacana yang semakin penting pada ranah politik hukum. Pasalnya, dalam studi antropologi dan studi hukum adat, mempertemukan kepentingan masyarakat adat dengan idiom-idiom yang digunakan seperti masyarakat hukum adat.
Perdebatan mengenai istilah yang tepat, serta siapa yang berhak diakui sebagai masyarakat adat, seringkali menjadi isu yang kontroversial. “Perdebatannya terus berlangsung selama 30 tahun,” imbuhnya.
Baca juga: Mengenal Gamifikasi Untuk Performa Bisnis Lewat Buku The Dawn of Fun
Poin kelima yang dibahasnya dalam buku ini yaitu tentang situasi dan kondisi bagaimana selaiknya mengatur pengakuan masyarakat adat ke dalam peraturan perundang-undangan. Masa depan gerakan masyarakat adat kemungkinan akan melibatkan upaya untuk mencapai pengakuan yang lebih berbasis pada hak-hak spesifik, seperti hak atas tanah, hutan, dan pengetahuan budaya.
Data Buku
- Judul: Adat, Kelas, dan Indigenitas
- Penulis: R. Yando Zakaria
- Editor: Dhianita Kusuma Pertiwi
- Penata sampul: Wendie Artswenda
- Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
- Tahun Terbit: 2 Agustus 2024
- Jumlah Halaman: 390 halaman
- ISBN : 9786231342560
- Jumlah halaman: 390 halaman
Editor: Fajar Sidik
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.