Mengungkai Karya Finalis UOB Painting of Year 2024, dari Keterbelahan Subjek hingga Budaya Feodalisme
Pada gelaran prestise ke-14, tahun ini pemenang utama kali ini diberikan pada Muhammad Yakin atas lukisannya yang berjudul The Idol of Unmoved Uncaused Cause Mover. Karya tersebut mengungkai fragmentasi gambaran idealisme manusia di era percepatan informasi dan kelindan teknologi yang silang sengkarut.
Baca juga: Perupa Muhammad Yakin Raih Penghargaan Ajang UOB Painting of the Year Indonesia 2024
Dibuat menggunakan media tinta akrilik, tinta hitam musou, warna-warni, dan daun emas di atas linen, lukisan berdimensi 180x145 cm, itu menggambarkan objek manusia yang 'terbelah'. Alih-alih melukis satu subjek yang utuh, seniman asal Bukittinggi, itu justru mengimak sekumpulan subjek yang direkatkan menjadi satu kesatuan.
Secara umum, sang seniman seperti sedang mengimak satu sosok manusia yang terdiri dari fragmen-fragmen tubuh liyan. Ada kelimun gestur dengan tangan tangan menekuk, sekumpulan raut tanpa mata, atau belasan pasang kaki yang saling menyatu. Sang seniman seperti sedang menggambarkan anonimitas yang menyatu dalam sebuah objek.
Perupa Muhammad Yakin berdiri di depan lukisannya sambil memegang trophy di gedung AA Maramis, Jakarta, Rabu (16/10/2024). (sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)
Perupa berusia 32 tahun itu mengatakan, karya bertarikh 2024 itu merepresentasikan perjalanan kreatifnya dalam menemukan identitas pribadi. Menurut Yakin, anatomi-anatomi tubuh yang dilukis merupakan sosok 'idola' atau gambaran ideal dari manusia yang dikagumi, baik di dalam realitas atau simulakra.
"Ini kenapa tidak kelihatan tokoh siapa? Karena saya ingin semuanya terwakili. Dari segi simbolik misalnya, kita lihat gambar kepalanya itu kan seperti manekin, tapi kita tahu manekin itu kan simbol manusia, simbol pakaian," katanya.
Salah satu juri UOB Painting of the Year 2024, Agung Hujatnikajennong mengatakan, karya Yakin mencoba mengetengahkan mozaik dari orang-orang yang dikagumi oleh publik atau sosok-sosok yang membentuk pribadi mereka hari ini. Momen tersebut bisa direfleksikan pada setiap subjek manusia di era termutakhir, merupakan kumpulan dari berbagai proyeksi liyan.
"Jadi untuk menjadi otentik, sekarang itu sulit. Karena kita sudah tahu segala macam. Apa yang otentik dari 'saya'? Tidak ada 'aku' yang tunggal dan utuh. Selalu dia merupakan kombinasi atau tempelan dari fragmen-fragmen 'aku' yang lain," katanya.
Selain dari segi konseptual, apa yang diejawantahkan oleh Yakin menurutnya juga berhasil dieksekusi dengan baik oleh dang seniman. Sebab, lukisan tersebut terdiri dari puluhan lapisan, yang membutuhkan kecermatan dan teknik yang rumit. Tak hanya itu, untuk menggambar objek tersebut, juga membutuhkan penguasaan anatomi tubuh yang baik.
"Dari segi rupa, menurut saya komposisi visualnya juga jelas, terutama dalam merefleksikan tentang idola, yang selalu menjadi pusat di dunia pemberitaan atau media sosial," imbuh kurator seni independen dan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, itu.
Seorang jurnalis memfoto karya perupa Bawana Helga Firmansyah bertajuk Catatan Belakang (Backnote) di gedung AA Maramis, Jakarta, Rabu (16/10/2024). (sumber gambar: Hypeabis.id/Arief Hermawan P)
Selain karya Yakin, ada pula lukisan yang berhasil memikat para juri. Yaitu karya perupa Bawana Helga Firmansyah bertajuk Catatan Belakang (Backnote). Berbeda dari karya sebelumnya, karya menggunakan kolase mix media di atas papan kayu itu justru mengadicitakan bentangan dari masa silam untuk merefleksikan budaya korupsi di era kiwari.
Karya berdimensi 86x141 cm, itu juga menjadi semacam komentar sosial mengenai siklus penindasan di Tanah Air. Lewat karya ini Helga juga seolah sedang menggali kembali berbagai arsip sejarah yang kerap terjebak dalam romantisme revolusi kemerdekaan hingga nasionalisme semu yang belakangan, atau mungkin sejak silam hanya sekadar jadi pepesan belaka.
"Kalau karya Helga itu kan mengangkat budaya di sekitar kita. Soal budaya feodalisme dan korupsi yang sejarahnya sudah ada sejak silam di Tanah Air. Kalau dibilang itu jadi satu pola birokrasi, atau yang khas dari orang Indonesia, itu sebenarnya warisan dari sejarah kita," kata Jennong.
Baca juga: Kiprah Begok Oner, Seniman Muda Peraih Trofi Emerging Artist UOB Painting of the Year Indonesia
Editor: Dika Irawan
Komentar
Silahkan Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.